Daya Saing Ekspor Perikanan Terancam
Banyak pembudidaya belum mengantongi sertifikat cara budidaya ikan yang baik. Hal ini akan memengaruhi daya saing ekspor karena sejumlah negara mensyaratkannya.
JAKARTA, KOMPAS - Daya saing ekspor produk perikanan budidaya mulai terancam. Hal ini terjadi karena masih banyak pembudidaya belum mengantongi sertifikasi cara budidaya ikan yang baik (CBIB). Sementara, pasar internasional mensyaratkan produk berasal dari cara budidaya yang baik.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo, di Jakarta, Minggu (5/1), mengemukakan, ekspor produk perikanan Indonesia dalam posisi lampu kuning. Ini terutama terjadi untuk ekspor ke Uni Eropa dan Amerika Serikat yang kemungkinan suatu saat bisa ditolak karena eksportir belum mampu memberikan jaminan keamanan pangan bahan baku untuk industri perikanan.
Ironis, saat Presiden Jokowi meminta untuk meningkatkan ekspor produk perikanan, Indonesia terancam tidak boleh mengekspor produk perikanan ke Uni Eropa dan AS.
Dari hasil inspeksi terhadap usaha hulu perikanan Indonesia yang dilakukan Directorate General for Health and Food Safety (DG-SANTE) Uni Eropa pada 2017 dan Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat pada 2016, muncul rekomendasi agar bahan baku yang masuk ke unit pengolahan ikan (UPI) harus berasal dari tambak yang mempunyai sertifikat CBIB. Selain itu, pengusaha kapal atau pemasok perikanan mengantongi sertifikat cara penanganan ikan yang baik (CPIB).
Kendalanya, lanjut Budhi, sampai saat ini jumlah petambak, pengusaha kapal, dan pemasok ikan yang mendapat sertifikat CBIB atau CPIB masih minim. Dari data AP5I, realisasi CBIB komoditas udang hanya 1 persen dari total petambak di Indonesia. Padahal, persaingan dengan negara produsen perikanan budidaya mengharuskan produksi ikan budidaya dengan memperhatikan persyaratan pembeli, termasuk sertifikasi produk.
Saat ini, jumlah petambak komoditas perikanan air payau terdata sekitar 600.000 orang. Sekitar 90 persen di antaranya merupakan petambak udang rakyat. Per Juli 2017, realisasi CBIB tambak udang baru 2.551 tambak.
Kami sangat khawatir, suatu saat Indonesia tidak diperbolehkan lagi mengekspor produknya ke EU atau USA atas alasan keamanan pangan.
Ia menambahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta dinas perikanan daerah sebenarnya sudah berupaya mendorong sertifikasi CBIB secara gratis. Namun, alokasi anggaran sangat kecil untuk melakukan sertifikasi tersebut.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengemukakan, pemerintah tengah menyiapkan penyatuan ratusan sertifikasi perikanan budidaya ke dalam satu sertifikasi, yakni IndoGAP. IndoGAP atau Indonesian Good Aquaculture Practices adalah persyaratan usaha budidaya ikan untuk menjamin keamanan pangan, mutu produk perikanan budidaya secara berkelanjutan, serta keberlanjutan usaha yang ramah lingkungan.
Sertifikasi itu diharapkan dapat memberikan jaminan mutu produk perikanan, baik untuk pasar di dalam negeri maupun di luar negeri. ”Kami sedang menyiapkan IndoGap dengan sertifikasi secara independen,” kata Slamet.
Skala besar
Menurut Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto, saat ini hampir semua tambak udang skala besar atau intensif sudah menerapkan sertifikasi. Namun, masih banyak tambak udang skala kecil dan tambak-tambak baru yang belum menerapkan CBIB.
Ia menilai, pemberlakuan sertifikasi seharusnya memberikan banyak manfaat, terutama dari aspek usaha yang ramah lingkungan dan tambak bebas antibiotik. Dengan sertifikasi, pengelolaan limbah terkontrol, penyakit udang terkendali, sehingga budidaya udang tidak saling membunuh akibat penanganan limbah yang buruk.
Kendalanya, CBIB selama ini hanya sekadar sertifikat serta belum terasa manfaat dan fungsi kontrolnya. Tidak banyak juga manfaatnya untuk mendorong kenaikan harga ekspor. Akibatnya, banyak petambak yang belum merasa penting untuk memiliki sertifikasi itu.
Ia menambahkan, upaya pemerintah menyatukan sertifikasi ke dalam IndoGap tidak akan banyak dampaknya tanpa kontrol yang ketat terhadap tambak. Pemberian sertifikasi harus diterapkan berdasarkan prosedur yang ketat sebagai persyaratan izin usaha dan ekspor.
”Penerapan IndoGap harus punya daya kontrol agar ditaati. Jika sertifikasi sekadar ganti nama dan tidak punya manfaat, pelaksanaannya akan mandul,” kata Iwan. (LKT)