Masyarakat agar Jaga Persatuan, Tak Terseret Kabar Bohong
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Maraknya hoaks dan ujaran kebencian yang beredar di media sosial memicu perpecahan di masyarakat. Kesadaran masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa diperlukan untuk menangkal perpecahan tersebut di tengah gempuran informasi.
Pada 2017, data dari Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, terdapat 2.633 kasus tindak pidana kejahatan siber. Dari jumlah tersebut, dua persentase terbesar adalah penghinaan 46 persen dan ujaran kebencian 22 persen.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, Rabu (7/3), mengimbau masyarakat tidak terseret arus hoaks yang kian marak. Ia mengajak masyarakat untuk merapatkan barisan dan membentengi diri dari semua kabar bohong yang bisa menjerumuskan bangsa kepada perpecahan.
“Kita sekarang memasuki era yang menjamin kebebasan yang kebetulan dibarengi dengan perkembangan teknologi dan informasi yang luar biasa cepat. Informasi masuk begitu banyak dan tidak sedikit yang isinya bohong. Mari rapatkan barisan, jaga diri kita dari nuansa kebencian. Jangan sampai kita terpecah belah,” kata Said Aqil saat membuka diskusi publik di Masjid An Nahdlah, Kantor PBNU di Jakarta Pusat, Selasa (6/3) malam.
Diskusi itu juga dihadiri oleh Kepala Sub Direktorat 3 Direktori Politik Badan Intelejen dan Keamanan Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Besar Mulya, Wakil Sekretaris Jendral (Wasekjen) PBNU Suwardi Damartyas Pranoto, dan Praktisi Teknologi Informasi Sabrang Mowo Damar Panuluh.
Mulya mengatakan, sebaran hoaks dan ujaran kebencian masih menjadi ancaman mengingat masyarakat sedang menyambut Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Ia mengimbau agar masyarakat bersikap bijak dalam menggunakan media sosial karena adanya ancaman disintegrasi jika berkaca pada Pilkada 2017.
“Kampanye hitam dan hoaks masih akan mewarnai dinamika politik. Arif dan bijaklah dalam bermedia sosial. Pilkada 2017 dengungnya sampai ke mana-mana. Ini berbahaya jika kita tidak bijak mengelola media sosial,” kata Mulya.
Pada Kompas (6/3), Polri mencatat 45 penyerangan terhadap ulama atau pengurus masjid yang menjadi viral di media sosial. Dari 45 kejadian tersebut, hanya ada tiga yang benar-benar terjadi. Atas dasar itu, Presiden Joko Widodo pun memerintahkan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian agar menuntaskan kasus-kasus hoaks dan ujaran kebencian karena efeknya yang destruktif terhadap rasa persatuan bangsa.
Wakil Sekjen PBNU Suwardi Damartyas Pranoto, yang juga merupakan analis geopolitik, menjelaskan, hoaks dan ujaran kebencian itu bisa ditangkal jika para pengguna media sosial menyadari bahwa mereka membutuhkan rasa persatuan dan kesatuan.
“Rasa persatuan dan kesatuan itu jangan dijadikan kewajiban, tetapi kebutuhan,” kata Suwardi.
Ia menambahkan, rasa persatuan dan kesatuan yang dimiliki masyarakat itu menjadi modal untuk mengelola banjir informasi yang mereka dapatkan. Mereka akan memilah-milah informasi dan tidak mudah termakan hoaks karena secara sadar harus memelihara persatuan.
Selain itu, Suwardi mengkritisi akan kurangnya bacaan-bacaan populer dan yang mudah diterima masyarakat mengenai cara beragama yang moderat dan toleran.
“Bacaan-bacaan tentang hal itu masih sangat berat dan berupa makalah. Jarang sekali yang berupa bacaan-bacaan ringan yang mudah diterima masyarakat,” kata Suwardi.
Kurangnya reproduksi konten moderat dan toleran itu secara tidak langsung memberi ruang tumbuhnya wacana radikalisme yang disebarkan dengan Bahasa dan media yang lebih mudah.
Suwardi beranggapan, gagasan tentang persatuan dan kebinekaan itu juga harus diproduksi sama banyaknya untuk menandingi wacana radikalisme di platform media yang sama.
Dari Januari-September 2017, Kementerian Komunikasi dan Informatika mendapatkan 1.322 laporan aduan tentang konten radikalisme dan terorisme di internet. Sementara itu, untuk konten yang berisi ujaran kebencian, ada sebanyak 15.064 laporan. (DD16)