JAKARTA, KOMPAS – Para bankir di Indonesia menempatkan teknologi siber sebagai risiko tertinggi yang akan dihadapi industri perbankan dalam kurun waktu dua sampai tiga tahun mendatang. Pasalnya, pencurian data nasabah menjadi insiden yang paling banyak terjadi di Indonesia.
David Wake, Financial Service Leader PwC Indonesia di Jakarta, Selasa (27/2) menyampaikan, hasil survei yang dilakukan PwC menempatkan teknologi siber sebagai ancaman teratas yang akan dihadapi industri perbankan. Secara berturut-turut ancaman risiko terbesar lainnya ditempati oleh disrupsi teknologi finansial (tekfin), kondisi makro ekonomi, risiko kredit, dan model bisnis.
Survei yang dilakukan PwC melibatkan 65 responden dari 49 bank di Indonesia baik bank asing maupun nasional. Semua responden merupakan para pimpinan di banknya.
“Tahun lalu, ancaman risiko dari teknologi siber berada di urutan ke-6,” tutur David.
Meski menyadari teknologi siber sebagai ancaman tertinggi bagi industrinya, para bankir di Indonesia cenderung belum optimal dalam memitigasi isu keamanan siber (cyber security). Hal itu terlihat dari data bahwa hanya 24 persen responden yang berasal dari bank besar yang menempatkan keamanan siber sebagai salah satu dari tiga strategi utama dalam meminimalisir risiko yang ada.
Adapun hanya 6 persen responden yang berasal dari bank kecil yang menempatkan kemanan siber sebagai salah satu dari tiga strategi utama dalam menghadapi risiko yang dihadapi perusahaannya.
Potret rendahnya perhatian bankir di Indonesia dalam menghadapi risiko teknologi siber juga dibuktikan dengan fakta bahwa hanya ada 31 persen responden yang mengaku di banknya memilki pimpinan yang membidangi keamanan informasi (Chief Information Security Officer).
Insiden
“Secara rata-rata diperkirakan kerugian finansial yang dialami perbankan di Asia karena gangguan keamanan siber, yaitu 2,6 juta dollar AS,” tutur David.
Hasil survei PwC Global menyajikan data bahwa presentase insiden keamanan informasi atau data di Indonesia berada di atas rata-rata kejadian di tingkat global. Persentase insiden keamanan nasabah dalam bentuk pencurian data (pishing) di Indonesia, yaitu 40 persen berbanding 23 persen yang terjadi di tingkat global.
Deputi Presiden Direktur Bank Victoria Rusli Lin mengakui, salah satu ancaman utama yang dihadapi industri perbankan ialah ancaman dari kejahatan teknologi siber.
“Kami akan tetap perkuat cyber security, akan kami terus update (perbaharui). Update itu perlu, karena cyber crime terus berkembang dan memperbaharui metodenya,” tutur Rusli.
Optimis
Namun demikian, para bankir di Indonesia menatap tahun 2018 dengan optimis. Sebanyak 55 persen responden menilai, pasar perbankan di Indonesia akan meningkat, sementara 43 persen lainnya menilai kondisi pasar akan sama seperti tahun lalu.
“Penilaian tersebut berkaca dari kondisi tahun lalu, yaitu peningkatan keuntungan secara keseluruhan, rasio NPL (non performing loan/kredit bermasalah) yang menurun, dan perekonomian global yang dinilai akan semakin membaik,” ujar David.
Dalam Survei yang dilakukan PwC terhadap para pimpinan perusahaan atau CEO di Asia, sebanyak 60 persen menilai, pada 2018 akan terjadi pertumbuhan ekonomi secara global. Jumlah itu meningkat 113 persen dibandingkan tahun 2017, di mana hanya 28 persen responden yang percaya akan terjadi pertumbuhan ekonomi global.
Mayoritas responden (65 persen) percaya rasio kredit bermasalah tahun ini akan berkurang. Hanya sebagian kecil responden, yaitu 13 persen yang percaya rasio kredit bermasalah akan meningkat tahun ini.
Kinerja perbankan di 2017 terbilang cukup baik. Rasio NPL di Indonesia saat itu, yaitu 2,58 persen. Jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun 2016 yang memiliki rasio NPL sebesar 2,93 persen.
“Saya lebih optimis tahun ini NPL bisa lebih turun karena faktor permintaan konsumen yang tumbuh dan adanya perbaikan ekonomi makro,” kata Rusli. (DD14)