Atlet, Menawan bahkan Sebelum Berlaga
Agustus kurang dari enam bulan lagi. Pekan olahraga terbesar kedua di dunia, Asian Games, bakal dipestakan di Jakarta dan Palembang. Di saat itu, pergilah ke gelanggang apa pun. Saksikanlah tampilan para atlet, manusia pilihan dengan jasmani menawan dari seluruh penjuru Asia.
Namun, jangan salah kaprah dengan istilah ”menawan”. Atlet pilihan tidak selalu berarti manusia yang tinggi menjulang, berbadan besar tebal, dengan otot-otot yang mekar.
Di arena senam, para juara dari Asia itu sangat mungkin adalah atlet-atlet muda yang mungil. Di lapangan bola basket sebaliknya, mereka yang bertanding adalah manusia-manusia menjulang dengan otot tubuh yang tebal. Sementara atlet-atlet jangkung di stadion bola voli punya tubuh yang lampai.
Meski demikian, ada satu kesamaan dari seluruh atlet di berbagai cabang olahraga yang memerlukan keterampilan fisik dan banyak gerak tubuh tersebut. Mereka sama-sama memiliki persentase lemak tubuh yang rendah dan massa otot atau free fat mass yang tinggi. Kandungan lemak tubuh para atlet itu jauh lebih rendah dibandingkan orang kebanyakan, meski memiliki indeks massa tubuh (body mass index/BMI) yang setara.
Indeks massa tubuh merupakan sebuah rumus untuk menghitung massa jaringan tubuh kita, yaitu otot, lemak, dan tulang. Rumusnya adalah berat tubuh dalam kilogram dibagi tinggi tubuh kuadrat (dalam meter).
Bagi orang pada umumnya, ujar pengajar di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Jakarta, Oktavianus Matakupan, formula itu mencukupi untuk melihat tingkat kesehatan jasmani, selain menjadi gambaran dari postur seseorang (gemuk, kurus, atau seimbang).
Seseorang yang memiliki BMI normal, misalnya, dapat diasumsikan dia dapat beraktivitas harian dengan baik untuk jangka waktu yang cukup dan tidak cepat lelah atau sakit. Diasumsikan pula, orang dengan BMI normal memiliki lemak tubuh dengan persentase di tingkat yang normal sehingga postur tubuhnya terlihat baik, tidak kurus atau gemuk. ”Namun, perhitungan BMI tidak bisa diterapkan pada atlet karena formula BMI tidak merinci jumlah lemak atau otot di tubuh kita,” kata Oktavianus.
Rendahnya persentase lemak tubuh yang dimiliki para atlet—dengan begitu, memiliki persentase otot dan massa bebas lemak lainnya yang jauh lebih besar dibandingkan orang normal dengan bobot yang setara—antara lain dijelaskan oleh ilmuwan kinesiologi (ilmu tentang gerak tubuh, biomekanika) Kent State University AS, Wayne E Sinning. Dalam artikel ilmiahnya, ”Body Composition and Athletic Performance”, Sinning memaparkan sejumlah contoh.
Sprinter putra atletik kelas dunia memiliki lemak tubuh hanya 4,39 persen—empat-lima kali lebih sedikit dibandingkan orang normal—meski dalam penampilannya, kaki, dada, dan tangan para sprinter itu terlihat tebal. Para atlet maraton punya lemak tubuh yang lebih sedikit, 4 persen. Adapun para pelari putri memiliki lemak tubuh yang 6 hingga 7 persen lebih tinggi dibandingkan rekan putra mereka.
Persentase lemak tubuh perenang yang dalam berbagai penelitian dibuktikan lebih banyak dibandingkan atlet dari cabang lain pun, kenyataannya tetap lebih rendah dibandingkan orang kebanyakan yang sehat.
Para perenang putra remaja berprestasi level yunior dunia, misalnya, memiliki persentase lemak tubuh antara 8,5 dan 12,1 persen. Sementara rekan putri mereka antara 14,6 dan 19,7 persen.
Atlet memiliki persentase lemak tubuh yang relatif rendah karena pada dasarnya cadangan energi tersebut tak memiliki kontribusi dalam kemampuan gerak. Dengan kata lain, lemak adalah beban. Sinning menganalogikan, jika seseorang yang memiliki lemak tubuh seberat 1 kilogram berlari, orang itu sesungguhnya berlari dengan membawa beban 1 kilogram.
Dalam lari maraton, seseorang yang memiliki ekstra lemak tubuh 1 kilogram memerlukan kerja lebih berat. Pasalnya, tubuhnya membutuhkan pasokan oksigen lebih banyak untuk menghasilkan energi secukupnya. Untuk setiap 1 kilogram lemak tubuh yang ekstra, tubuh pelari maraton memerlukan tambahan oksigen 65 mililiter per menit.
Meski demikian, tidak berarti seorang atlet—dari cabang apa pun—sama sekali tak memerlukan lemak tubuh. ”Beban” itu tetap diperlukan. Lemak antara lain berperan sebagai pelindung bagi otot dan tulang sehingga potensi cedera dapat diredam. Bayangkan jika para karateka atau pesepak bola yang dalam beraksi sangat rajin saling berbenturan tak memiliki lemak tubuh sebagai peredam benturan dan pelindung.
Lemak juga berperan menjaga panas tubuh. Bayangkan jika seorang atlet bertanding di udara dingin (karena penyejuk ruangan atau bertanding di udara yang dingin) dan tubuhnya kekurangan lemak. Maka, energi yang dihasilkan si atlet itu bakal terkuras untuk menjaga panas tubuhnya. Di sisi lain, energi untuk beraksi menjadi lebih sedikit. Singkat kata, si atlet tidak bisa memanfaatkan energinya dengan efisien.
Selain itu, lemak bagi perenang juga berperan meningkatkan daya apung. Dengan daya apung yang baik, seorang perenang terbantu dalam mengatur posisi tubuh yang sedatar mungkin di bawah permukaan air. Dengan begitu, hambatan berkurang dan daya luncurnya pun meningkat.
Di sisi lain, massa otot yang besar wajib dimiliki para atlet karena itulah mesinnya dalam beraksi di arena. Massa otot yang besar membuat rasio tenaga—power, ilmu olahraga mendefinisikannya sebagai perpaduan antara kecepatan dan kekuatan—yang dihasilkan terhadap berat tubuh pun semakin tinggi.
Hasilnya, kita bisa melihat pebulu tangkis Kevin Sanjaya Sukomuljo mampu mengayunkan raket dengan begitu bertenaga dalam tempo yang teramat singkat. Kok hasil smesnya langsung meluncur deras menghunjam wilayah lawan.
Massa otot yang amat memadai juga membuat atlet mampu mengendalikan gerak tubuhnya dengan prima saat melayang di udara. Itulah yang membuat seorang pesenam dan peloncat indah mampu membentuk banyak gerakan di udara—bersalto jungkir balik dan berpilin di saat yang bersamaan—dalam tempo hanya 1-2 detik.
Lepas dari fungsinya, komposisi tubuh—kombinasi lemak yang rendah dan massa bebas lemak yang tinggi—membuat tampilan seorang atlet begitu menawan untuk dipandang. Tubuh mereka mungkin saja ramping, tidak tebal. Namun, otot-otot yang lampai itu tetap terlihat kencang dengan kelompok serabut otot yang membentuk garis-garis yang tegas di kulit mereka.
Jadi, saat datang di arena Asian Games nanti, jangan tunggu hingga permainan berjalan untuk menikmati sebuah atraksi olahraga. Sebelum wasit meniup peluit tanda pertandingan dimulai, perhatikanlah dahulu tubuh-tubuh para olahragawan itu. Maka, keindahan olahraga akan terpampang, bahkan sebelum sebuah lomba kita saksikan.
Tipe Tubuh Atlet
Sprinter
Otot-otot kaki sangat terbentuk untuk menghasilkan power eksplosif. Tubuh bagian atas (upper body) juga berotot karena berdasarkan hukum biomekanika, gaya yang diciptakan kayuhan kaki harus setara dan berlawanan arah dengan yang dihasilkan ayunan tangan. Kepekaan sensorik-motorik (relasi pancaindera-otot penggerak tubuh) juga diperlukan untuk bereaksi cepat terhadap bunyi pistol start.
Pelari jarak jauh
Postur ringan, ramping, dan liat. Daya tahan dan stamina (daya tahan spesifik) menjadi fondasi. Sebagai olahraga aerobik, kemampuan jantung memompa darah ke seluruh tubuh seefisien mungkin adalah vital untuk memungkinkan lebih banyak oksigen mencapai otot-otot yang lelah. Indeks massa tubuh lebih kecil dibandingkan atlet cabang lain. Semakin ringan massa tubuh, semakin ringan otot mengangkat bobot tubuh, semakin ringan tugas melawan gravitasi. Penggunaan tenaga semakin efesien. Tubuh yang kecil juga membuat lebih sedikit menghasilkan panas menguntungkan karena salah satu persoalan besar adalah overheating.
Pesenam artistik
Tubuh bagian atas kuat, tingkat kelenturan tinggi, rentang jangkauan gerak bagian tubuh tinggi. Kemampuan keseimbangan prima. Tubuh yang kecil membantu keseimbangan karena pusat gravitasi yang dekat dengan tanah.
Lifter angkat besi
Otot-otot leher, punggung, core (perut), dan paha sangat terbentuk. Meski merupakan olahraga anaerobik, kemampuan jantung-parunya prima. Upaya mengangkat barbel yang bisa dua kali lebih berat dari bobot tubuh membuat jantung berdetak 190 kali per menit, dua-tiga kali detak jantung dalam aktivitas normal yang 60-80 detak per menit.
Pebola basket
Berotot dan bugar di segala aspek: kekuatan, daya tahan, kelenturan. Tubuh yang tinggi sangat menguntungkan. Otot punggung kokoh guna mengurangi tekanan pada lutut.
Pebulu tangkis
Dalam satu permainan, atlet papan atas bisa menjelajahi lapangan dengan jarak setara 1,6 km. Permainan berciri ledakan tenaga berulang (stop and go) daya tahan kardiovaskular yang tinggi untuk recovery cepat. Tungkai kuat dan lentur.
Perenang
Persendian lentur, membuat rentang jangkauan gerak yang besar dan tenaga kayuhan yang lebih besar. Tubuh yang tinggi menguntungkan. Semakin tinggi, semakin panjang torso, dan ditopang oleh bahu lebar yang terus mengecil ke panggul membuat perenang lebih hidrodinamis. Rentang tangan yang panjang menguntungkan saat finis. Kaki pendek dan bertenaga membuat propulsi lebih tinggi.
Pedayung
Cenderung berbadan besar. Dayung menggunakan semua kelompok otot besar di tubuh. Pedayung memerlukan otot punggung, pinggul, tangan, dan kaki yang kuat. Meski massanya yang besar membuat lunas perahu lebih dalam terbenam dalam air: menciptakan hambatan ekstra, kebutuhan akan massa otot yang besar lebih penting dalam olahraga ini.
Pebalap sepeda
Tubuh bagian atas ramping dengan kaki yang berotot. Memerlukan otot perut yang kuat untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh di saat kaki mengayuh pedal dengan putaran yang cepat, sekaligus menjaga kestabilan di lintasan yang tidak selalu lurus.
(Referensi teks dan grafik: The Sports Book, ”Body Composition and Athletic Performance” dalam nationalacademyofkinesiology.org)