Kamis (2/3) siang yang terik, Fauzan (29) dan Fakri (48) mengawasi pekerja menjemur kedelai di halaman di Desa Lambada, Lamteuba. Dua perempuan paruh baya meratakan biji kedelai dengan papan dipasangi gagang kayu.
Kedelai harus dijemur sampai kering agar tak berjamur, sebelum dikirim ke sejumlah wilayah. “Kami ditantang menghasilkan 70 ton kedelai, sampai sekarang ada 50 ton. Mencapai target, tahun depan kami diminta menyediakan benih untuk tiga kabupaten,” kata Fauzan, Ketua Kelompok Tani Oisca.
Kelompok tani Oisca beranggota 200 orang. Di lahan bekas ladang ganja itu kini ditanami padi, kedelai, cabai, dan lainnya.
Secara geografis, Lamteuba di kaki Gunung Seulawah, sekitar 50 kilometer dari Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh. Daerah itu dikenal penghasil ganja. Setiap tahun puluhan hektar ladang ganja dimusnahkan di sana. Bahkan, tahun 2016, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, memusnahkan ganja di sana.
Pada masa konflik bersenjata, Lamteuba kurang tersentuh pembangunan. Seperti dilupakan. Rumah-rumah prasejahtera mudah dijumpai. Tingkat pendidikan juga rendah.
Mayoritas warga delapan desa di sana bertani padi dan palawija. Namun, sebagian memilih menanam ganja, seperti pernah dilakukan Fauzan dan Fakri.
Fauzan terlibat bisnis ganja sejak 2002, saat usia 13 tahun. Tiap angkut ganja kering dari hutan ke lokasi muat, ia diupah Rp 50.000. Jumlah besar. Ia tak memikirkan risikonya.
Setahun kemudian, ia nekat menanam bersama empat teman sebaya. Bermimpi untung besar. Modal kecil, benih mudah, dan lahan tinggal buka di hutan.
Lima bulan lewat, ganja dipanen. Berhari-hari mereka proses mengeluarkan ganja, sebelum dikirim penampung ke Jawa. Namun, mimpi itu runtuh. Mereka tertipu rekan bisnis.
Tahun 2005, Fauzan dan Fakri berhenti jadi petani ganja. Hidupnya tak tenang, was-was. Fauzan beralih menanam cabai. Panen pertama ia dapat Rp 50 juta karena harga tinggi. Sejak itu, ia tekun menanam palawija.
Didampingi Pemkab Aceh Besar, Fauzan dikirim ke Oisca Training Center di Sukabumi, Jawa Barat, tahun 2009. Ia belajar cara merawat tananam dan mengelola pascapanen. Pulang dari Sukabumi, ia ajak teman yang masih menanam ganja beralih ke palawija. Dibentuklah kelompok tani Oisca, sama dengan tempatnya belajar. Bergabung 15 orang saja.
Pendampingan
Tahun 2016, Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, TNI AD, dan pemerintah daerah meluncurkan program grand desain alternative development (GDAD), mengalihkan ladang ganja menjadi lahan pertanian dan agrowisata. Selain di Lamteuba program serupa dilakukan di Gayo Lues dan Bireuen.
Di sana, Kementerian Pertanian mencetak sawah baru bagi para petani ganja, serta membantu bibit padi dan kedelai. Sawah ladang dibuka 98 hektar dan dikelola anggota kelompok tani Oisca. Saat ini, jumlah anggota kelompok itu 200 orang.
Di sawah ladang itu ditanami padi gogo dan kedelai, secara bergantian. Panen padi dikonsumsi sendiri, sedangkan kedelai dijual kepada kelompok tani.
Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah optimistis dengan kerja sama lintas lembaga, label Aceh daerah penghasil ganja bisa berubah penghasil palawija.
Saat ini, ribuan warga Aceh diperkirakan masih mengonsumsi narkoba, termasuk ganja dan sabu. Pendampingan jelas dan konsisten dipercaya mengurangi paparan warga dari berbagai jenis narkoba.
Di Jakarta, pendampingan di Kampung Boncos dan Kampung Ambon menekan paparan kasus narkoba. Jumlah penggerebekan berkurang, ketenteraman warga menguat. Namun, longgarnya pendampingan membuat kedua kampung itu kembali digrebek. Kasus narkoba kembali muncul.
Kampung Kubur
Di Medan, Sumatera Utara, maju mundur pendampingan masyarakat terpapar narkoba juga terjadi, di antaranya di Kampung Kubur, pusat Kota Medan.
Sabtu pertama Maret lalu misalnya, seorang pria duduk merokok di teras rumah lantai dua di permukiman padat itu. Dua pria menanti di bawah. Tak lama, pria tak berbaju itu menurunkan ember hitam diikat tali. Beberapa lembar uang berpindah.
Usai "menimba" uang itu, pria di atas menurunkan ember. Kali ini berisi bungkusan plastik kecil. “Begitulah mereka bertransaksi. Kemarin polisi baru menangkap satu pengedar sabu, beberapa meter dari rumah itu,” kata Delima (50), warga kampung.
Kampung Kubur permukiman padat, salah satu pusat jual beli narkoba di Medan. Hampir setiap hari ada penggerebekan di Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah, itu.
Perubahan sempat terjadi tahun 2016, tiga bulan setelah Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso datang ke kampung seluas 500 meter x 300 meter di tepi Sungai Deli itu. “Setelah kedatangan, didirikan pos-pos polisi dan BNN tiga bulan. Transaksi narkoba berkurang, tetapi marak lagi setelah posnya tutup,” kata Emmy (64), mantan Kepala Lingkungan I Kampung Kubur.
Kini, hampir di tiap pintu masuk Kampung Kubur ada orang berdiri atau duduk-duduk. Mata mereka menatap curiga setiap orang asing masuk.
Apakah mungkin keadaan berubah? Pendampingan menyasar ekonomi warga di Desa Lamteuba jadi contohnya. Di sana, Fauzan dan sejumlah petani lain bertekad menggantikan ganja dengan palawija. Konsistensi dan ketulusan adalah kunci.