Pos Terbuka, Tanpa Polisi, dan Tas Hitam Memicu Kecurigaan
JAKARTA, KOMPAS — Pintu Pos Polisi Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta, yang terbuka menjadi salah satu pemicu kecurigaan Ipda Denny Mahieu (50) untuk masuk memeriksa sebelum terjadi ledakan bom. Pos merupakan satu dari dua lokasi terjadinya serangan terorisme pada 14 Januari 2016.
Denny menjadi saksi dalam sidang lanjutan terdakwa Aman Abdurrahman alias Oman Rochman alias Abu Sulaiman bin Ade Sudarma di Jakarta, Jumat (23/2).
Aman didakwa sebagai salah satu orang yang terlibat dalam teror bom tersebut. Adapun persidangan dipimpin oleh Hakim Ketua Akhmad Jaini.
Ia menyatakan, sebagai petugas Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya, ia sedang menaiki motornya menuju arah Bundaran Hotel Indonesia (HI) dari Patung Kuda, Monas, Jakarta, ketika melewati pos tersebut sekitar pukul 11.00.
Saat berhenti di lampu merah, ia merasa ada yang ganjil dengan pos itu.
”Pos tidak seperti biasanya. Ada sebuah motor terparkir, tetapi tidak ada anggota polisi. Pintu pos itu terbuka,” kata Denny, menjawab pertanyaan Asrudin Hatjani, ketua tim pengacara Aman dalam persidangan tersebut.
Denny menjelaskan, ia telah bertugas sekitar 6 tahun di jalur tersebut dan dinas sekitar 20 kali dalam sebulan. Hal tersebut membuatnya dapat segera mengenali jika ada sesuatu yang di luar kebiasaan di jalur itu.
Ketika memasuki pos itu, Denny menduga anggota polisi yang berjaga di pos itu sedang keluar mencari sarapan. Namun, ia menyadari keganjilan lainnya. Terdapat ransel hitam di sebelah kanan sudut ruangan.
Menurut Denny, hal tersebut di luar kebiasaan karena ia telah mengetahui perilaku polisi yang biasanya langsung menaruh ransel di atas meja kecil dekat pintu.
Selain itu, terdapat dua botol air mineral ukuran sedang dan dua kue.
Lalu, ada sebuah kotak yang atasnya berwarna coklat dan bawahnya berwarna biru, tanpa merek. Namun, kotak itu memiliki semacam tonjolan sehingga ia sebut sebagai ”telinga”.
Tepat ketika Denny berpikir kotak tersebut berisi bom, terjadi ledakan bom pertama di kedai kopi Starbucks, sekitar 50 meter dari pos itu.
Hakim Ketua Jaini pun menanyakan tindakan Denny pada saat itu.
Denny berbalik ke arah ledakan sehingga memunggungi ransel dan kotak itu. Ia lalu meraih handy talkie guna melaporkan peristiwa itu kepada atasannya.
Pada saat percobaan yang kedua, ia merasa tersengat listrik pada tangannya selama 5 detik. Tak lama kemudian terdengar bunyi ketukan dari kotak dan berdenging dari ransel. Lalu, terjadi ledakan.
Jeda waktu bom pertama dan kedua, menurut dia, tidak lebih dari 30 detik.
Dari keterangan itu, hakim anggota Aris Bawono Langgeng ingin mengetahui lebih lanjut mengenai rincian Denny bisa kesetrum. Denny menyatakan, telah berkonsultasi dengan ahli elektronik. Diduga, pancaran gelombang handy talkie-nya yang memicu ledakan bom kedua.
Ia juga menyatakan tidak terjatuh kendati jarak sumber ledakan dengannya hanya sekitar 2 meter tanpa penghalang apa pun. Namun, kepala, paha, betis, dan tangannya terkena paku, mur, dan pecahan kaca. Matanya merah dan telinga mengeluarkan darah.
Kemudian, Denny duduk perlahan sembari mencabut sekitar 30 paku yang ada di kakinya. Tak lama, mobil atasannya muncul. Denny langsung dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Dalam persidangan itu, Denny juga menceritakan pengalamannya dibuntuti oleh orang yang tidak ia kenal selama satu tahun sebelum kejadian. Ia juga menanggapi pertanyaan para hakim mengenai baku tembak yang terjadi setelah ledakan, tetapi menyatakan tidak mengetahui tentang kejadian itu.
”Saya tidak tahu-menahu,” ujar Aman Abdurrahman, yang juga hadir dalam persidangan tersebut, saat ditanyakan oleh Hakim Ketua Jaini. Ia juga menyatakan tidak mengenal Denny. Denny juga menyatakan hanya mengetahui Aman dari pemberitaan selama ini.
Adapun tim pembela Aman menegaskan, kemungkinan Denny mengenal Aman cukup tipis. Hal tersebut karena Aman telah berada di Lembaga Masyarakat Nusakambangan.
Hakim anggota lain yang turut hadir dalam persidangan adalah Irwan dan Sudjarwanto. Jaksa Penuntut Umum yang hadir adalah Maya Sari dan Nana Riana. Tim pengacara terdakwa terdiri dari Asrudin Hatjani, Wili Bustam, Faris, dan Tri Saufa.
Sidang akan dilanjutkan pada 27 Februari pukul 09.30. JPU berencana menghadirkan 36 saksi.
Kompensasi
Nana Riana membaca isi berita acara pemeriksaan (BAP) dalam sidang itu. Ia membaca, Denny menderita patah tulang ibu jari, luka di wajah, telinga, paha, dan tangan, serta luka bakar 9 persen.
Nana mengatakan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi UU, Denny berhak mengajukan hak kompensasi.
”Saya ingin mengajukan hak kompensasi, ada 12 orang yang ingin mengajukan kompensasi,” kata Denny. Ia memberikan surat dan rekam medis kepada majelis hakim di tengah persidangan.
Ia menyatakan, dioperasi pada Kamis, 14 Januari 2016, pukul 12.00 hingga Jumat, 15 Januari 2016, pukul 05.00 . Denny berada dalam RS sejak 14 Januari-15 Februari 2016.
Aris Bawono Langgeng pun memverifikasi dampak ledakan yang dirasakan Denny. Ia menyatakan, kondisi badannya menurun, tidak mampu bersujud, tidur harus mengonsumsi obat, dan pendengaran telinga kanan berkurang.
Pada 14 Januari 2016, terjadi dua ledakan di kedai kopi Starbucks dan pos polisi di Jalan MH Thamrin. Ledakan tersebut diikuti baku tembak antara anggota polisi dan terduga teroris.
Sebanyak 7 orang tewas, terdiri dari 5 terduga teroris dan 2 warga sipil. Selain itu, 24 orang terluka, terdiri dari 5 polisi, 15 warga sipil, dan 4 warga negara asing. Warga negara asing yang terluka berasal dari Belanda, Austria, Jerman, dan Aljazair. (DD13)