Butuh Sinergi Kuat untuk Tuntaskan Masalah Gizi Anak
Oleh
DD04
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tahun 2017, prevalensi anak dengan tinggi badan pendek (stunting) secara nasional mencapai 29,6 persen. Jumlah tersebut di atas ambang batas dunia sebesar 20 persen. Butuh langkah strategis untuk menyelesaikan masalah ini. Untuk itu, sinergi antarsektor kepentingan terus didorong. Tanpa sinergi, masalah stunting dinilai tidak bisa tuntas.
Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bidang Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin mengatakan, ada empat pilar yang dapat menopang pembangunan anak di Indonesia, yaitu pemerintah, lembaga masyarakat, pengusaha swasata, dan media.
”Keempat pilar ini harus bersinergi bersama untuk mengatasi masalah gizi bangsa yang saat ini masih buruk,” katanya seusai acara penandatanganan nota kesepahaman antara PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) dan Foodbank of Indonesia di SD Negeri Gandaria Utara 11 Pagi, Jakarta, Kamis (8/3).
Dari laporan Pemantauan Status Gizi Kementerian Kesehatan pada 2017, ada 3,8 persen anak balita mengalami gizi buruk. Sementara, sebanyak 14 persen anak mengalami gizi kurang, 17,8 persen anak dengan berat badan kurang, 9,8 persen anak sangat pendek, 19,8 persen anak pendek, 2,8 persen anak sangat kurus, 6,7 persen anak kurus, dan 4,6 persen anak gemuk berlebih (obesitas).
Lenny menuturkan, dari kondisi itu, Indonesia saat ini tercatat sebagai negara kelima dengan status stunting terburuk di dunia. Penyebabnya, antara lain, karena perhatian orangtua yang rendah terhadap asupan gizi anak, sanitasi buruk, serta lambatnya penanganan infeksi pada anak.
Dukungan dari semua pihak diperlukan agar ada nilai tambah dari perbaikan gizi anak Indonesia. Anak-anak harus terbiasa mengonsumsi variasi makanan dengan gizi seimbang, terutama konsumsi buah dan sayur. Lingkup keluarga dan sekolah juga harus berkomitmen untuk menjaga asupan gizi anak.
”Yang menjadi ironi adalah saat di sekolah anak sudah dibiasakan untuk mengonsumsi makan sehat lewat kantin sehatnya, tetapi saat di rumah justru orangtua memberikan makanan cepat saji ataupun sebaliknya. Situasi ini yang membuat sistem yang sudah terbentuk menjadi berantakan,” ujar Lenny.
Ia menilai gerakan bersama di lintas sektor diperlukan untuk menyelesaikan masalah gizi pada anak. Dampak dari masalah gizi ini harus dilihat dalam jangka waktu yang panjang. Menurut dia, jika masih di usia anak sudah tidak terjamin asupan gizinya, kemungkinan besar akan memengaruhi produktivitas saat usia dewasa nanti.
Produktivitas yang tidak optimal dapat memengaruhi kinerja sehingga kualitas pekerjaan pun menjadi rendah.”Kondisi ini yang malah akan memperpanjangan rantai kemiskinan di Indonesia,” ucapnya.
Pendiri Foodbank of Indonesia (FOI) Hendro Utomo menuturkan, pihaknya akan terus mendorong dunia usaha untuk bekerja sama dalam membantu mengurangi permasalahan gizi dan kelaparan pada anak, terutama di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar. Saat ini, sudah ada sekitar 120 PAUD dan SD yang telah dibina untuk mengatasi permasalah gizi tersebut.
”Kami coba untuk membatu siswa PAUD dan SD agar bisa mendapatkan makanan tambahan dengan gizi seimbang. Selain memberikan makanan tambahan, kami juga bimbing orangtua dan guru agar ikut mengawasi kandungan nutrisi anak. Sesekali kami ajarkan untuk mengelola makanan dengan variasi menu,” kata Hendro.
FOI merupakan organisasi sosial nirlaba dengan misi memerangi kelaparan dan meningkatkan gizi pada anak. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjembatani pihak yang berkecukupan dengan pihak yang berkebutuhan.
Hendro menambahkan, dalam mengatasi permasalahan gizi, hal utama yang perlu diperhatikan adalah unsur keberlanjutan dari upaya yang dilakukan. Untuk itu, pembinaan harus dilakukan secara terus-menerus. Pendampingan pun dilakukan secara rutin hingga konsumsi gizi seimbang sudah menjadi kebiasaan masyarakat.
Sukini, Kepala Sekolah SD Negeri Gandaria Utara 11 Pagi, Jakarta Selatan, yang sekolahnya sudah hampir tiga tahun didampingi FOI, menyatakan, perubahan gizi dari anak didiknya mulai membaik. Ia mengaku, sebagian besar murid di sekolah tersebut berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah yang tidak peduli dengan masalah gizi anak.
”Namun, dengan imbauan yang terus-menerus diberikan dan penanaman pola hidup sehat ke anak didik, perubahan gizi anak saat ini semakin membaik. Hal ini terbukti dari berat badan anak yang meningkat. Orangtua dan wali murid pun diajak berperan dalam program perbaikan gizi anak, misalnya dengan masak bersama atau sosialisasi di sekolah,” kata Sukini.
Komitmen
Untuk mendukung program perbaikan gizi di tingkat sekolah, berbagai sektor yang berperan perlu berkomitmen dalam menjalankan upaya tersebut. Direktur Utama JNE Mohammad Feriadi berharap, dari kerja sama yang dilakukan, bisa semakin memudahkan pencapaian tujuan dari perbaikan gizi anak.
”Komitmen perusahaan swasta menjadi hal penting yang harus ditegaskan. Kami tentu butuh komitmen dari perusahaan lain untuk bersinergi bersama untuk mendukung program (perbaikan gizi) ini,” katanya.