RKUHP Bisa Lenyapkan Hukum Adat
JAKARTA, KOMPAS – Draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana perlu dikaji dan dirumuskan ulang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam draf itu masih terdapat pasal yang dapat mengancam eksistensi masyarakat hukum adat di Indonesia.
Sebelumnya, Senin (5/3), pada pembukaan masa persidangan IV Rapat Paripurna DPR, Ketua DPR Bambang Soesatyo menyampaikan, akan bekerja keras melanjutkan pembahasan RUU tentang KUHP. Pembahasan yang belum selesai dalam masa persidangan III, Februari lalu itu akan kembali dilakukan oleh Panitia Kerja RKUHP dan pemerintah.
Untuk itu, Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat yang diwakili oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Perkumpulan HuMa Indonesia (HuMa), Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menyatakan sikap agar DPR mengubah pasal yang dinilai mengancam masyarakat adat. Pasal itu antara lain, Pasal 2 ayat 1, Pasal 277 dan 301-303 tentang aset properti, serta Pasal 460 dan 463 tentang perzinaan dan perkawinan.
Salah satunya Pasal 2 ayat (1) yang memperluas asas legalitas hukum pidana yang memasukkan hukum adat masyarakat. Dinyatakan, seseorang dapat dipidana berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat, meskipun tidak dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum pidana.
“Sepintas terlihat menghargai hukum masyarakat adat. Namun, ketika pidana adat masuk dalam konteks peradilan pidana, masyarakat adat akan kehilangan perannya. Karena hakim bukan bagian dari pranata adat, tidak bisa diberikan kewenangan penafsiran hukum adat,” ucap Deputi Koordinator HuMa Yustisia Rahman, Rabu (7/3), pada acara diskusi Koalisi Masyarakat Adat, di Kantor AMAN, Jakarta.
Rahman mengatakan, sebaiknya pasal itu direvisi karena tidak kontekstual dengan hukum masyarakat adat. Menurut dia, masyarakat adat punya pola sendiri dalam penentuan kasus hukum. Untuk itu, lebih baik pemerintah mengakui kewenangan hukum adat tersebut.
“Baiknya aturan ini tidak ada dalam KUHP. Kalau diadopsi hukumnya jadi tidak kontekstual. Lebih baik mengakui struktur hukum di masyarakat adat,” tuturnya.
Pasal 277 dan 301-303 juga dinilai mengancam masyarakat adat. Pasal 277 berisi tentang pemidanaan orang yang memaksa masuk ke rumah atau pekarangan orang lain. Sementara itu, Pasal 301-303 membuka peluang pemidanaan orang yang berjalan, berkendara, atau membiarkan hewan ternaknya melewati kebun atau tanah orang lain yang ditanami atau yang dipersiapkan untuk ditanami.
Direktorat Analisis Hukum dan Advokasi AMAN Tommy Indriyadi mengatakan, hal itu adalah sebuah kelucuan. Menurut dia, hukum itu tidak relevan bila diadopsi ke masyarakat adat yang berada di daerah-daerah.
“Dalam konteks masyarakat urban, mungkin bisa. Tetapi, kalau di kampung tidak berlaku. Masa ternak masuk pekarangan punya orang lain, pemiliknya bisa dipidana? Misal tiba-tiba orang terjatuh ke sawah dan pemiliknya tidak suka bagaimana?” sebut Tommy.
Menurut Tommy, Pasal itu akan meningkatkan potensi kriminalisasi. Perusahaan bisa mengusir masyarakat itu dengan mengkriminalisasi dengan pasal dalam RKUHP. Apalagi dengan banyaknya perusahaan yang bersengketa lahan dengan masyarakat adat yang telah hidup turun temurun.
Adapun, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, sepanjang 2017 telah terjadi 369 orang yang dikriminalisasi akibat konflik agraria. Masyarakat banyak dikriminalisasi dengan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Pasal perkawinan
Pasal yang juga menjadi perhatian adalah Pasal 460 ayat (1) huruf (e) tentang persetubuhan laki-laki di luar ikatan pernikahan dan Pasal 463 tentang larangan hidup besama di luar ikatan perkawinan yang sah.
Menurut perwakilan dari PEREMPUAN AMAN Devi Anggraini, pasal itu berbahaya bagi masyarakat hukum adat yang masih menyelenggarakan pernikahan secara adat. Pernikahan itu kerap ditolak kantor catatan sipil karena tidak menikah berdasarkan agama tertentu.
“Jika RKUHP itu disahkan, maka mereka semua tidak sah sebagai suami istri. Mereka pun dapat dipidanakan karena tinggal bersama,” ucap Devi.
Devi mengucapkan, perkawinan adat seharusnya dibiarkan saja karena sudah ada dari leluhur mereka. Perkawinan itu pun sah menurut masyarakat hukum adat. Menurut dia, hal itu merupakan keragaman Indonesia yang diakui konstitusi.
“Bangsa ini dibangun atas keberagaman, agama, dan suku. Artinya negara mengakui masyarakat adat dengan hukum adat. Hal itu merupakan mandat dari konstitusi. Apalagi Nawa Cita Presiden Joko Widodo juga membicarakan masyarakat adat,” tegas Devi.
Menerima perbaikan
Sementara itu, secara terpisah Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, DPR masih terbuka untuk melengkapi pasal dengan penjelasan. Hal itu untuk memastikan kontekstualitas suatu pasal agar tidak menjadi pasal karet.
Meski demikian, Arsul meminta masyarakat sipil yang memberi sudut pandang harus memiliki argumentasi yang kuat. Salah satunya dengan penjelasan bentuk skenario pasal yang diduga akan menjadi alat kriminalisasi.
“Kalau rumusan dianggap salah, kami terbuka menerima perbaikan dan penyempurnaan. Namun, jangan hanya membuat asumsi situasi yang berangkat dari kekhawatiran saja. Kalau bisa sertakan bukti empiris. Karena sudut pandang mereka bukan satu-satunya yang diterima DPR. Ada berbagai kelompok masyarakat sipil juga melakukannya,” ucap Arsul.
Untuk itu, Arsul mengatakan, kelompok masyarakat sipil tidak memaksakan kehendak hanya untuk mempertimbangkan kepentingan sepihak. Apalagi, bila paradigma berpikirnya berangkat dari budaya dan filosofi hukum barat.
“Dari awal pembentuk UU sudah menyampaikan untuk menyusun KUHP dengan budaya dan filosofi hukum Indonesia. Jangan memaksakan sudut pandang barat. Seperti meminta pasal zina, perbuatan cabul LGBT, hukuman mati dihapus sama sekali. Itu tidak akan kami terima,” tutur Arsul.