Berlari dan Bahagia di Tokyo Marathon
”Bukan seberapa jauh atau cepat kamu berlari, tetapi seberapa bahagia kamu berlari.”
Kutipan itu sering kali saya sampaikan kepada teman-teman pelari mula (newbie). Sebagai ”pelatih”—pelari telat dan tertatih-tatih—yang sudah tidak muda lagi, berolahraga lari sekadar untuk mendapatkan kebugaran tubuh. Jangan sampai sehat dicari, cedera didapat.
Begitu berkesempatan berlari di ajang maraton terbesar di Asia, Tokyo Marathon 2018, target saya adalah menyelesaikan lari sejauh 42,195 kilometer itu dengan baik. Target waktu: lari di bawah batas waktu yang ditentukan (cut off time/COT), tidak digaruk bus penyapu (sweeper) yang dikenal tanpa ampun menggaruk pelari ”keong” karena COT yang ketat.
Tidak mudah untuk mengikuti salah satu ajang World Marathon Majors (WMM) tersebut. Selain Tokyo, lima kota lain yang termasuk WMM adalah Boston Marathon, Virgin Money London Marathon, BMW Berlin Marathon, Bank of America Chicago Marathon, serta TCS New York City Marathon.
Mereka yang berminat harus mengikuti undian (drawing) untuk kesempatan berlari. Untuk maraton di pusat ”Negeri Matahari Terbit” itu, setiap tahun sekitar 400.000 orang mendaftarkan diri untuk memperebutkan 25.000 slot yang tersedia.
Mimpi itu tentu bukan sesuatu yang tidak mungkin walaupun perjuangan panjang harus dilakukan untuk menggapainya.
Tahun ini tersedia 36.000 slot di Tokyo Marathon 2018. Jika tidak beruntung mendapat undian, dan kocek memungkinkan, sebenarnya dapat saja membeli slot Tokyo Marathon dari agen travel yang menjualnya Rp 25 juta-Rp 28 juta termasuk kamar hotel.
Setelah tidak beruntung pada tahun lalu, ternyata tahun ini saya berkesempatan menjajal Tokyo Marathon 2018. Selain bisa bergabung bersama para pejuang maraton dari seluruh dunia, kesempatan langka itu menjadi menarik mengingat Kompas untuk kedua kalinya akan menyelenggarakan Borobudur Marathon. Tahun 2018 ini, Borobudur Marathon akan digelar pada 18 November.
Misi ”studi banding” pun ibarat gayung bersambut. Bahkan, tiga teman dari tim event Kompas yang menangani Borobodur Marathon pun hadir di Tokyo. Kami banyak belajar untuk dapat menyajikan maraton yang disegani dunia. Mimpi itu tentu bukan sesuatu yang tidak mungkin walaupun perjuangan panjang harus dilakukan untuk menggapainya.
Mempersiapkan diri
”Di Tokyo Marathon, nanti kita semua akan memanen apa yang ditanam selama ini. Latihan sudah ditempuh dengan berbagai menu. Saatnya dibuktikan di Tokyo nanti,” kata saya kepada teman-teman, seminggu sebelum berangkat ke Tokyo.
Saat itu, sejumlah pelari, yang bergabung dalam grup Whatsapp, lari bareng di kawasan Bintaro, Tangerang. Tahun ini, ada 147 pelari dari Indonesia berlari di Tokyo Marathon bersama 36.000 pelari dari sejumlah negara.
Para pelari dari berbagai komunitas itu bersepakat lari di negeri orang dengan membawa satu nama, Indonesia, dan Merah Putih di dada. ”Cukuplah menyapa dan saling memberi semangat jika bertemu di lintasan….”
Tokyo Marathon bukanlah maraton pertama saya. Pengalaman lari maraton dua kali di Bali; Gold Coast, Australia; Singapura; dan Kuala Lumpur serta lari icip-icip dari 10K atau trail atau sejumlah half marathon lainnya setidaknya menjadi modal awal. Akan tetapi, berlari di Tokyo Marathon menawarkan tantangan dan sensasi tersendiri.
Saya termasuk yang percaya bahwa ”latihan tidak pernah bohong”. Anggapan bahwa lari maraton cukup bermodalkan ”pikiran” tidak sepenuhnya benar. Lari sejauh 42,195 kilometer adalah lari dua kali lipat dari jarak latihan reguler yang paling jauh antara 20-25 kilometer.
Dibutuhkan strategi, pengelolaan energi, pemeliharaan pace, serta harus menjaga semangat berlari agar mampu bertahan menyelesaikan misi. Tokyo Marathon juga maksimal harus ditempuh dalam waktu 6 jam 40 menit.
Karena ikut maraton tanpa strategi, cukup banyak pelari yang penyok saat tiba di garis finis, cedera, atau tiba di atas waktu yang ditentukan (COT). Ada pula pelari yang did not finish (DNF) sehingga diangkut bus karena kurangnya persiapan.
Pelari Indonesia yang ikut Tokyo Marathon umumnya adalah pelari hobi. Mereka berlatih tiga-empat kali sepekan dengan berbagai variasi latihan. Namun, di tengah berbagai kesibukan pekerjaan, untuk mendapatkan waktu latihan bukanlah hal mudah.
”Saya tidak sempat latihan long run sampai 30 kilometer, paling jauh 21 kilometer,” ujar seorang pelari perempuan. Beruntung, bersama rekan-rekan pelari di Kompas Gramedia (KG) Pelari(an), secara rutin dia berlatih bareng di bawah asuhan Coach Rahmat Rukmantara.
Latihan itu terutama latihan penguatan dan stabilitas. Kram yang biasanya menjadi langganan saat memasuki kilometer 18-an, berkat latihan penguatan dapat diminimalkan. Saya pun masih bisa berlari stabil hingga kilometer 30-an.
Beberapa pelari mencoba berlatih dengan metoda denyut jantung (heart rate), sementara pelari lain mencoba mempertahankan pace sepanjang lintasan.
Sejumlah pelari Indonesia kemudian lari bareng di bilangan Bintaro, Tangerang, untuk saling berbagi (sharing) persiapan menuju Tokyo Marathon. Selain latihan lari, para pelari juga membekali diri dengan berlatih yoga, pilates, atau strength and conditioning.
Beberapa pelari mencoba berlatih dengan metoda denyut jantung (heart rate), sementara pelari lain mencoba mempertahankan pace sepanjang lintasan. Mereka juga berbagi cerita mengenai tips-tips bagaimana berlari dalam balutan cuaca dingin.
Apakah cukup berlari memakai outfit seperti biasa atau harus berlapis-lapis dengan base layer? Menggunakan sarung tangan, buff di leher, atau penutup kepalakah?
Berbagai saran dan masukan dari beberapa rekan pelari yang pernah berlari di Tokyo Marathon malah menambah kegalauan lain. ”Pokoknya, yang penting pas start jangan lupa memakai jaket. Kalaupun tidak menggunakan jaket, ya, jas hujan plastik cukup kok,” saran seorang teman.
Pelari umumnya harus menunggu satu-dua jam di garis start sebelum berlari. Saat berlari, jaket atau jas hujan itu dibuang dan dikumpulkan oleh sejumlah volunter.
Bersiap diri di Taman Yoyogi
Ketika tiba di Tokyo, sejumlah pelari Indonesia juga sempat bertemu dan berlari bersama di Taman Yoyogi, Shibuya, tidak jauh dari Stasiun Harajuku. Taman seluas lebih dari 54 hektar yang bersebelahan dengan Kuil Meiji itu merupakan lokasi favorit bagi warga Tokyo untuk beraktivitas melepas rutinitas yang membosankan.
Hari Sabtu (24/2/2018) pagi, saya bersama pelari dari Run for Indonesia: Adriansyah Chaniago, Shinta, dan Diana, yang berangkat bersama dari Stasiun Shinjuku, tiba lebih dulu di taman tersebut. Sambil menunggu teman-teman pelari lain, kami berlari terlebih dahulu.
Pagi itu para pelari Indonesia bergabung di acara Run Shake Out yang digagas Runhood dan Asics untuk berlari bersama dan saling memompa semangat.
Di antara mereka tampak Alya Rohali, Melanie Putria Dewita, dan Haruka JKT 48. Alya—Puteri Indonesia 1996 yang kini menjadi notaris—kali ini tidak menjadi peserta Tokyo Marathon seperti yang dia lakukan dua tahun sebelumnya.
Alya menemani anak sulungnya, Namira Adjani Ramadina, yang berlari di kategori 10K Youth Tokyo Marathon. Uniknya, Adjani, siswa SMA Labschool Kebayoran Jakarta, berlari sambil menggalang donasi bagi anak-anak bergizi buruk di Nusa Tenggara Timur.
Sementara Melanie bukanlah orang baru di dunia olahraga lari. Ini Tokyo Marathon keduanya setelah tahun 2016 Melanie menempuhnya dengan catatan waktu terbaik 3 jam 49 menit.
Dua tahun lalu, dia digembleng bersama atlet maraton papan atas Indonesia, Agus Prayogo, di Pangalengan, Jawa Barat, melalui program minuman isotonik Pocari Sweat.
Tahun ini, dia berlari bersama Haruka yang melepas virgin marathon-nya di Tokyo. ”Kalau half marathon, sih, aku udah beberapa kali,” kata Haruka saat bertemu di Fuglen Tokyo.
Seusai berlari di Taman Yoyogi, para pelari Indonesia menyempatkan diri ngopi bareng di warung kopi yang ngehits di Tokyo itu.
Selain kami—para pelari Indonesia—tampak banyak kelompok lari lain, terutama pelari Jepang yang juga berlatih bersama. Mereka juga memanaskan ”mesin”, melemaskan otot-otot untuk mempersiapkan diri. Tapering memang disarankan bagi mereka yang akan berlari maraton untuk mempersiapkan kondisi tubuh dan mental.
Berlari pun menjadi penuh gairah ketika beberapa pohon sakura mulai mekar di antara pohon-pohon lain yang masih meranggas. Sepertinya, sakura mekar lebih awal di taman itu mengingat bunga kebanggaan masyarakat Jepang itu biasanya mulai bermekaran pada awal Maret, selepas musim dingin. Lumayan, pagi itu sudah ada beberapa foto untuk diunggah di Instagram.
Berlari pun menjadi penuh gairah ketika beberapa pohon sakura mulai mekar.
Karnaval sepanjang lintasan
Minggu, 25 Februari 2018. Inilah hari-H.
Hari besar yang dinanti-nanti tiba. Kebetulan, Kompas menginap di Hotel Shinjuku Washington, tepat di depan start Tokyo Marathon, di depan gedung pemerintah Tokyo Metropolitan. Dari lantai tempat sarapan, menjelang pukul 7 pagi, terlihat jalanan sudah ditutup.
Ketika saya turun, sejumlah anggota panitia dengan rompi warna-warni, yang menunjukkan masing-masing tugasnya, sudah bersiap. Demikian juga para pelari sudah berfoto-foto sambil mencari Gate yang sudah ditentukan.
Suhu udara berkisar 4-5 derajat celsius dengan angin dingin menyergap menggigit tulang. Jas hujan keresek yang dibeli di toko kelontong ternyata lumayan membantu mencegat dingin menembus badan yang dilapisi base layer dan jersey dengan Merah Putih di dada.
Kelvin, pelari dari Medan, yang sejak semalam mengajak bersama-sama ke garis start kembali ke kamar hotel setelah saya sarankan agar memakai pelindung dingin.
Walau ada sekitar 36.000 pelari yang menjadi peserta Tokyo Marathon, ternyata para pelari memasuki area start nyaris tanpa hambatan. Padahal, untuk memasuki kawasan itu, sejumlah prosedur harus diikuti para pelari.
Mereka bukan saja harus memasuki Gate (pintu masuk) yang sudah ditentukan sebelumnya, yang ditandai dengan nomor dan warna bib (nomor dada), melainkan juga prosedur keamanan begitu ketat. Para pelari, misalnya, harus melewati beberapa jalur, mulai dari cek bib, larangan membawa botol air minum, hingga pengecekan barang yang akan dititip serta pemindai logam.
Penitipan barang (drop bag) sangat sistematis: di bib pelari sudah diterakan di truk nomor berapa harus dititipkan. Saat finis nanti, di tempat berbeda dengan start, para pelari pun dengan mudah menemukan tas yang mereka titipkan.
Cukup lega juga ketika di Gate 5, tempat saya masuk, saya bertemu Apriyanto, salah seorang pelari Indonesia, teman sekampung di Gunung Sindur, Bogor. Sebelumnya, saya sempat agak panik ketika mencari Gate tersebut dan berlari-lari bersama dua pelari cewek dari Taiwan. Jujur, saya tidak rinci mengecek Gate karena merasa hotel dekat dengan garis start.
”Saya kemarin agak flu, makanya kemarin istirahat enggak ikut lari di Yoyogi. Mudah-mudahan hari ini fit dan bisa PB,” kata Apri semangat.
Namun, semangat juangnya mengabaikan anjuran tim medik untuk dirawat di rumah sakit.
Belakangan, seusai finis, dia memperlihatkan foto di gawainya: Apri dibalut selimut dikelilingi sejumlah paramedik. ”Saya menggigil kedinginan di kilometer 35-an,” katanya. Namun, semangat juangnya mengabaikan anjuran tim medik untuk dirawat di rumah sakit.
Apri tetap berlari diiringi teriakan dan tepuk tangan semangat dari para volunter. Walau tidak berhasil mencapai target, dia bersyukur dapat finis dengan waktu 4 jam 31 menit 38 detik. Saat bertemu di meeting point di Taman Hibiya, dia buru-buru pamit kembali ke penginapan karena tubuhnya menggigil.
Spot turis menawan
Tokyo dan Jepang adalah keindahan dan keagungan zaman baheula yang hadir di zaman ultramodern. Penduduknya sangat ramah, terkenal tidak usil, serta berusaha tidak mengganggu privasi orang lain.
Bukan saja budaya antre yang unggul, terlihat mereka selalu mendahulukan penumpang kereta api turun terlebih dahulu, dan menepati waktu secara luar biasa akuratnya. Bahkan, di angkutan massal, mereka tidak pernah berbicara pada telepon genggamnya karena akan mengganggu penumpang lain.
Tidak ada ingar-bingar saat memasuki race central. Ribuan pelari mengalir dan bercakap secukupnya. Sepertinya, andrenalin sudah memuncak karena mereka akan menempuh pembuktian diri.
Berbeda dengan race di Indonesia yang sudah membunyikan pengeras suara berjam-jam sebelumnya, musik di garis start yang berisi musik-musik penyemangat dalam bahasa Jepang atau Inggris baru terdengar sekitar 30 menit menjelang gun start diletuskan.
Banyak pelari tidak cukup waktu lagi untuk pemanasan di antara padatnya ribuan pelari di garis start. Maksimal hanya peregangan (stretching) atau pemanasan secukupnya.
Kalaupun tidak basa-basi mengobrol dengan sebelah, para pelari mencoba mengusir dingin dengan duduk di pinggiran pembatas taman dan jalan atau jongkok dalam bungkusan jaket atau jas hujan keresek.
Di Wave E, selain bertemu Apriyanto, saya bertemu pelari Agustine dari Indonesia. Untuk mengusir dingin, dia meminum beberapa saset tolak angin yang dia bawa dari Jakarta.
Di antara mereka yang ancang-ancang mengambil garis start, beberapa pelari menempelkan tulisan di lembar biru di punggungnya. ”Today is the Day! Cheer Me On. I’m Going for my 6th Start: Boston, London, Berlin, Chicago, New York… Tokyo 2018”.
Ya, mereka adalah pelari yang akan menyelesaikan World Marathon Majors. Para penamat enam maraton disebut sebagai Six Star Finisher, yang jumlahnya saat ini sekitar 1.000 orang saja dari seluruh dunia.
Kegalauan mulai luntur saat melihat berbagai busana para pelari, terutama warga setempat. Banyak di antara mereka tidak berpakaian seperti layaknya para pelari.
Mereka justru memakai berbagai kostum yang aneh, unik, dan menarik perhatian. Busana berupa buah-buahan dan superhero serta pemompa semangat dari pembawa acara menyemarakkan suasana.
Gun start menyalak. Para pelari elite langsung gas pol melejit. Sementara ribuan pelari lain yang berada di wave-wave berikutnya mulai beringsut mendekati garis start. Dibutuhkan waktu lebih dari 15 menit untuk beringsut dan bergeser perlahan sebelum start.
Tabuhan drum Jepang serta hujan kertas yang ditaburkan di garis start, teriakan, dan tepuk tangan penonton memompa semangat.
Tokyo Marathon lebih mirip karnaval lari dengan segala kegembiraannya. Penduduk Tokyo berbaur dengan para pendukung dan relawan di sepanjang lintasan. Boleh dikatakan, mereka memagari lintasan sepanjang 42,195 kilometer itu untuk menyemangati pelari.
Selain water station yang disediakan panitia, di sepanjang jalan pun begitu banyak penduduk yang menawarkan berbagai makanan.
Komunitas-komunitas warga dengan berbagai atraksi kesenian, dengan tetabuhan khas Jepang, tarian atau semacam pom-pom girl, dengan musik yang membangkitkan semangat terdengar sepanjang jalanan.
Jalanan benar-benar bersih, clear! dalam artian sebenarnya. Tidak ada klakson atau caci maki pengemudi mobil yang tidak sabar karena jalanan digunakan pelari.
Sejumlah relawan pun menyiapkan kantong-kantong plastik untuk menampung sampah bekas permen atau makanan energi para pelari.
Para pelari pun tidak perlu khawatir kekurangan asupan hidrasi ataupun makanan. Selain water station yang disediakan panitia, di sepanjang jalan pun begitu banyak penduduk yang menawarkan berbagai makanan: permen atau bermacam kue-kue khas Jepang.
”Di water station, gue sampe hapal jajaran minuman isotonik, air mineral, hingga jenis-jenis buah dari pisang, cherry, hingga jeruk,” ujar seorang pelari. Tidak usah khawatir juga dengan spray penyemprot otot jika kram menyerang karena begitu banyak tersedia di pinggir jalan ditawarkan para penonton.
Rute baru di maraton yang sudah berlangsung ke-12 kalinya itu sungguh menyenangkan. Lintasan Tokyo Marathon 2018 ini merupakan rute baru, tetapi tetap menyenangkan karena melewati lokasi-lokasi wisata terkenal di Tokyo.
Menu lintasan lari melewati Tokyo Metropolitan Government Building–Iidabashi–Kanda–Nihombashi–Asakusa Kaminari-Mon–Ryogoku–Monzen-Nakacho–Ginza–Takanawa–Hibiya–Tokyo Station/Gyoko-dori Ave adalah tantangan buat dengkul meski menggoda mata.
Banyak pelari hobi yang tergoda mengambil gambar saat melewati ikon wisata Tokyo yang terkenal. Di antaranya, Tokyo Tower, gerbang Asakusa Kaminari di kawasan Tokyo Marathon, Tokyo Sky Tree yang menjulang itu, Kuil Tomiuka Hachimangu yang dibangun 391 tahun lalu, ataupun pusat perbelanjaan Ginza Wako yang terkenal itu.
Dengan lintasan yang relatif rata, termasuk turunan pada empat kilometer pertama, banyak pelari berhasil mencatatkan waktu terbaiknya di Tokyo Marathon. Sejumlah tanjakan ringan memang ada, terutama jika trek akan melintasi jembatan mulai di Kilometer 10, atau 15, tetapi jelas akan mendapat balasan turunan juga.
Menurut catatan panitia, dari sekitar 36.248 pelari di Tokyo Marathon 2018, ada 34.906 pelari (96,3 persen) yang sukses finis di bawah waktu yang ditentukan. Selebihnya tidak berhasil mencapai garis finis, baik karena cedera maupun tidak dapat melanjutkan lomba atau karena digaruk bus sweeper yang sudah menunggu di sejumlah titik bagi pelari ”keong”.
Tokyo Marathon memberikan pengalaman yang tidak akan terlupakan bagi mereka yang pernah mengikutinya. Indonesia, dengan segala keunggulan alamnya, suatu saat harus memiliki event maraton kelas dunia yang juga tidak akan terlupakan bagi siapa saja yang pernah mengikutinya….