Tak Cukup E-Dagang, Industri Ditantang Beralih ke "Digital Commerce"
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-- Baru saja beralih dari sistem perdagangan konvensional ke sistem e-dagang (e-commerce), kini industri harus bersiap dengan tantangan baru, yaitu digital commerce. Kemajuan teknologi yang pesat dan kebiasaan konsumen yang cepat berubah membuat industri dituntut untuk bisa menyesuaikannya. Jika tidak, industri pun bisa kehilangan pasar potensial yang diharapkan.
Digital commerce adalah sistem dagang yang memanfaatkan beragam media teknologi untuk menarik konsumen dengan memanfaatkan data konsumen itu sendiri. Misalnya, seperti yang sudah diterapkan oleh butik Ralph Lauren di Manhattan, Amerika Serikat. Butik ini memiliki ruang ganti interaktif yang mampu mengenali barang yang dibawa oleh konsumen dengan memanfaatkan teknologi identifikasi frekuensi radio (RFID).
Tidak hanya itu, tersedia juga cermin cerdas (smart mirror) yang dapat menampilkan rekomendasi produk lain kepada konsumen. Jadi, tak sekadar berjualan secara digital seperti konsep e-dagang, digital commerce lebih menekankan pada pemanfaatan teknologi digital untuk menarik konsumen.
Konsep e-commerce (e-dagang) itu hanya mempromosikan produk di platform daring. Dana untuk strategi pemasarannya pun dinilai tidak cukup untuk menarik konsumen
Managing Director-Technology Consulting Lead Accenture Consulting, Leonard Nugroho T menyampaikan, pada 2020, bentuk e-dagang diprediksikan akan berubah menjadi digital commerce.
“Konsep e-commerce (e-dagang) itu hanya mempromosikan produk di platform daring. Dana untuk strategi pemasarannya pun dinilai tidak cukup untuk menarik konsumen,” katanya di sela-sela diskusi media “Riset Accenture: Strategi Pemasaran Industri Ritel agar Mampu Beradaptasi dan Menggarap Peluang di Era Digital Commerce” di Jakarta, Rabu (28/2).
Menurutnya, dengan konsep digital commerce, industri dapat menghasilkan kebutuhan yang diinginkan, mengendalikan rantai pasokan produk, meningkatkan pengalaman konsumen, serta menyediakan data yang cukup untuk menganalisa pasar. Hal itu bertujuan agar pemasaran bisa lebih terarah, efektif, dan terpadu.
Leonard menyampaikan, untuk mengembangkan digital commerce, industri perlu menyiapkan teknologi pendukung yang diperlukan. Teknologi tersebut seperti, perangkat untuk analisa data, sistem pengelilaan konten dan laman web produk, sistem pembayaran yang terintegrasi, manajemen pesanan dan perencanaan logistik, serta penawaran pengalaman terbaik untuk konsumen.
“Yang paling penting adalah pelaku industri harus punya visi dan misi yang jelas untuk bisnis yang akan dijalankan. Tanpa visi dan misi ini, digital commerce yang dilakukan tidak bisa maksimal,” kata Leonard.
Industri di Indonesia saat ini masih terkesan mengikuti pasar saja dan belum punya konsep bisnis yang matang. Hal inilah yang bisa menjadi kendala untuk beralih ke bentuk digital commerce.
Ia menambahkan, industri di Indonesia saat ini masih terkesan mengikuti pasar saja dan belum punya konsep bisnis yang matang. Hal inilah yang bisa menjadi kendala untuk beralih ke bentuk digital commerce.
Perubahan konsumen Indonesia
Konsep digital commerce ini tidak terbatas pada penjualan secara daring saja, namun juga memanfaatkan teknologi untuk penjualan secara tatap muka. Country Sales and Operations Director SnapCart, Eko Wicaksono mengatakan, sebagian besar masyarakat Indonesia memanfaatkan sistem belanja mutiplatform karena pengalaman berbelanja yang berbeda.
Berdasarkan survei yang dilakukan Snapcart pada 2017, lebih dari 60 persen konsumen Indonesia berbelanja setidaknya di dua kanal pembelajaan. Sementara, 39 persen loyal berbelanja di satu sumber, yaitu minimarket.
Dalam survei tersebut juga menunjukkan perbedaan tujuan konsumen dalam berbelanja. Sebanyak 55 persen konsumen berbelanja di swalayan besar Hypermarket untuk belanja bulanan ataupun memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara, 48 persen konsumen yang berbelaja di minimarket untuk membeli kebutuhan yang bersifat mendesak ataupun belanja harian. Sedangkan konsumen yang berbelanja secara daring, sebanyak 79 persen diantaranya berbelanja dengan tujuan mencoba (experiential behavior) saja karena ada promosi yang menarik.
“Konsumen itu sebenarnya tidak terpaku pada satu channel perbelanjaan saja karena bagi mereka setiap channel punya pengalaman dan kebutuhan yang berbeda,” ujar Eko.
Untuk itu, kenyamanan merupakan faktor penting bagi konsumen. Pelaku industri pun perlu memahami segmentasi konsumen serta tujuan belanjanya. Selain itu, industri dituntut untuk lebih mengenal prioritas belanja berdasarkan segmentasi konsumen yang akan disasar. “Jangan ragu untuk melakukan cross-selling dengan produk lainnya,” katanya.
Tantangan industri
Seiring perkembangan teknologi, industri ditantang untuk bersiap menghadapi tantangan berikutnya. Tantangan itu adalah menyediakan kebutuhan konsumen, bahkan sebelum konsumen itu menginginkannya.
Mohammed Sirajuddeen, Managing Director and Digital Commerce Lead for APAC, Africa, Middle East and Turkey, Accenture, mengatakan, perpaduan internet of things (IoT) dengan kecerdasan buatan akan membuat konsumen menjadi lebih cerdas dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Perangkat rumah tangga akan mengoptimasliasi proses belanja yang dilakukan. Secara bersamaan, perangkat tersebut juga bisa mengantisipasi dan mengingatkan konsumen saat persediaan rumah tangga sudah mulai habis. Metode pembayarannya pun sudah bisa dilakukan dengan bantuan teknologi yang canggih. “Seluruh aktivitas perbelanjaan bisa terintegrasi, sehingga konsumen bisa memanfaatkan waktu secara optimal,” ucap Mohammed. (DD04)