Panti Sosial Bangun Karakter Anak melalui Kebiasaan Sehari-hari
JAKARTA, KOMPAS — Panti sosial menjadi jalan terakhir pengasuhan dan pemenuhan hak anak setelah keluarga tidak mampu mengasuhnya. Panti sosial harus mampu mengasuh, mendidik, dan mengembangkan anak asuh menjadi mandiri.
Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, termasuk di dalamnya panti asuhan, diharapkan tidak memisahkan anak dari keluarganya. Susianah Affandy, Komisiner Bidang Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan, sektor utama perlindungan anak ada dalam keluarga.
”Panti asuhan harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten dalam bidang pengasuhan, pendidikan, dan pengembangan agar anak asuh menjadi mandiri,” kata Susianah saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (24/2).
Ia menjelaskan, seorang pengasuh harus memahami hak-hak anak, berbudi baik, berpendidikan, memiliki kasih sayang kepada anak-anak, dan sehat secara jasmani serta rohani.
Pengasuh menjadi pengganti orangtua sehingga harus memperlakukan anak dengan sentuhan kasih sayang. Ia berperan sebagai pengasuh fisik, intelektual, moral, spiritual, mental, keterampilan, dan aktivitas sosial.
Selain pengasuh, manajemen panti sosial diharapkan memiliki kompetensi dan kecakapan dalam mengelola panti. ”Anak-anak yang tinggal di panti sebagian besar anak yang kurang perhatian dan kasih sayang,” kata Susianah.
Di Panti Asuhan Griya Asih, Jakarta Pusat, pengasuh menekankan kejujuran, disiplin, dan tanggung jawab. Sebagian besar anak asuh Panti Asuhan Griya Asih berasal dari jalanan dan keluarga yang tidak harmonis karena perceraian serta kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan, ada beberapa anak yang tidak mengetahui orangtuanya.
Alexander Joseph Suwardi, Ketua Yayasan Griya Asih, mengatakan, sebagian besar anak-anak yang baru masuk Griya Asih tidak memiliki kebiasaan bertanggung jawab. ”Mereka terbiasa hidup bebas di jalanan yang tanpa aturan,” kata Alexander saat di temui di Panti Asuhan Griya Asih.
Alexander mengatakan, butuh proses panjang untuk mengubah kebiasaan anak-anak tersebut. Bahkan, tidak sedikit anak asuhnya yang telah berproses lebih dari setahun kembali melakukan kebiasaan buruk seperti ketika hidup di jalanan.
”Butuh pendekatan personal dalam pendampingan tersebut agar mereka dapat menyadari makna dari nilai-nilai yang kami tanamkan,” kata Alexander. Ia menjelaskan, untuk dapat belajar bertanggung jawab, anak-anak harus memulainya dengan kejujuran dan disiplin.
Ketiga hal tersebut dilakukan dalam kehidupan sehari. Mereka belajar mandiri dengan mengurus diri sendiri, mulai dari mencuci baju, membersihkan kamar dan panti, hingga mempersiapkan segala keperluan sekolah.
Alexander mengatakan, sebagian besar anak asuhnya yang mampu melakukan ketiga hal tesebut dapat hidup mandiri dan berprestasi di dunia kerja. Namun, ada juga yang tidak mampu menghidupi ketiga nilai tersebut dan memutuskan kembali ke jalanan.
”Mereka yang kembali ke jalanan karena lebih tertarik mencari uang daripada memperbaiki kebiasaannya dalam menjalani hidup,” kata Alexander.
Sementara itu, di Panti Asuhan Tebet, Jakarta Selatan, yang dikelola oleh Yayasan Remaja Masa Depan, anak asuh memiliki kesadaran untuk mandiri. Maryamah, Ketua Yayasan Remaja Masa Depan, mengatakan, sebagian besar anak-anak memiliki kesadaran karena merasa ditolong.
Sebagian besar anak asuh di Panti Asuhan Tebet dititipkan oleh keluarga yatim atau piatu dan kurang mampu. ”Mereka lebih mudah dibimbing karena masih memiliki keluarga yang aktif menjenguk,” kata Maryamah.
Meskipun demikian, anak-anak yang masih duduk di sekolah dasar butuh pendampingan lebih banyak daripada yang lebih dewasa. Menurut Maryamah, anak-anak tersebut butuh kasih sayang dan ingin mendapat perhatian.
Dalam pembentukan karakter di Panti Asuhan Tebet, anak asuh ditanamkan rasa percaya diri. ”Kami selalu menanamkan bahwa mereka sama dengan anak-anak lain yang tinggal bersama keluarga,” kata Maryamah.
Kurikulum
Setiap panti diharapkan memiliki kurikulum pembelajaran yang dapat membuat anak asuh menjadi mandiri. Susianah mengatakan, sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan di panti. Oleh karena itu, panti harus membagi waktu dengan baik, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali.
Selain pendidikan formal di sekolah, panti harus memberikan pendidikan nonformal dan informal. ”Anak asuh perlu mendapat stimulasi pengembangan jiwa kepemimpinan melalui kegiatan pengembangan bakat,” kata Susianah.
Agar anak dapat berproses dengan baik dalam pengembangan diri, dibutuhkan prasarana dan sarana yang memadai. Hal tesebut dapat menunjang kegiatan anak-anak agar menjadi terampil dan mandiri.
Keluarga
Sebagian besar anak-anak yang masuk ke panti asuhan karena masalah ketidakharmonisan dalam keluarga dan kemiskinan. Ketidakharmonisan tersebut terjadi karena perceraian, kriminalitas, hingga sengaja dibuang orangtuanya.
Stevanus Deseli Zebua (15), anak asuh Panti Asuhan Griya Asih, mengaku memiliki cita-cita tinggi karena dibimbing di Griya Asih. Ketika masih kecil, ia hanya berpikiran ingin menikah ketika lulus sekolah dasar seperti kebiasaan di Desa Hilifakhe, Provinsi Kepulauan Nias, kampung halamannya.
Ia merantau ke Jakarta ketika masih berumur 5 tahun karena menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga oleh ibu tirinya. Setelah berproses selama 10 tahun, ia memiliki keinginan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). ”Saya ingin membela Tanah Air tempat kelahiran saya,” kata Stevanus.
Untuk dapat meraih cita-cita yang diharapkannya, Stevanus aktif di Kegiatan Baris Berbaris dan menjaga fisik serta mentalnya. Ia pun membiasakan hidup disiplin dan mandiri di panti.
Ratna (15), anak asuh Panti Asuhan Tebet, menyadari, keluarganya tidak mampu mencukupi kebutuhan pendidikannya. Ia pun dapat hidup mandiri karena kebiasaan sehari-hari selama di panti seperti membersihkan panti dan mematuhi jadwal kegiatan di panti. (DD08)