Mereka yang Merawat dan yang Kembali
Kita perlu belajar kemandirian pangan dari Baduy. Bukan teknologi pertanian canggih dan cepat masa kini yang memberikan sejahtera bagi warga Baduy di Banten. Kesetiaan pada alam dan ajaran nenek moyanglah yang membuat mereka berlimpah pangan.
Bulir-bulir padi berwarna hijau dan coklat itu merunduk karena rimbunnya. Batangnya tumbuh subur setinggi 1,5 meter meski ditanam di lereng bukit dengan kemiringan 25 derajat. Di antara tanaman padi itu tumbuh juga pisang, pepaya, kakao, dan kelapa. Pemilik padi ladang di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, ini adalah warga Baduy.
Tren pertanian organik ala masyarakat kota di zaman digital pun seperti ketinggalan zaman di Kanekes. Warga tak menggunakan bibit transgenik. Bibit padi adalah sebagian hasil panen yang disisihkan. Pupuknya menggunakan serasah. Pestisidanya memanfaatkan siklus rantai makanan. Tak boleh hama dibunuh. Keberadaannya bagian dari keseimbangan alam.
Lahan pun dijaga seimbang. Jaro atau Kepala Desa Kanekes Saija, luas desanya 5.306 hektar, seluruhnya tanah ulayat. Sekitar 2.150 hektar di antaranya lahan guna pakai, termasuk pertanian dan tempat tinggal. Saat ini, jumlah warga Baduy sekitar 12.000 jiwa yang tersebar di 65 kampung. ”Komposisi itu tak berubah sejak nenek moyang kami dulu. Sebagian tanah lainnya untuk hutan,” ujarnya.
Meskipun begitu, kebutuhan pangan warga selalu tercukupi. Sapin (40), warga Baduy di Kampung Cicakal Muhara, Desa Kanekes, misalnya, menggarap ladang seluas 7.500 meter persegi. Dari sana dihasilkan 100 ikat gabah, sekitar 100 kilogram, saat dipanen per enam bulan. Hasil itu cukup untuk Sapin sekeluarga.
Hasil panen disimpan di lumbung atau leuit. Setiap keluarga suku Baduy memiliki lumbung rata-rata berukuran 3 meter x 2,5 meter x 4 meter. Jumlah leuit di Kanekes sekitar 9.000 unit, sekali penyimpanan hingga 1.500 ikat per unit. Gabah di leuit bisa bertahan lebih dari 60 tahun.
”Tidak pernah ada kelaparan di desa ini,” ujar Saija.
Menebar ilmu setia
Dipicu keterbatasan akibat aturan adat, sebagian warga Baduy menebar ilmu setia ala Baduy ke desa tetangga. Kepatuhan terhadap adat istiadat membuat Arwan (42), warga Baduy di Kampung Kadu Ketug, Desa Kanekes, misalnya, menggarap lahan di luar tanah ulayat.
”Orangtua saya masih menggarap lahan keluarga. Luas lahan guna pakai tak bisa ditambah. Jadi, saya pergi keluar Desa Kanekes,” katanya.
Arwan menanam padi huma di Desa Cisimeut, Kecamatan Leuwidamar. Ladang seluas 2.500 meter persegi itu menghasilkan 45 ikat gabah per panen setiap enam bulan. ”Semua padi yang dipanen disimpan sesuai adat istiadat,” katanya.
Nur Agis (28), petani Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang, Banten, terinspirasi ilmu setia warga Baduy. Kunjungan Agis ke Kanekes pada 2016 membuatnya mulai menerapkan pertanian organik. Jika sebelumnya Agis menggunakan pestisida dan pupuk kimia tanpa takaran, kini sudah berkurang.
”Kita bisa belajar untuk menerapkan pertanian yang tak merusak lingkungan. Lumbung di permukiman warga Baduy juga menunjukkan ketahanan pangan yang ideal,” kata Agis yang mendampingi 100 aktivis pertanian Banten Bangun Desa dan berkarya bersama 10 kelompok tani di Banten.
Kemandirian pangan nenek moyang itu pun tak mati. Saat banyak yang terinspirasi, Indonesia masih punya harapan menuju negara berdaulat pangan.
Di Sulawesi Utara, Bupati Kabupaten Kepulauan Sangihe Jabes Ezar Gaghana mulai melihat pada sejarah pangan di daerahnya. Saat ini di Sangihe sedang digodok peraturan daerah terkait pangan lokal. Sebelum perda digodok pun, Jabes telah mencanangkan program dua hari tanpa nasi, Selasa dan Jumat.
”Pada masa kanak-kanak, kami hanya seminggu sekali makan nasi, selebihnya makan makanan lokal dan sagu yang dimasak. Banyak variasinya, umbi dan sagu bisa dibuat menjadi macam-macam dengan sayur- mayur dan ikan lokali. Dengan dasar itu, saya coba mengimplementasi pada kondisi riil di masyarakat karena banyak sekali pangan lokal tidak termanfaatkan,” ujar Jabes.
Di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Bupati Gidion Mbilijora mengeluarkan peraturan bupati pada 2009 tentang diversifikasi pangan. Gerakan ini dikenal sebagai Gerbang Hilu Liwanya.
Direktur Yayasan Mitra Persada Sejahtera Sumba Yohanis Pati Ndamung, yang turut mendorong gerakan ini, mengatakan, hilu liwanya merupakan akronim dari beragam pangan lokal di Sumba. Suku kata hi untuk hili atau keladi, lu untuk luwaii atau ubi kayu, li untuk litang atau gembili, wa untuk ubi manusia, dan nya untuk ganyong.
Namun, gerakan itu tak memiliki gaung ke masyarakat dan perlahan hilang. Yohanis setuju Sumba kembali ke keanekaragaman pangan. ”Umbi-umbian bisa tumbuh subur di Sumba sekalipun kondisi kering. Bahkan, kami punya umbi wa yang khas di sini yang produktivitasnya tinggi,” katanya. (Dwi Bayu Radius/Ahmad Arif/Brigitta Isworo L)