Pita Kuning dan Kesetiaan Pep Guardiola
Kick politics out of football. Pep Guardiola pasti tahu kampanye FIFA tersebut, tetapi dia tetap menggunakan pita kuning saat mendampingi timnya dalam beberapa bulan terakhir.
Ancaman sanksi dari otoritas sepak bola Inggris, Football Association (FA), tak digubrisnya. Pep bergeming dan tetap mengenakan pita kuning yang merupakan simbol protes terhadap pemerintahan Spanyol itu, bahkan sampai laga terakhir Manchester City, Kamis lalu di Stadion Emirates, kandang Arsenal.
Pep memprotes pemerintah pusat Madrid yang memenjarakan dua tokoh gerakan kemerdekaan Catalonia, Jordi Sanchez dan Jordi Cuixart, tanpa proses pengadilan.
Bagi Pep yang memang dikenal sebagai tokoh yang sangat gigih memperjuangkan kemerdekaan Catalonia dari Spanyol, pita kuning bukanlah sebuah gerakan politik. Buat pelatih yang selangkah lagi membawa ”The Citizen” menjuarai Liga Inggris musim 2017-18 ini, pita yang disematkan dengan bangga di dada kirinya itu adalah lambang gerakan demokrasi dan terlebih kemanusiaan.
Pep memrotes pemerintah pusat Madrid yang memenjarakan dua tokoh gerakan kemerdekaan Catalonia, Jordi Sanchez dan Jordi Cuixart, tanpa proses pengadilan. Kedua tokoh tersebut dijebloskan ke penjara setelah kerusuhan yang merebak setelah referendum pemisahan Catalonia, Oktober tahun lalu.
”Sudah lebih dari 140 hari mereka dipenjara tanpa pengadilan,” kata Guardiola dalam jumpa pers di London selepas laga final Piala Carabao melawan Arsenal.
Kepada pers Inggris, Pep mengingatkan, negara itu juga mengizinkan referendum Skotlandia dan berlangsung aman. Demikian pula dengan referendum pemisahan Inggris dari Uni Eropa atau populer dengan sebutan Brexit.
”Hal yang sama juga saya lakukan ketika saya mengenakan pita untuk kampanye kanker prostat. Idenya sama, dan banyak kampanye dilambangkan dengan pita. Saya cukup yakin banyak orang di seluruh dunia, juga di Spanyol yang tidak menginginkan kemerdekaan, tetapi mereka tidak menjebloskan orang ke penjara,” kata Guardiola yang sejak remaja gigih menyuarakan kemerdekaan Catalonia.
Pekan lalu, FA menjatuhkan sanksi kepada Pep karena dia mengenakan pita kuning saat laga Piala FA melawan Wigan. Pep diberi waktu empat hari untuk memberikan klarifikasi tentang tindakannya itu. Seolah tidak peduli dengan ancaman sanksi, Pep kembali mengenakan pita kuning pada laga final Piala Carabao hari Minggu lalu, dan pita yang sama dia kenakan saat melawan Arsenal, Kamis lalu di ajang Liga Primer.
Sebelumnya, Pep menegaskan, dia akan melepas pita kuning tersebut jika tindakan itu berpengaruh terhadap penampilan timnya. ”Tentu tim lebih penting daripada opini pribadi saya,” ujar Pep yang seolah menantang dengan mengatakan, menerima apa pun sanksi FA atas aksinya tersebut. Pep berkeras, tindakannya bukan kegiatan politik.
Bagi Pep, ancaman sanksi FA memang cukup ambigu. Jika mengacu kepada peraturan FIFA, semua jenis lambang yang tidak terkait sepak bola tidak boleh dikenakan dalam laga resmi di bawah bendera organisasi olahraga paling berpengaruh tersebut. Namun, pada kasus FA sendiri, mereka pernah bermasalah dengan FIFA tetapi akhirnya mendapatkan ”lampu hijau” untuk mengenang para pahlawan Inggris yang gugur di medan tempur pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II atau dikenal dengan nama Remembrance Day.
Pada 2016, FIFA mengancam akan memberikan sanksi kepada FA setelah para pemain Inggris mengenakan lambang bunga popi dalam laga internasional melawan Skotlandia menjelang Remembrance Day. FIFA menilai bunga popi adalah simbol politik. Namun, FA kemudian memberi penjelasan mengenai Remembrance Day, dan akhirnya Zurich memberikan persetujuan dan aturan aturan baru yang memperbolehkan lambang bunga popi.
Pendirian kuat
Saat tiba di Inggris pada musim panas 2016, Pep adalah pelatih yang sangat kokoh pada pendiriannya dan selalu yakin pada gaya bermain passing game. Keyakinan itu pula yang kemudian menuai kecaman akibat kegagalannya meraih trofi pada musim pertamanya di Manchester City. Sebagai pelatih dengan reputasi dunia bersama Barcelona dan Bayern Muenchen, finish di posisi ketiga bukanlah kenyataan manis yang harus ditelan pendukung ”The Citizen”.
Namun, musim berikutnya 2017-2018 yang kini sedang berjalan, Pep yang menambal semua kekurangan, terutama di lini belakang, boleh dikatakan tidak bakal terbendung untuk meraih gelar. Dengan gaya permainan passing game dan dominasi penguasaan bola (ball possession) pula, City meraih gelar pertama di bawah Pep dengan menghancurkan Arsenal di final Piala Carabao, akhir pekan lalu.
Melihat kesetiaannya pada ide dasar permainan sepak bola yang dia dapatkan sejak remaja di akademi Barcelona itu, banyak orang menyadari mengapa pula dia begitu setia pada gerakan membebaskan Catalonia dari Spanyol yang diyakininya telah secara sistematis menghapuskan nilai-nilai budaya Catalonia. Dengan pita kuning, Pep hanya berharap mendapatkan perhatian internasional dan tentu saja perhatian Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy, garda terdepan Spanyol dalam menghalangi segala upaya pemisalahan Catalonia dari Madrid.
Di Spanyol, serangan terhadap Pep, dan juga Gerard Pique—bek Barcelona yang terang-terangan mendukung kemerdekaan Catalonia—sudah menjadi hal yang sangat umum. Pep dan Pique sendiri tak memedulikan segala bentuk ancaman terhadap mereka, bahkan semakin yakin dengan sikapnya. Pique bahkan menantang, dia akan mundur dari timnas Spanyol jika pelatih memang menghendakinya.
Jika di Bayern Muenchen dan Manchester City Pep menyakini bahwa gaya permainannya adalah yang terbaik, demikian pula dia meyakini bahwa penentuan nasib sendiri bagi rakyat Catalonia adalah yang terbaik.
Kembali ke tahun 1961 ketika penguasa Spanyol Jenderal Franco melarang penggunaan bahasa Catalan, sejumlah tokoh budaya setempat membentuk Omnium Cultural sebagai bentuk perlawanan. Gerakan ini menarik banyak sekali kalangan sosial dan politik untuk bergabung dan mereka bertekad mempertahankan bahasa dan budaya Catalan.
Meski gerakan ini bersifat damai, pemerintah pusat Madrid gerah dan menutup markas Omnium Cultural pada 1963. Madrid bahkan juga melarang segala bentuk aktivitas yang mengatasnamakan gerakan budaya ini.
Meski dilarang, secara diam-diam sejumlah tokoh Catalonia tetap berjuang melakukan perlawanan terhadap Madrid. Mereka bahkan membentuk pemerintahan sendiri, Generalitat de Catalonia, dan terus menggunakan bahasa Catalan di semua aspek kehidupan, termasuk media dan administrasi pemerintahan. Setelah perjuangan panjang, Omnium Cultural akhirnya mendapatkan kembali status legalnya pada 1967.
Juni tahun lalu, di depan ribuan warga Barcelona, Pep berbicara dalam tiga bahasa, Spanyol, Catalan, dan Inggris, meminta Pemerintah Madrid mengizinkan warga Catalonia melakukan referendum untuk menentukan masa depan mereka sendiri.
Pep dan keluarganya pun tak ketinggalan bergabung dalam gerakan Omnium Cultural. Saat menjadi pemain bola, Pep sebenarnya tidak pernah secara terang-terangan menyatakan sikap politiknya meski pada 1992, pada usia 21, dia berdiri di balkon Generalitat Palace di Barcelona. Dengan memegang piala Liga Champions dan bendera Catalonia melilit lehernya, Pep berteriak, ”Warga Catalonia, kalian memiliki piala ini sekarang!”
Setelah menggantung sepatu dan beralih menjadi pelatih, gairah Pep untuk memerdekakan Catalonia semakin kuat. Dalam beberapa kesempatan memperingati ”Diada”, hari hilangnya identitas Catalonia di tangan Raja Philip IV, 11 September 1714, Pep berada di tengah kerumunan massa di jalanan Barcelona. Pada 2015, pria kelahiran Santpedor ini merekam video untuk mendukung pemintaan warga Catalonia menggelar referendum pemisahan dari Spanyol.
Juni tahun lalu, di depan ribuan warga Barcelona, Pep berbicara dalam tiga bahasa, Spanyol, Catalan dan Inggris, meminta Pemerintah Madrid mengizinkan warga Catalonia melakukan referendum untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Parlemen Catalonia sendiri sebelumnya telah 18 kali secara resmi meminta diadakannya referendum dan selalu ditolak Madrid. Padahal, Parlemen Catalonia adalah perwakilan yang dipilih secara sah oleh 80 persen warga wilayah Catalonia.
Dalam pidatonya tersebut, Pep mengatakan, tak ada pilihan lain bagi warga Catalonia selain memberikan suaranya dalam referendum. Pep meyakini, orang Catalan telah menjadi korban pemerintahan Madrid yang secara sistematis melakukan ”persekusi politik yang bertentangan dengan demokrasi abad ke-21 di Eropa”.
”Pemerintah Madrid terbukti berusaha menghilangkan model pemikiran Catalan, meruntuhkan pilar kohesi sosial, dan secara sistematis melakukan blokade investasi di area pelabuhan, bandara, dan transportasi publik di wilayah Catalonia,” kata Pep Guardiola.
Pep sendiri tumbuh dan besar sebagai pemain dan pelatih bersama Barcelona, klub yang memang didirikan bukan sekadar untuk menampung bakat-bakat terbaik di lapangan hijau, melainkan terlebih untuk melawan dominasi Kerajaan Spanyol terhadap wilayah Catalonia. Pada suatu masa, dalam semua pertandingan di Camp Nou, laga akan berhenti (selama satu menit) pada menit ke-17 lewat 14 detik untuk mengenang dimulainya kekuasaan Spanyol atas wilayah Catalonia pada tahun 1714.
Klub Barcelona yang didirikan pada 1899 terkenal dengan motonya”Més que un club”atau ”Bukan Sekadar Klub” adalah pernyataan bahwa mereka adalah sebuah gerakan untuk melestarikan Catalanism, nilai-nilai kultural dan cara hidup yang menurut Guardiola hendak dimusnahkan oleh pemerintahan Madrid.
Melihat latar belakang sejarah, baik personal maupun klub di mana dia dibesarkan, Pep memang tidak mungkin lepas dari ”gerakan politik” yang dituduhkan kepadanya oleh Football Association. Di satu sisi, Pep berpegang teguh pada keyakinannya, dengan cara damai, memasang pita kuning di dadanya sebagai bentuk aspirasinya bagi demokrasi dan kemanusiaan.
Di sisi lain pula, FA berpegang teguh pada aturan FIFA meski mereka pun meyakini bunga popi bukanlah simbol gerakan politik. Ada standar ganda pada sikap FA, sementara kita melihat sebuah kesetiaan pada Pep Guardiola.