Menteri Yohana: Saya Sakit Mendengar Anak Papua Meregang Nyawa
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
KEKERASAN fisik dan seksual terhadap anak yang berujung pada kematian untuk kesekian kalinya kembali terjadi di Papua Barat. Kekerasan tersebut dialami seorang anak perempuan berusia sekitar 11 tahun, di Swapen Perkebunan, Kabupaten Manokwari, pada Kamis (1/3). Sang anak diduga kuat menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan.
Karena itu sesaat setelah mendengar kabar tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise mengutuk keras dan menyesalkan kejadian tersebut.
“Saya seorang Ibu Papua. Saya sakit mendengar terus menerus ada anak Papua yang harus meregang nyawa karena mengalami kekerasan seksual. Saya kutuk keras kejadian ini,” ujar Yohana dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat (2/3).
Informasi mengenai pembuhunan terhadap anak perempuan tersebut diperoleh Kementerian PPPA dari Kepala Kepolisian Resor Manokwari, Ajun Komisaris Besar Adam Erwindi. Dari informasi polisi, ada indikasi kuat korban diduga mengalami kekerasan fisik dan seksual sebelum dibunuh.
Dugaan tersebut diperkuat dengan dengan hasil visum yang menyatakan ada luka di kepala korban yang diduga akibat dipukul dengan menggunakan batu. Selain itu terdapat luka pada organ vital atau area genital korban. Saat ini, polisi telah mengantongi nama tersangka dan sedang dalam tahap pencarian.
Karena itu, Yohana memberi apresiasi atas langkah kepolisian yang bergerak cepat mengusut kasus ini. “Kementerian PPPA siap membantu jika diperlukan bantuan dalam hal pendampingan ataupun pengawalan penyelesaian kasus. Hendaknya pelaku diberikan sanksi seberat-beratnya, kebiri saja!” tegas Menteri Yohana.
Selanjutnya, untuk menghentikan kekerasan terhadap anak, Kementerian PPPA menghimbau agar semua masyarakat terlibat dan bekerjasama untuk melindungi setiap anak. Berbagai upaya perlu dilakukan diantaranya, memberi pemahaman mengenai seksualitas diri anak, terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dilihat dan disentuh oleh orang lain.
Selain itu, Yohana meminta agar setiap orangtua harus mampu menjalin komunikasi yang penuh kasih sayang dengan anaknya, sehingga bila terjadi masalah terhadap anak, orangtua tahu lebih dulu.
“Kepada seluruh masyarakat, terutama komunitas yang paling kecil yaitu keluarga, untuk memiliki sensitifitas terhadap anak. Apabila ada potensi kekerasan terhadap anak disekitar kita, kita harus bergerak bersama untuk melindungi anak, karena setiap anak harus dilindungi,” ujar Yohana.
Apabila ada potensi kekerasan terhadap anak disekitar kita, kita harus bergerak bersama untuk melindungi anak
Dalam setiap kesempatan Yohana selalu berteriak lantang mengecam kekerasan terhadap perempuan di Tanah Air. Bahkan Yohana menegaskan UU No.17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak harus diterapkan secara tegas, bagi pelaku-pelaku kejahatan anak.
Karena itu ketika ada kasus pemerkosaan dan pembunuhan terhadap anak perempuan di Papua Barat beberapa waktu lalu, Yohana pun menyatakan hukuman kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik, akan diterapkan bagi pelaku.
Perempuan terus jadi korban
Maraknya kekerasan seksual dan pembunuhan terhadap perempuan berulang kali dikecam Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas HAM). Komisioner dan Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Mariana Amiruddin kepada media, Kamis (1/3) di Jakarta dalam keterangan pers terkait kegiatan Women\'s March 2018, menegaskan perlindungan perempuan harus menjadi perhatian perempuan, karena tiap tahun kekerasan termasuk pembunuhan perempuan terus terjadi.
Dia menyebutkan pada tahun 2017, hampir 260.000 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan. Kekerasan terjadi baik dalam ranah rumah tangga maupun di ranah publik. Mariana mengutip data dari Menghitung Pembunuhan Perempuan yang menyebutkan pada tahun 2017 ada 173 perempuan dibunuh di Indonesia. Sebanyak 95 persen perempuan tersebut di dibunuh laki-laki.
Tahun 2017 ada 173 perempuan dibunuh di Indonesia. Sebanyak 95 persen perempuan tersebut dibunuh laki-laki.
“Femicide atau pembunuhan perempuan karena dia perempuan, perlu menjadi perhatian kita. Femicide dapat saja terjadi karena tidak dijalankannya fungsi perlindungan korban saat terancam nyawanya, termasuk dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga. Femicide terjadi karena kuatnya kuasa patriarki, relasi kuasa antara pelaku dan korban, dan pelaku adalah orang-orang dekat yang dikenal korban,” katanya.
Pelibatan laki-laki
Melihat banyaknya kekerasan di Papua yang berujung pada kematian, akhir tahun lalu, 15 Desember 2017, ketika di Biak, Papua, Yohana menggelar kegiatan Temu Masyarakat Adat Biak yang membahas pentingnya pelibatan laki-laki dalam pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak (he for she) di Distrik Biak Timur, Papua.
Menurut Yohana, pendekatan kepada laki-laki pelaku kekerasan merupakan bagian dari upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan masih belum banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, maupun lembaga masyarakat. Padahal, memberikan perhatian pada laki-laki juga menjadi hal yang sangat penting.
“Pada kasus kekerasan terhadap perempuan, kita tentunya sepakat bahwa laki-laki menjadi bagian dari masalah. Namun perlu juga disadari, bahwa laki-laki juga dapat menjadi bagian dari solusi,” tegas Yohana ketika itu.
Bagi Yohana, kehadiran masyarakat dan tokoh adat Papua dalam membahas persoalan perempuan dan anak sangat penting untuk mencari solusi terbaik bagi masyarakat Papua. Yohana berharap laki-laki menjadi bagian pemecahan masalah, bukan seperti akar masalah seperti yang terjadi selama ini.
Harapan ini tentu saja harus diikuti berbagai langkah konkret dari pemerintah maupun masyarakat untuk melindungi perempuan dan anak perempuan dari kekerasan, terutama masyarakat Papua. Jangan lagi, ada korban kekerasan apalagi sampai kehilangan nyawa. (SONYA HELLEN SINOMBOR)