Tercatat 71 narkoba jenis baru beredar, enam di antaranya belum masuk peraturan menteri kesehatan. Penggunanya belum bisa dijerat hukum.
JAKARTA, KOMPAS -- Ancaman narkoba tidak hanya dari banyaknya jumlah yang diselundupkan atau diproduksi, tetapi juga dari jenis zat psikoaktif baru (new psychoactive substance/NPS) yang beredar di masyarakat. Hingga Februari 2018 terdapat 71 narkoba jenis baru di Tanah Air dari sedikitnya 800 narkoba jenis baru yang beredar di dunia.
”Orang-orang pernah heboh karena di grup Whatsapp beredar dokumentasi orang berjalan dan loncat seperti zombi setelah mengonsumsi flakka. Padahal, flakka hanya sebagian kecil dari seluruh NPS yang efeknya sama juga parahnya,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Neuroscience Institute Adhi Wibowo Nurhidayat di kantornya di Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan, Jakarta, Senin (5/3).
Beragam jenis NPS di Indonesia, antara lain metilon, ganja sintetis untuk membuat tembakau super serta dijadikan bahan cairan untuk rokok elektronik, flakka, khat, dan blue safir. Namun, NPS di dunia lebih luas lagi dan terbagi dalam sembilan golongan: ganja sintetis, katinona sintetis, ketamin, dan phencyclidine-type substances, riptamin, piperazin, zat berbasis tanaman, aminoindanes, serta golongan zat-zat NPS lain.
Nama-nama itu barangkali aneh dan asing, tetapi ada konsumennya, bahkan tidak susah mengaksesnya. ”Sekarang trennya lewat pembelian online,” kata Adhi, mantan psikiater di Balai Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), di Lido, Bogor.
Pengguna bisa mengakses laman khusus lewat telepon seluler, cukup dengan mengunduh aplikasi khusus. Lalu, berselancar menggunakan browser khusus ke ”lokasi” khusus yang tak terindeks mesin pencari (deep web). Di sana pemesan bisa masuk ke laman marketplace yang menjual bermacam narkoba, termasuk heroin.
Efek buruk
Mantan Kepala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso menyatakan, narkoba jenis baru tak kalah berbahaya dari narkoba tradisional, seperti sabu. ”Flakka lebih berbahaya dari sabu dan ekstasi. Tembakau gorilla lebih bahaya dari ganja,” katanya.
Adhi mencontohkan, ganja sintetis yang memiliki sejumlah nama populer, seperti tembakau gorilla, hanoman, sun go kong, komodo, dan ganesha, menimbulkan efek kecanduan yang lebih tinggi dibandingkan ganja tanaman. Efek sampingnya lebih parah. Pengguna ganja sintetis berperilaku lebih kacau, lebih mudah curiga kepada orang lain, dan berpotensi melukai orang.
Di dunia, jumlah jenis NPS senantiasa naik. Berdasarkan data Kantor Perserikatan Bangsa- Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), 106 negara dan teritori melaporkan kemunculan 739 jenis NPS antara 2009 dan 2016. Hingga akhir 2017, jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 800 jenis yang dilaporkan oleh 110 negara dan teritori.
Jika melihat dari sisi efek zat, 36 persen dari keseluruhan NPS tadi dilaporkan bersifat stimulan, 32 persen bersifat agonis reseptor ganja sintetis, 16 persen halusinogen klasik, 4 persen opioid, 4 persen sedatif/hipnotis, 3 persen disosiatif, dan 5 persen belum ditentukan sifatnya.
Di Indonesia, BNN mencatat, hingga akhir 2017 terdapat 68 jenis NPS beredar. Kepala Balai Laboratorium Narkoba BNN Komisaris Besar Kuswardani mengatakan, jumlah itu bertambah tiga jenis lagi pada akhir Februari 2018 menjadi 71 jenis.
Dengan jumlah saat ini yang 9 persen dari total jenis NPS di dunia, jumlah di Indonesia masih sangat mungkin bertambah. NPS golongan ganja sintetis yang dikenal sebagai tembakau super pun bisa beragam.
Contohnya, ada zat AM-2201 turunan dari MAM-2201. Zat turunan ataupun zat induk bisa menjadi ganja sintetis. ”Setidaknya ada 450 zat cannabinoids sintetis saat ini. Ke depan bisa bertambah,” ujar Kuswardani.
Peraturan menteri
Secara regulasi, dari 71 jenis NPS di Indonesia, enam jenis belum diatur sebagai narkotika dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Saat berjumlah 68 jenis, baru tiga jenis NPS yang belum masuk.
BNN tak menyebut nama-nama zat yang belum diatur regulasi karena informasi itu dikhawatirkan bakal dimanfaatkan pengedar dan penyalah guna. ”Jika belum diatur khusus, belum bisa dihukum,” kata Kepala Humas BNN Komisaris Besar Sulistyandriatmoko.
Di tempat terpisah, Kementerian Kesehatan menyatakan siap merespons cepatnya perkembangan narkotika jenis baru dengan menerbitkan permenkes tentang penggolongan narkotika secara berkala. ”Perubahan permenkes tentang penggolongan narkotika yang terbaru akan segera keluar. Sekarang sedang dalam proses pengundangan,” kata Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Maura Linda Sitanggang.
Terkait transaksi daring, Kepala BNN Inspektur Jenderal Heru Winarko mengatakan, itu telah dipantau BNN bersama Polri. ”Ini penting. Kami juga punya bidang siber bekerja sama dengan kepolisian atau instansi lain,” katanya dalam kenal pamit dengan Budi. (JOG/ADH/WAD)