Mendesak, Persiapan Khusus Hadapi Potensi Gempa di Jakarta
Oleh
ingki rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peta risiko bahaya kejadian gempa bumi di Jakarta berupa mikro zonasi sesimik beresolusi tinggi dibutuhkan untuk memetakan daerah-daerah terdampak. Ini termasuk dengan memasukkan asumsi mengenai keberadaan sesar buta (blind fault) di wilayah Jakarta yang kemungkinan diterobos energi gempa di zona subduksi (megathrust) di antara kawasan Pelabuhan Ratu hingga Selat Sunda dan potensial menimbulkan percepatan kekuatan atau magnitudo.
Anggota Dewan Riset Daerah DKI, Jan Sopaheluwakan, Kamis (1/3), mengatakan, mesti ada studi komprehensif untuk memastikan sejauh mana dampak gempa megathrust dengan kekuatan 8,7 M (magnitudo) tersebut di Jakarta. ”Daripada berdebat tentang ada atau tidaknya blind fault, lebih baik bersiap-siap dengan menganggap (blind fault) ada,” sebut Jan.
Sehari sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memastikan dimulainya sejumlah langkah untuk menghadapi kemungkinan terjadinya gempa besar yang mengguncang Jakarta. Ini menyusul prediksi terjadinya bencana gempa di zona subduksi (megathrust) Selat Sunda yang diperkirakan berkekuatan 8,7 M (Magnitudo).
Lantas, langkah selanjutnya dilakukan dengan menentukan daerah-daerah mana saja yang terpapar risiko bahaya tersebut dengan peta bencana beresolusi tinggi. Jan mengatakan, sebelumnya pernah dilakukan studi pemetaan risiko bahaya dalam bentuk mikrozonasi seismik oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, lewat Dinas Perindustrian dan Energi, dan sejumlah ahli dari Institut Teknologi Bandung.
”Tapi (resolusi) masih kasar, perlu (resolusi) detail,” kata Jan.
Selanjutnya, barulah dilakukan pemetaan kondisi kerentanan fisik ataupun sosial. Langkah berikutnya adalah penilaian kapasitas pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan pendidikan dalam menghadapi kemungkinan terjadinya gempa berikut dampaknya itu.
Barulah selanjutnya melakukan edukasi ke sekolah dan berbagai kelompok masyarakat. Jan menyebutnya sebagai langkah yang panjang dan perlu terus dilakukan.
Gempa mikro
Pemantauan kejadian-kejadian gempa mikro di Jakarta bakal dilakukan secara lebih intensif. Ini dilakukan untuk memastikan ada atau tidaknya keberadaan sesar buta (blind fault) di bawah permukaan Jakarta.
Dekan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung Sri Widiyantoro, Kamis (3/1), mengatakan, saat ini sebagian peneliti memang telah memublikasikan kajian riset terkait keberadaan blind fault tersebut.
”Namun kami (tim nasional sumber dan peta gempa) belum menemukan fakta yang jelas di lapangan,” ujar Sri.
Hal itu menjadikan analisis mengenai keberadaan blind fault belum dilakukan. Ini termasuk dengan belum memasukkannya pada peta mikro zonasi di Jakarta yang di antaranya guna mengetahui keberadaan daerah-daerah yang menjadi pusat dan terdampak kejadian gempa bumi.
Sri mengatakan, pemantauan keberadaan gempa-gempa mikro di Jakarta dapat menjadi petunjuk mengenai keberadaan suatu sesar yang aktif. Adapun gempa mikro dapat didefiniskan sebagai kejadian gempa dengan Magnitudo (M) sebesar 2 atau kurang.
Pemantauan kejadian gempa mikro di Jakarta akan dilakukan dengan memasang unit-unit sensor tertentu di wilayah Jakarta. Kerja sama dengan Pusat Studi Gempa Nasional akan dijalin untuk tujuan tersebut.
Namun, jumlah sensor yang bakal diaktifkan belum diputuskan. Demikian pula dengan lokasi-lokasi pemasangan sensor yang masih dalam tahap perencanaan.
”Yang jelas mesti meng-cover wilayah Jakarta,” kata Sri.
Efektivitas aturan
Sementara itu, pegiat penanggulangan bencana yang juga Presidium Relawan Sahabat Merah Putih, Agustian, pada hari yang sama menyoroti efektivitas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Ia menilai undang-undang tersebut mestinya memberikan peran yang lebih besar kepada masyarakat pegiat penanggulangan bencana.
Karena itulah, imbuh Agustian, kemungkinan bakal dilakukan permohonan uji materi terkait sejumlah ketentuan dalam undang-undang tersebut. Di antaranya hal-hal yang terkait kelembagaan dan sanksi.
”(Misalnya) Pasal mengenai sanksi (cenderung) hanya ditujukan kepada badan usaha atau perseorangan yang menyebabkan terjadi bencana,” kata Agustian. Ia mempertanyakan apabila kejadian bencana tersebut disebabkan kecenderungan pengabaian dan relatif tidak hadirnya pemerintah dalam upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan. (INK)