Mengenalkan Rendeng lewat Festival Gerabah
Si Gogor dan guci gerabah diarak keliling Desa Rendeng, Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, pada Rabu (21/2). Arak-arakan atau kirab maskot itu sepanjang sekitar 1 kilometer dari Wisata Edukasi Gerabah menuju Balai Desa Rendeng menandai festival gerabah.
Tidak hanya arak-arakan, tetapi festival itu juga diramaikan dengan keceriaan anak-anak yang ikut mewarnai gerabah. Sementara sejumlah ibu menunjukkan kepiawaiannya membuat gerabah dengan teknik putar.
Festival gerabah itu sebagai upaya mempromosikan potensi desa, sekaligus bagian dari upaya melestarikan gerabah Malo yang menjadi urat nadi kehidupan warga Rendeng sejak zaman Majapahit. Tradisi gerabah Malo yang berlangsung turun-temurun nyaris punah tergerus era modern.
Produk kerajinan gerabah Rendeng yang dulu disebut gerabah Malo dikenal sejak zaman Majapahit.
Perkakas dapur berganti plastik atau produk pabrikan. Celengan (tempat menyimpan uang) pun sekarang tidak banyak digunakan, tergantikan perbankan, bahkan uang elektronik. Alhasil, celengan malo lebih sering berfungsi sebagai ornamen hiasan sudut-sudut ruangan.
Akan tetapi, para perajin di Rendeng tak mau menyerah. Anak-anak muda pun peduli. Model gerabah pun dibuat tak lagi monoton berbentuk binatang, tetapi juga aneka karakter tokoh kartun. Hasil-hasilnya, anak-anak pun menyukainya.
Tak berhenti di situ, sejak 2015, para pemuda pun membuka wisata edukasi. Para siswa dari kelompok bermain hingga setingkat sekolah menengah atas, bahkan mahasiswa dan para ibu, bisa ikut belajar dan praktik membuat gerabah.
Pada 2018, untuk pertama kali Badan Usaha Milik Desa Karya Mulya dan Karang Taruna Desa Rendeng menggelar festival gerabah. Bupati Bojonegoro Suyoto pun ikut menandatangani prasasti gerabah.
Rendeng lebih memilih mengembangkan ekonomi kreatif.
Suyoto memaparkan, pada 2007, jumlah perajin di Rendeng makin berkurang, pembuatan gerabah masih kuno dan manual. Namun, berkat sentuhan inovasi, Rendeng menggeliat lagi dan kini menjadi sentra cendera mata dan wisata edukasi gerabah yang bisa menjelma menjadi masa depan Bojonegoro.
Ekonomi kreatif
Ia mengapresiasi karang taruna dan pemerintah desa yang mempunyai inisiatif mengembangkan karya seni gerabah. Menurut Suyoto, ada dua hal yang bisa dijual. Pertama, produk yang senantiasa berevolusi menyesuaikan zaman dan permintaan. Kedua, proses juga bisa dijual menjadi sebuah daya tarik wisata.
Menurut Suyoto, Rendeng yang lebih mengutamakan sentra ekonomi daripada gedung merupakan sesuatu yang cerdas. Desa lain fokus pada infrastruktur gedung, sedangkan Rendeng lebih memilih mengembangkan ekonomi kreatif.
Ia meyakini, masa depan Bojonegoro adalah ekonomi kreatif, dan itu memerlukan akal dan kreativitas bersama. ”Selain unsur sains, juga harus mempertimbangkan unsur seni. Masa depan Malo harus terus lebih baik di masa-masa mendatang,” ucap Suyoto.
Kini, rintisan upaya warga mengembangkan wisata edukasi mulai membuahkan hasil. Pengunjung akan ramai saat musim liburan atau akhir pekan. Bahkan, dalam sehari bisa mencapai 1.000 pengunjung. Omzet per minggu Rp 7 juta hingga Rp 15 juta.
Ketua Panitia Festival Gerabah, Mujtaba, berharap, melalui festival, Rendeng sebagai desa wisata edukasi dan cendera mata sekaligus sebagai sentra gerabah makin dikenal luas.
Oleh karena itu, ada kirab replika si Gogor dan guci serta pembuatan gerabah dengan teknik putar secara massal yang didemonstrasikan ibu-ibu.
Mulai 2015, dikembangkan wisata edukasi gerabah dan wisata cendera mata untuk menyelamatkan gerabah Malo.
Anak-anak pun bisa ikut lomba mewarnai dan mengecat gerabah, yakni cobek atau layah (tempat membuat sambal). Selain dari Bojonegoro, peserta ada yang berasal dari Lamongan, Tuban, dan Blora (Jawa Tengah).
”Ini kesempatan untuk mengenalkan dan menumbuhkan kecintaan anak-anak untuk ikut melestarikan gerabah Malo,” ujarnya.
Di Rendeng memang tidak ditemukan harimau atau macan, tetapi maskot gerabah, si Gogor, dipilih karena Rendeng sangat dikenal dengan gerabah celengan berbentuk macan berwarna cerah memikat. Gogor sendiri adalah anak macan.
”Itulah alasan Gogor menjadi maskot Desa Rendeng karena menjadi bagian dari sejarah gerabah Malo,” kata Mujtaba.
Sejarah gerabah Malo
Arkeolog Universitas Negeri Malang, M Dwi Cahyono, dalam Ekspedisi Bengawan Solo 2007 menyebutkan, produk kerajinan gerabah Rendeng, dulu disebut gerabah Malo, dikenal sejak zaman Majapahit.
Rendeng merintis kerajinan gerabah sejak berabad-abad lampau dengan bahan baku dari benawi (Bengawan Solo), bahkan sejak masa perundagian, masa prasejarah. Gerabah itu berbentuk perkakas rumah tangga, seperti kuali, kendi, gentong (genuk, tempayan), dan layah.
Pada masa penjajahan Jepang, tahun 1942, Rendeng dikenal sebagai sentra kerajinan gerabah. Perajin mengembangkan celengan yang dibuat berbentuk kendi polos, lalu dikembangkan berbentuk ayam jago tanpa warna.
Pada era 1970-an, muncul celengan plastik yang ringan dan antipecah. Perajin berinovasi dengan membuat bentuk binatang dan dicat dengan warna memikat.
Perkembangan zaman membuat orang menabung dengan celengan menjadi langka. Celengan malo hanya dibeli untuk hiasan ruangan.
Sejak 2014, perajin berinovasi dengan membuat celengan berbentuk tokoh kartun dan pewayangan. Cara pembuatannya juga berubah dari sistem manual dengan tangan diganti dengan alat cetak. Sebagian perajin masih bertahan dengan cara manual.
Jumlah perajin terus menyusut, dulu hampir 70 persen warga menekuni gerabah. Pada 2015 masih ada 270 perajin, tetapi kini tinggal 111 perajin terdiri dari perajin celengan 79 orang, alat rumah tangga (20), seni tempel (6), dan seni model (6).
Mulai 2015 dikembangkan wisata edukasi, sekaligus wisata cendera mata untuk menyelamatkan gerabah Malo.
Kepala Desa Rendeng Muslih menyebutkan, pada 2014, dimulailah pelatihan bekerja sama dengan perajin gerabah Kasongan, Yogyakarta, dengan anggaran Rp 6 juta.
Tahun 2015, ada pelatihan dari ISI Yogyakarta didanai APBDes Rp 10 juta. Pada tahun yang sama, ada bantuan dana pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) PT Tugu Pratama senilai Rp 100 juta.
Pada 2016, ada dana patungan dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk mitigasi struktural untuk taman wisata Rendeng Rp 240 juta. Selain itu, ada bantuan peralatan dari BNPB senilai Rp 300 juta.
Pihaknya telah menyiapkan 1 hektar tanah kas desa di tepi Bengawan Solo. Secara bertahap, di lokasi itu menurut rencana dibangun gedung museum gerabah, gedung edukasi gerabah, dan fasilitas lain. ”Kami harapkan bisa tuntas 2019,” kata Muslih.
Tahap awal, pemerintah desa memperbaiki aset jalan desa dan jalan lingkungan pada 2017, dilanjutkan perbaikan saluran drainase. Pada 21 Februari ini digelar Festival Gerabah dengan anggaran Rp 27,5 juta.
”Kami memotivasi dan memfasilitasi apa yang diperlukan untuk kemajuan WEG. Tahun ini, sudah ada kolam renang satu paket dengan WEG yang dikelola badan usaha milik desa,” tutur Muslih.
Rendeng pun didorong menjadi desa wisata cendera mata agar industri gerabahnya makin bangkit. Tamu pemerintah bisa diarahkan berkunjung dan membeli suvenir celengan malo yang menjadi ikon Bojonegoro.
Saat dimulai WEG pada 2015, ada 6.000-an pengunjung. Pada 2017 jumlahnya meningkat menjadi 13.342 orang, dan pada 2017 tembus 19.359 orang. Pada 2018 ditargetkan 25.000 orang.