JAKARTA, KOMPAS — Akses masyarakat terhadap diagnosis dan pengobatan yang tepat penyakit fibrosis paru idiopatik sangat rendah. Itu sebabnya, pengetahuan masyarakat dan dokter perlu ditingkatkan. Kebutuhan obat pun harus dipenuhi dan dijamin program Jaminan Kesehatan Nasional.
Demikian pesan inti dari sejumlah pembicara pada acara edukasi media tentang penyakit fibrosis paru idiopatik (IPF) di Jakarta, Jumat (2/3). Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto mengatakan, sangat sedikit warga yang mengetahui penyakit IPF. Dokter pun tidak semua mengerti IPF karena kejadiannya yang jarang.
Kesalahan penegakan diagnosis kerap dialami pasien IPF. Karena ketidaktahuan dan kekeliruan cara mendiagnosis, dokter terkadang mendiagnosis IPF sebagai tuberkulosis, pneumonia, kanker, atau penyakit paru obstruktif kronik.
IPF akan terlihat jelas jika dilakukan pemindaian tomografi terkomputasi (CT scan) paru. ”Foto rontgen saja tidak bisa mendiagnosis tepat,” ujar Agus.
Selain itu, obat untuk penyakit IPF pun masih terbatas. Selama bertahun-tahun obat untuk penyakit IPF tidak tersedia di Indonesia. Persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terhadap salah satu jenis obat IPF baru diberikan tahun 2018, yakni pirfenidone.
IPF adalah penyakit yang menyebabkan kerusakan permanen pada paru melalui luka parut yang progresif. Penyakit yang tidak diketahui sebab pastinya ini tidak bisa disembuhkan dan fatal. Beberapa faktor risiko yang mampu mencetusnya ialah perilaku merokok, kondisi lingkungan, infeksi virus, refluks gastrointestinal, dan genetika atau keturunan.
Agus menuturkan, pada orang normal oksigen yang dihirup akan masuk hingga sampai ke alveoli di paru. Di sinilah kemudian oksigen masuk ke dalam darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Pada pasien IPF, proses pertukaran oksigen terganggu. Elastisitas paru menurun karena menjadi luka parut. Pasien akan sulit bernapas.
IPF dikategorikan sebagai penyakit langka oleh European Medicines Agency (EMA), Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), dan Japanese Pharmaceutical and Medical Devices Agency (PDMA). Di AS, prevalensi IPF 14-27,9 per 100.000 orang, di Jepang 2,23-10 per 100.000 orang, dan di Indonesia diperkirakan 6,26-7,73 per 1 juta orang.
Ahli paru dari Departemen Pulmonologi dan Kesehatan Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Persahabatan, Sita Andarini, menyampaikan, IPF merupakan bagian dari penyakit paru intertisial, yaitu penyakit paru yang terjadi bukan pada saluran pernapasan, tetapi di dalam rongga paru.
Gejala yang umum dialami pasien IPF adalah batuk kering, sesak napas, cepat lelah, turun berat badan, dan terdapat bunyi dedas saat bernapas. Pasien tidak bebas beraktivitas sehingga kualitas hidupnya menurun.
Menurut Sita, penyakit IPF sangat istimewa sebab perjalanan penyakit ini tidak bisa diprediksi, tidak seperti kanker yang bisa diprediksi. Ketika tiba-tiba kambuh, IPF bisa sangat fatal. Itu sebabnya, diagnosis yang tepat dan ketersediaan obat akan sangat berguna untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memperlambat progresivitas penyakit.
Selama belum tersedia obat, terapi yang diberikan kepada pasien IPF hanya bersifat meningkatkan kualitas hidup pasien, bukan memperlambat progresivitas penyakit.
”Yang dilakukan hanya terapi oksigen dan rehabilitasi paru. Walau tidak menghambat progresivitas penyakitnya, ini berguna untuk membuat pasien lebih nyaman,” tutur Sita.
Direktur Pelayanan Kefarmasian Kementerian Kesehatan Dettie Yuliati menginformasikan, terdapat kebijakan untuk obat penyakit langka seperti IPF yang kasusnya sedikit, yaitu melalui skema akses khusus.
Organisasi profesi atau rumah sakit bisa mengusulkan agar obat yang dibutuhkan bisa masuk ke Indonesia karena memang sangat dibutuhkan pasien.
Ketua Yayasan Mukopolisakaridosis dan Penyakit Langka Indonesia Peni Utami menambahkan, karena obat-obat untuk penyakit langka harganya sangat mahal tetapi sangat diperlukan untuk kelangsungan hidup pasien, sebaiknya pemerintah menjaminnya dalam JKN. Terlebih mayoritas pasien penyakit langka adalah golongan masyarakat menengah ke bawah.