JAKARTA, KOMPAS — Setelah dibahas dalam rapat pleno, Komisi Pemilihan Umum memutuskan untuk menjalankan putusan Badan Pengawas Pemilu yang menyatakan Partai Bulan Bintang memenuhi syarat peserta pemilu. KPU mengagendakan rapat pleno penetapan PBB sebagai peserta Pemilu 2019, sekaligus penetapan nomor urut PBB pada Selasa malam ini.
Dengan penetapan PBB sebagai peserta pemilu, jumlah partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2019 menjadi 15 partai politik, yakni 11 parpol peserta Pemilu 2014 serta empat parpol baru, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda). Jumlah ini meningkat dari peserta Pemilu 2014 sebanyak 12 parpol.
Dalam jumpa pers di KPU di Jakarta, Selasa (6/3), anggota KPU, Hasyim Asy’ari, mengatakan, KPU akan meralat dan mengubah berita acara penetapan parpol peserta pemilu untuk memberi status memenuhi syarat kepada PBB seperti disebutkan dalam putusan Bawaslu. Setelah itu, KPU juga akan mengubah surat keputusan penetapan parpol peserta Pemilu 2019.
KPU akan mengubah surat keputusan tentang penetapan nomor urut partai politik dengan memasukkan PBB dalam nomor tertentu. Nanti malam akan dilakukan dalam rapat pleno terbuka.
”KPU juga akan mengubah surat keputusan tentang penetapan nomor urut partai politik dengan memasukkan PBB dalam nomor tertentu. Nanti malam akan dilakukan dalam rapat pleno terbuka,” kata Hasyim Asy’ari.
Seperti diberitakan, dari 16 partai politik yang menjalani verifikasi faktual untuk menjadi peserta Pemilu 2019, KPU pada 17 Februari menyatakan ada 14 parpol yang memenuhi syarat. Dua partai, yakni PBB dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Kedua pengurus parpol itu kemudian mengajukan sengketa penetapan parpol ke Bawaslu. Setelah melalui proses mediasi dan adjudikasi, Bawaslu memutuskan menerima permohonan PBB. Sementara itu, Bawaslu akan memutus permohonan PKPI pada Selasa sore.
Atas putusan Bawaslu terhadap PBB, sebenarnya selain membahas opsi menjalankan putusan Bawaslu, KPU juga sempat membahas opsi untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan tata usaha negara. Namun, upaya perlawanan hukum itu urung dilakukan karena ada persoalan dalam konstruksi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal 469 Ayat (2) UU No 7/2017 menyatakan dalam hal penyelesaian sengketa proses pemilu yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum ke PTUN. Sementara itu, pada Pasal 470 UU No 7/2017 disebutkan yang menjadi obyek sengketa di PTUN ialah keputusan KPU.
Hal ini kemudian diakomodasi dalam Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses Pemilu di PTUN. Dalam peraturan itu disebutkan bahwa penggugat adalah calon anggota legislatif, partai politik calon peserta pemilu, serta bakal pasangan calon presiden dan wakil presiden yang keberatan terhadap keputusan KPU.
”Yang dijadikan obyek gugatan itu bukan putusan Bawaslu, melainkan keputusan KPU. Maka, mungkin KPU mengajukan sengketa gugatan ke PTUN dengan menggugat SK sendiri. Ada problem konstruksi hukum di level undang-undang,” kata Hasyim.
Yang dijadikan obyek gugatan itu bukan putusan Bawaslu, melainkan keputusan KPU. Maka, mungkin KPU mengajukan sengketa gugatan ke PTUN dengan menggugat SK sendiri. Ada problem konstruksi hukum di level undang-undang.
Pemahaman yang sama juga sudah sempat disampaikan oleh Ketua Bawaslu Abhan. ”Argumentasi hukumnya, proses sengketa di Bawaslu itu dianggap bukan sebagai sebuah proses peradilan. Maka, ketika mengajukan upaya ke pengadilan, dianggap bagian dari upaya awal. Artinya, jika yang mengajukan itu KPU, seperti menggugat produk sendiri sebagai pejabat tata usaha negara. Jadi, tidak ada kedudukan hukum,” kata Abhan.
Hasyim mengatakan sebenarnya pertimbangan Bawaslu yang digunakan dalam putusan tidak semua terkait persoalan kelemahan KPU atau kesalahan KPU, tetapi karena juga ada cara pandang KPU dan Bawaslu yang berbeda. Dia mencontohkan terkait putusan sengketa PBB akan lebih adil jika putusan Bawaslu itu memerintahkan verifikasi ulang di Manokwari Selatan (Papua Barat), daerah penentu yang menyebabkan PBB dinyatakan tidak memenuhi syarat.
”Supaya ada keadilan dan pembuktian. Ada pembuktian PBB memenuhi syarat sehingga bisa melenggang dalam pemilu dengan yakin. Dalam situasi itu, KPU juga bisa mengoreksi KPU Manokwari Selatan,” kata Hasyim.
Anggota KPU, Wahyu Setiawan, juga mengingatkan tidak tepat jika putusan Bawaslu itu dipandang dalam konteks menang dan kalah. Dalam konteks putusan PBB, katanya, tidak ada putusan Bawaslu yang menyatakan verifikasi di Kabupaten Manokwari Selatan salah. Menurut dia, Bawaslu justru berpegang pada hasil verifikasi yang sudah dilakukan oleh KPU sebelum muncul putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan semua parpol, termasuk parpol lama, untuk juga menjalani verifikasi faktual.
”Putusan Bawaslu adalah hukum. Jadi (sikap KPU menerima putusan Bawaslu) ini menunjukkan KPU lembaga yang menghormati hukum dan mengedepankan asas kepastian hukum,” kata Wahyu.
Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan di tengah munculnya putusan Bawaslu itu, KPU tetap optimistis pemilu bisa berjalan dengan baik dengan dukungan semua pihak. ”Supaya semakin hari kelemahan bisa diminimalisasi dan pemilu bisa berjalan sesuai dengan harapan semua orang,” kata Arief.