JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Penyelenggara Pemilu mengingatkan seluruh pasangan calon dan tim kampanyenya agar selalu menyertakan bukti-bukti penggunaan dana, termasuk di dalamnya arus kas masuk dan keluar dalam rekening dana kampanye yang dikirimkan ke lembaga tersebut. Kesalahan dan kealpaan untuk melaporkan penggunaan dana termasuk di dalamnya dokumen pendukung yang sah menjadi kesalahan pasangan calon.
Ketua Bawaslu Abhan Misbah di Jakarta, Minggu (25/2), mengatakan, bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mereka akan memelototi rekening dana kampanye yang diserahkan para kandidat pasangan calon untuk ditelisik. ”Dari laporan awal dana kampanye (LADK) itu, kami bisa melihat hal yang realistis dan tidak realistis. Semua akan tergambar di sana,” katanya.
Abhan menjelaskan, sebagai langkah awal, Bawaslu telah melakukan analisis terhadap laporan awal dana kampanye 431 pasangan calon di tingkat kabupaten/kota dan 55 pasangan calon gubernur atau provinsi. Hasilnya, masih terdapat ketidaksinkronan data dana kampanye dari masing-masing pasangan calon, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.
Keberadaan dana kampanye paslon bupati atau wali kota, berdasarkan temuan Bawaslu, masih terdapat dana sekitar Rp 10,805 miliar dana kampanye di luar rekening milik 166 pasangan calon. Sementara untuk tingkat provinsi, temuan Bawaslu sejauh ini terdapat dana kampanye di luar rekening senilai Rp 6,214 miliar yang tidak sinkron milik 24 pasangan calon.
Komisioner Bawaslu Fritz Edward Siregar mengatakan, apabila setiap pasangan calon tidak memperbaiki LADK tersebut dengan tidak memperjelas siapa saja penyumbang dalam rekening tersebut, akan berdampak pada proses pencalonan pasangan tersebut.
Bahkan, apabila Bawaslu menemukan pemberian sumbangan yang melebihi batas yang telah ditetapkan, baik untuk perseorangan, kelompok, maupun perusahaan, kesalahan-kesalahan tersebut menjadi kesalahan pasangan calon. ”Bisa dikenai pasal pidana pemilu,” kata Fritz.
Petahana dan penyalahgunaan anggaran
Indonesia Budget Center menengarai petahana memiliki kemampuan untuk melakukan tindak pidana korupsi politik dengan memanfaatkan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Praktik ini, menurut Deputi Direktur IBC Elisabeth Koesrini, berpeluang terjadi karena lebih dari 200 peserta pemilu atau kandidat kepala daerah merupakan orang-orang yang dekat dengan proses penyusunan anggaran, termasuk di antaranya kepala daerah yang cuti, aparatur sipil negara, dan atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Kondisi tersebut terjadi khususnya di sekitar 95 daerah kabupaten dan kota yang peserta pemilunya adalah petahana, ASN, atau anggota DPRD di seluruh Indonesia. Adapun di tingkat provinsi, memasukkan 10 provinsi dari 17 provinsi yang menyelenggarakan pemilu sebagai daerah yang termasuk rawan penyalahgunaan APBD.
Hal demikian sepertinya sinkron terjadi dengan temuan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada pilkada-pilkada sebelumnya.
Dalam dalam Policy Brief KASN bulan Februari 2018, kajian Bidang Pengkajian dan Pengembangan Sistem KASN disebutkan, bentuk pelanggaran netralitas yang sering kali terjadi dalam pilkada atau pemilihan umum di antaranya pemakaian anggaran pemerintah daerah untuk kampanye terselubung, terlibat langsung atau tidak langsung dalam kampanye suatu pasangan calon, dan pemberian penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan calon tertentu.
Bentuk pelanggaran netralitas yang sering kali terjadi dalam pilkada atau pemilihan umum di antaranya pemakaian anggaran pemerintah daerah untuk kampanye terselubung.
Komisioner KASN Irham Dilmy, pekan lalu, di Jakarta, mengatakan, hal demikian lazim terjadi di Indonesia saat kontestasi politik dimulai. Biasanya terduga pelaku tidak bergerak sendiri, tetapi dibantu dengan orang-orang yang loyal kepada calon kepala daerah yang berada dalam struktur pemerintahan.
Asisten Komisioner KASN Septiana Dwiputrianti menjelaskan, penggunaan anggaran pemerintah untuk kepentingan salah satu pasangan calon tertentu, khususnya petahana, sering kali ditemukan dalam nomenklatur anggaran yang nilainya tidak besar. ”Biasanya untuk konsumsi rapat. Nilai anggaran tidak banyak, tapi sering dilakukan,” katanya.
Menurut dirinya, hal itu bisa dilakukan karena para pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam hal penganggaran juga membutuhkan keamanan untuk menjaga keberlangsungan kariernya ke depan. Padahal, dalam sistem kepegawaian yang modern, sistem meritokrasi berdasarkan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki, serta ditambah pengalaman, berlindung di balik kuasa seseorang adalah hal yang tidak lazim. Namun, di Indonesia, menurut dia, hal itu masih lazim dilakukan.
”Di Indonesia sulit dipisahkan antara birokrasi dan politik. PPK punya kewenangan menetapkan jabatan sampai ke birokrasi,” kata Septiana.