Rp 6,4 Triliun Hasil Narkoba
Hadir pula Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Inspektur Jenderal Arman Depari, perwakilan dari Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Direktorat Tindak Pidana Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Khusus (Tipideksus).
Dari kasus ini, BNN menangkap tiga tersangka, yaitu HR, DY, dan FH, pada 12-14 Februari 2018 di tempat terpisah di Jakarta. DY tersangka utama yang memiliki sangat banyak identitas sehingga sulit dilacak.
Dari ketiganya, BNN menyita 3 unit apartemen, 6 ruko, 2 toko, 3 mobil, 1 rumah, serta uang tunai Rp 1,6 miliar, 78.815 yen, dan 5.377 dollar Hong Kong. Total aset yang disita dari ketiganya Rp 65,9 miliar.
Tahun 2017, BNN memperoleh informasi transaksi mencurigakan yang diduga pencucian uang dari jaringan bandar Togiman, Haryanto Chandra, dan Chandra Halim. Praktik itu memiliki hubungan dengan bandar Pony Tjandra dan Fredy Budiman yang telah dihukum mati.
Direktur Pemeriksaan dan Riset PPATK Ivan Yustiavandana menambahkan, pihaknya melihat lebih dari 5.000 transaksi para tersangka dalam waktu dua tahun. Artinya, dalam sehari ada belasan kali transaksi berjumlah besar yang tak wajar.
Dana Rp 6,4 triliun itu berasal dari informasi hasil pemeriksaan PPATK dari PT Prima Sakti Sejahtera (PT PSS) dengan 2.136 invoice fiktif.
Transaksi yang bersentuhan dengan sistem perbankan mengharuskan ada tagihan sehingga para tersangka memalsukan itu. Dari penelusuran, ada irisan antara penerima dana dan tersangka kasus narkotika sebelumnya.
Modus operandi
Modus operandi kasus ini, ketiga tersangka mendirikan enam perusahaan dalam bidang impor barang dan penukaran mata uang asing, yakni PT PSS, PT UJS, PT DUV, PT GU, PT HCI, serta Devy dan Rekan Sejahtera. Dalam perusahaan itu, DY menjabat sebagai komisaris, sedangkan HR dan FH sebagai direktur.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman, yang dikonfirmasi mengenai penggunaan tempat penukaran mata uang asing untuk pencucian uang terkait narkoba, mengatakan, hal itu wilayah PPATK. Modus yang digunakan adalah pencucian uang.
”PPATK bisa masuk ke semua bidang. Koordinasi dengan otoritas lain tentu terjadi. BI juga ikut,” kata Agusman.
Menurut Arman, pencucian uang ini tergolong lintas negara. Tersangka memiliki rekening bank di 14 negara yang menjadi tempat menampung ataupun mengirim uang hasil perdagangan narkoba, antara lain China, India, Malaysia, Singapura, Jerman, dan Australia. Selain menggunakan invoice fiktif, uang juga ditransfer menggunakan rekening perusahaan, rekening pribadi, dan rekening karyawan yang dikuasai DY guna mengelabui bank.
Untuk membuka rekening atas nama karyawan, perusahaan mengajak karyawan liburan ke luar negeri dengan dalih sebagai bonus. Setibanya di luar negeri, karyawan diminta membuka rekening yang selanjutnya dimanfaatkan untuk menampung ataupun mengirim uang milik para bandar narkoba.
Modus pencucian uang semacam itu, kata Kiagus, kerap dilakukan bandar-bandar narkotika lain. Seusai mendirikan perusahaan ekspor-impor, transaksi pengiriman uang ke luar negeri dilakukan dengan memalsukan keterangan pengiriman uang atau invoice sebagai pembayaran atas barang impor. Di luar negeri, sejumlah rekening dibuka untuk menampung uang.
Arman menambahkan, para tersangka kasus kali ini pernah diperiksa Polri dan Polda Metro Jaya dalam kasus perjudian daring. Bahkan, beberapa perusahaan tersangka merupakan perusahaan yang sama dengan perusahaan terkait judi daring.
Saat ini, BNN dan Polri akan menyelidiki apakah bisnis judi daring juga terkait pencucian uang bisnis narkoba tersebut.
BNN juga menjadikan temuan ini sebagai jalan mengungkap sindikat pengedar narkoba yang terindikasi masuk jaringan internasional. Ada sejumlah jaringan narkoba internasional yang bermain di Indonesia.
Fokus penelusuran BNN adalah memastikan transaksi di luar negeri itu pembelian atau produsen. BNN, kata Arman, tidak hanya mengikuti alur narkoba, tetapi juga mengikuti alur uang.
”Kalau asetnya disita, sindikat narkoba akan runtuh. Sebab, dengan uang, mereka tetap dapat beroperasi dan memengaruhi penegak hukum,” kata Arman. Salah satu aset yang disita dari kasus kali ini adalah sebidang tanah di Jakarta Selatan.
Berganti identitas
Arman menjelaskan, BNN bekerja lebih dari satu tahun untuk mengungkap kasus ini karena tersangka sering berganti identitas. Hal ini membuat sulitnya mengidentifikasi jika hanya melihat dari rekening dan aset-aset di lapangan.
Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK Inspektur Jenderal Rokhmad Sunanto menambahkan, identitas yang mudah dipalsukan membuat OJK sulit melihat keaslian dari kartu identitas tersangka. Ia berharap rancangan satu identitas melalui KTP elektronik bisa dilaksanakan dengan efektif untuk mengurangi kejahatan perbankan.
”Kalau dilihat asli, tetapi ternyata palsu. Satu orang bisa banyak identitas. Kalau dengan KTP elektronik, semuanya terkoneksi, mulai kepolisian hingga imigrasi,” tuturnya.
Pengungkapan kali ini menambah data PPATK bahwa transaksi narkoba menempati posisi kedua dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) setelah kasus korupsi. Di posisi ketiga adalah penggelapan pajak. Nilai Rp 6,4 triliun terbesar dari kasus narkoba. (WAD/REK/IDR/DD12)