Saksi Pernah Beri Latihan Militer pada Terdakwa Bom Thamrin di Hutan UI
JAKARTA, KOMPAS — Saksi yang hadir dalam sidang lanjutan kasus penyerangan dan bom di Pos Polisi Jalan MH Thamrin mengaku telah mengenal terdakwa Aman Abdurrahman alias Oman Rochman sejak 2003. Saksi pun mengaku pernah memberikan pelatihan militer dan mengajarkan merakit bom pada terdakwa.
Sidang lanjutan itu digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (6/3) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Adapun saksi yang dihadirkan adalah Saiful Munthohir alias Ahmad Hariyadi alias Abu Gar.
Sebelum menyatakan sumpah sebagai saksi, Saiful tampak menghampiri terdakwa Aman Abdurrahman alias Oman Rochman. Saiful memeluknya dan menyentuhkan pipinya pada pipi Aman.
Ketua Hakim Akhmad Jaini bertanya kepada Saiful, ”Apakah Anda mengenal terdakwa?”
”Iya, saya mengenalnya sejak 2003, tepatnya di Tanah Abang, Jakarta. Waktu itu, saya menghadiri dan mendengarkan ceramahnya,” kata Saiful saat menjawab pertanyaan Akhmad.
Pada saat itu, Saiful menganggap Aman sebagai seorang ustaz yang lebih berilmu dibandingkan dirinya. Sepanjang 2003 sampai 2004, dia menemui Aman kurang dari 10 kali.
Saiful pernah memberikan latihan militer kepada Aman dan kelompoknya yang beranggotakan sekitar 20 orang. Latihan itu diadakan di kawasan hutan di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, pada 2004. ”Waktu itu Aman dan kelompoknya menjadi kader latihan militer saya. Latihan dilakukan terang-terangan dan ada mahasiswa yang melihat kegiatan itu,” katanya.
Waktu itu Aman dan kelompoknya menjadi kader latihan militer saya. Latihan dilakukan terang-terangan dan ada mahasiswa yang melihat kegiatan itu.
”Apa maksud latihan militer? Latihan fisik seperti merayap?” Tanya Ratmoho, salah satu anggota hakim.
”Ya. Saya juga ajarkan taktik seperti militer dan gerilya,” kata Saiful.
Tak hanya memberikan latihan fisik, Saiful juga mengajari Aman untuk merakit bom pada 2004. Tidak ada rencana meledakkan bom itu, hanya untuk melatih Aman membuat bom.
Pada 2005, Saiful menceritakan, Aman membesuknya di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada saat itu, Saiful tengah ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Porong. Setelah itu, Saiful tak pernah bertemu Aman lagi.
Aman didakwa pasal berlapis pada UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan ancaman maksimal hukuman mati. Dia diduga sebagai dalang peristiwa teror di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, dan Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Dalam sidang ini, Akhmad didampingi Irwan, Sudjarwanto, Ratmoho, dan Aris Bawono Langgeng sebagai hakim anggota. Sidang dimulai sekitar pukul 10.30 dan berakhir kira-kira pada pukul 12.45.
Pemikiran Aman
Dalam persidangan, Saiful menyatakan, dia sepaham dengan pemikiran Aman. Mereka menganggap bentuk negara Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bertentangan dengan paham yang mereka pegang.
Menanggapi hal tersebut, Ratmoho bertanya, ”Kalau Anda tidak sepakat dengan UUD 1945, kenapa tidak menjadi anggota DPR?”
”Karena DPR termasuk dalam sistem demokrasi yang bertentangan dengan paham yang saya yakini,” ujar Saiful dengan nada berbicara meninggi.
Oleh sebab itu, menurut Saiful, dia dan orang-orang yang sepaham dengannya perlu menyadarkan masyarakat terkait dengan ideologi yang mereka anut. Caranya ialah dengan berdakwah.
Namun, mereka bersikap ”memerangi” negara dan pemerintah. Hal itu tertulis dalam buku materi ajar yang ditulis oleh Aman. Buku itu ditunjukkan oleh tim jaksa penuntut umum dalam persidangan.
Pertemuan di Nusakambangan
Saat Aman ditahan di LP Kembang Kuning, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Saiful membesuknya. Sebenarnya, tujuan utama kunjungannya saat itu ialah menemui Rois alias Iwan Darmawan Muntho yang juga ditahan di sana. Kunjungan pada November 2015 itu berlangsung kira-kira selama dua jam.
Terkait kunjungan itu, Akhmad bertanya, ”Apakah benar saat itu terdakwa berbisik pada Anda tentang peristiwa teror di Paris, Perancis?”
”Iya. Tetapi terkait informasi itu, saya sudah mengetahuinya lebih dulu, sebelum bertemu dengan Aman. Saya mendapatkan anjuran yang dikirim dari pimpinan Negara Islam di Irak dan Suriah untuk melakukan hal yang sama seperti di Paris,” tutur Saiful.
Ketika Saiful hendak pulang, dia dipanggil oleh Rois. Dia menceritakan, Rois memintanya menyiapkan orang-orang untuk melaksanakan anjuran tersebut. Rois sudah menyiapkan senjata dan uang senilai Rp 200 juta. Namun, Saiful mengatakan kepada Rois, dia belum siap.
Setelah mengunjungi LP Nusa Kambangan, Saiful menemui Muhammad Ali alias Abu Isa di rumah Ali di kawasan Meruya, Jakarta Barat. Dia menuturkan pesan Rois dan hal-hal yang telah dipersiapkan Rois untuk melaksanakan anjuran tersebut kepada Ali.
Ketika itu, Ali menyanggupinya. ”Ali bilang, ’Kalau tidak ada orang lain, biar saya saja. Semoga saya siap.’ Saya tidak langsung mengiyakan. Sebulan kemudian, dia mendesak saya lagi dan saya menyetujuinya,” kata Saiful dalam persidangan.
Sesudah menyetujui niat Ali, Saiful mengirimkan dua kontak kepada Ali melalui aplikasi Telegram untuk menjadi rekan eksekusi. Ali mengambil senjata dan menggunakan uang Rp 75 juta untuk eksekusi tersebut.
Tim jaksa penuntut umum menunjukkan dua pistol dalam persidangan sebagai barang bukti senjata penyerangan. Saiful mengangguk saat ditanya mengenal senjata itu atau tidak.
Ali tewas saat peristiwa bom bunuh diri serta baku tembak di Pos Polisi Jalan MH Thamrin dan Sarinah, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016. Saat kejadian itu, Saiful berada di Ambon. ”Rencana dan eksekusinya disusun oleh Ali. Saya tidak tahu-menahu,” ujar Saiful.
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya (Kompas, 24/2), kejadian itu juga menewaskan empat terduga teroris lainnya dan dua warga sipil. Sejumlah 24 orang terluka, yaitu 5 polisi, 15 warga sipil, dan 4 warga asing yang berasal dari Belanda, Austria, Jerman, dan Aljazair.