Banjir lumpur di Desa Capar, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, sejak Kamis (22/2) malam memaksa warga mengungsi ke Desa Windusakti. Petaka itu mengorek ingatan warga Desa Windusakti, sekitar 18 tahun silam, kala dilanda bencana serupa. Dari pengalaman pahit itu, tumbuh gelora untuk membantu sesama.
Daska Sunarya (66) ingat betul peristiwa pedih 23 Februari 2000, saat banjir lumpur melanda Windusakti. Musibah itu merenggut nyawa kakak perempuannya. ”Timbunan lumpur mencapai 6 meter. Kami mesti pindah, bedol desa, membangun desa baru dari nol di lokasi baru,” kenang mantan Kepala Desa Windusakti itu di desanya, Minggu (25/2).
Kala itu, permukiman desa terendam banjir lumpur hingga menyebabkan 34 jiwa melayang. Hingga akhir masa pencarian, 23 jasad masih tertimbun (Kompas, 10/3/2000).
Peristiwa itu memaksa seluruh warga mengungsi ke Desa Tembongraja yang merupakan desa terdekat dari Windusakti. Setelah mengungsi beberapa bulan, mereka membangun desa di lokasi baru yang lebih aman, berjarak 8 kilometer dari lokasi lama. Daerah itu hasil tukar guling dengan Perhutani.
Delapan belas tahun berlalu. Tanggal sama, 23 Februari, banjir lumpur menerjang Desa Capar di ujung barat Kecamatan Salem, berbatasan dengan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Penduduk Capar sebanyak 724 warga dari 275 keluarga mengungsi ke Windusakti.
Dalam benak Daska dan warga Desa Windusakti lainnya, petaka ini layaknya sapaan dari Sang Pencipta untuk mengingatkan betapa beruntungnya mereka selamat dari bencana besar 18 tahun silam. Mereka merasa, ini saat yang tepat membantu sesama. Seperti uluran tangan yang mereka dapatkan saat dilanda musibah serupa.
”Kejadian 18 tahun lalu begitu membekas. Korban berjatuhan. Desa lumpuh. Kami diungsikan ke Desa Tembongraja. Sekarang kami pun bersemangat membantu warga Capar yang dilanda musibah,” tutur Daska.
Lumpuh
Banjir lumpur dan tanah longsor di Capar menyebabkan satu rumah ambruk total dan sedikitnya 50 rumah terendam lumpur. Akses jalan menuju desa ambles, kendaraan roda empat tidak bisa melintas. Jalan desa terendam lumpur. Tak ada lagi kehidupan di sana, lumpuh.
Petaka itu menyisakan trauma pada Kusma (82). Di salah satu sudut SD Negeri Windusakti, lokasi pengungsian warga Capar, ia duduk termenung. Tatapannya kosong. Dia tak percaya rumah berukuran 9 meter x 6 meter yang ditempatinya sejak 13 tahun lalu lenyap.
Kusma menuturkan, banjir lumpur yang menerjang Desa Capar terjadi Kamis mulai pukul 22.00. ”Saat tidur, saya terbangun karena ada suara gemuruh dan arus air deras. Ternyata, seisi rumah sudah dimasuki air dan berbagai macam material, seperti batang pohon, ranting, dan kayu,” katanya.
Kusma berlari meninggalkan rumah. Bersama warga lain, yang kebanyakan berteriak minta tolong, ia menuju tanah yang lebih tinggi. Kaki renta yang menopang tubuh kurusnya berusaha melawan arus banjir lumpur yang membanjiri jalan desa.
Setelah merasa aman, Kusma, yang tinggal sendirian, menenangkan diri. Namun, kabar tak sedap diterimanya tengah malam. ”Saya diberi tahu rumah saya ambruk. Semua barang hanyut, pakaian, juga radio. Tinggal pakaian yang dipakai ini,” ujar Kusma sambil terisak.
Didik (37), warga Capar lainnya, mengenang, malam itu, lumpur menggenang hingga 50 sentimeter. Aliran sungai bercampur tanah yang berasal dari Gunung Bokok deras mengalir. Hingga pagi, mereka menanti di jalanan desa. Warga tak berani tidur karena takut longsor sewaktu-waktu terjadi.
”Apalagi, baru terjadi longsor di Desa Pasir Panjang. Jumat pagi, kami diminta untuk mengungsi ke Windusakti karena kondisi desa benar-benar sudah tak aman,” tuturnya.
Trauma warga Capar sedikit terobati dengan kehangatan penduduk Windusakti. Pintu rumah warga terbuka lebar bagi mereka yang dilanda petaka. Mereka ikut mendata jumlah pengungsi dan memastikan warga Capar tidak ada yang hilang.
Menurut Kepala Desa Windusakti Dasan, desanya adalah daerah terdekat dan paling aman bagi warga Capar. ”Ini semangat kemanusiaan untuk saling berbagi,” ujarnya.