Upaya Rehabilitasi Kawasan Puncak Perlu Libatkan Masyarakat
Kerusakan lingkungan di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang dipicu masifnya alih fungsi lahan tidak dapat terus-menerus dibiarkan. Sebab, bom waktu bencana telah terpantik. Longsor dan banjir pun dapat datang sewaktu-waktu.
Bencana longsor yang terjadi pada Senin (5/2) di lima titik di Kecamatan Cisarua menunjukkan riak dari kerusakan lingkungan tersebut. Akibat kejadian itu, seorang pedagang kaki lima, Lilis (45), tewas. Lilis yang berjualan di dekat Masjid Atta’awun tertimpa reruntuhan tanah longsor sekitar pukul 09.00.
”Saat ini, longsor dengan skala besar semakin sering terjadi di Puncak. Bencana ini adalah indikasi sudah terlampauinya daya dukung lingkungan,” ujar Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi.
Untuk itu, bencana longsor di lima titik tersebut seharusnya menjadi momentum bagi perumus kebijakan terkait untuk segera melakukan rehabilitasi lingkungan dan menata kawasan Puncak. Persoalan kawasan Puncak ini harus diselesaikan secara terpadu, mulai dari kebijakan pemerintah daerah, pemerintah pusat, hingga kesadaran masyarakat lokal.
Ernan menilai, rehabilitasi lingkungan kawasan Puncak dapat berjalan efektif jika melibatkan masyarakat setempat. ”Kita tidak bisa memisahkan masalah lingkungan dengan ekonomi dan sosial. Untuk itu, pemberdayaan masyarakat diperlukan,” kata Ernan.
Sebagai gambaran, IPB bersama Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak juga menggandeng masyarakat untuk mengadakan program perbaikan lingkungan di Puncak, terutama di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, Cisarua. Dibandingkan daerah lain di Puncak, dua desa tersebut yang paling masif alih fungsi lahannya.
”Kami mendukung masyarakat untuk mengelola agroforestry atau mengelola perkebunan kopi di kawasan hutan sambil memperbaiki kondisi lingkungan. Apa yang ditanam untuk menghijaukan Puncak dipastikan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mereka mau memeliharanya,” ujar Ernan.
Alhasil, beberapa kelompok warga di Desa Tugu Utara dan Tugu Selatan mulai bergabung dengan Konsorsium Penyelamatan Puncak. Mereka juga rutin memulung dan mengolah sampah di Cisampay dan Cibulao, anak sungai di hulu Ciliwung. Gerakan mereka mampu menggugah Pemkab Bogor untuk secara rutin mengirim truk guna mengangkut sampah yang tidak bisa diolah atau dimanfaatkan warga.
Koordinator Komunitas Peduli Ciliwung Een Irawan Putra mengakui, masyarakat memang perlu dilibatkan dalam proses rehabilitasi hutan. Itu bertujuan agar masyarakat setempat merasa memiliki dan membuat hutan tetap terjaga keasriannya. Cara yang digunakan adalah memberikan tanaman-tanaman yang menguntungkan secara ekonomi tetapi dibarengi dengan tanaman-tanaman keras penjaga lingkungan.
Een memberikan contoh tentang masyarakat di Cibulao. Sebelumnya, masyarakat itu enggan diajak melakukan rehabilitasi. Namun, setelah diberi bibit yang menguntungkan dan dibina dengan baik, akhirnya mereka menjaga sendiri lingkungannya.
”Di Cibulao, dulu mereka agak keberatan untuk diajak menanam kopi. Namun, coba kami dampingi, bagaimana mereka mengelola kopi, tetapi juga menjaga tanaman-tanaman keras. Lewat kopi, mereka diuntungkan secara ekonomi karena harganya bagus, dan mereka sekaligus ikut menjaga hutannya,” kata Een.
Jangan sebatas penanaman
Een menambahkan, pelibatan masyarakat itu membuat kegiatan-kegiatan rehabilitasi lebih efektif karena masyarakat turut merasa memiliki lingkungannya. ”Jangan skemanya anggaran terserap tetapi programnya tidak berlanjut, sekadar mengeluarkan anggaran. Itu berbahaya,” kata Een.
M Muslich, peneliti di Komunitas Ciliwung yang juga anggota Konsorsium Penyelamatan Puncak, menilai, upaya untuk menghijaukan kembali lahan kritis di Puncak sebenarnya sudah kerap dilakukan, tetapi juga sering gagal karena cenderung hanya seremoni penanaman belaka. ”Acara penanaman itu memang bagus, tetapi tidak berdampak. Sebab, siapa yang merawat? Untuk itu, petani perlu digandeng untuk memeliharanya,” ungkap Muslich.
Tidak hanya khusus untuk Puncak, yang menjadi hulu. Rehabilitasi lingkungan dengan melibatkan masyarakat juga dapat diterapkan di Sungai Ciliwung hingga ke bagian hilir di Depok dan Jakarta. Di sungai sepanjang 117 kilometer ini total ada 23 komunitas penjaga dan perawat Ciliwung.
Bahkan, TNI Angkatan Darat juga menggandeng 61 komunitas masyarakat lokal dan pencinta alam di Bogor untuk terlibat dalam merehabilitasi kawasan hulu Sungai Ciliwung, yakni melakukan normalisasi Telaga Saat. Telaga yang berada di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, tersebut sebagian besar perairannya tertutupi oleh tanaman liar.
Komandan Resor Militer 061/Suryakancana Kolonel Mohamad Hasan mengakui, gerakan tersebut diharapkan dapat menggugah tindakan lain untuk merehabilitasi hulu Sungai Ciliwung. Sebab, untuk melakukan koordinasi dengan instansi terkait dibutuhkan birokrasi panjang. ”Saat ini secara manual dulu, dengan mengerahkan tenaga manusia,” kata Hasan.
Bupati Bogor Nurhayanti mengatakan, perlu menjadi kesadaran bersama bahwa kawasan Puncak ini merupakan daerah tujuan wisata yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah dan capaian kunjungan turis asing dan wisatawan lokal. Namun, kawasan juga menjadi hulu Sungai Ciliwung dan Cisadane sehingga harus ditata untuk mencegah kerusakan lingkungan semakin masif.
Untuk itu, Nurhayanti mengatakan perlu duduk bersama dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait dalam menata kawasan Puncak. Alih fungsi lahan yang masif menunjukkan bahwa kewenangan tidak hanya pada Pemerintah Kabupaten Bogor. Pihak yang juga memiliki kewenangan di kawasan Puncak adalah Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta PT Perkebunan Nusantara VIII.
Jika tidak ada langkah bersama yang terpadu, sulit bagi Pemkab Bogor untuk mengembalikan lahan yang sudah beralih fungsi. ”Karena kewenangan yang berbeda, pemerintah daerah tidak punya kewenangan untuk itu. Pemerintah daerah hanya dari segi IMB (izin mendirikan bangunan),” kata Nurhayanti.
Kawasan Puncak selama ini terkesan dibiarkan otopilot. Pembangunan pesat yang diikuti dengan alih fungsi lahan secara masif dan jelas-jelas melanggar hukum seolah menjadi kewajaran.
Tak pelak, kerusakan lingkungan begitu nyata. Saatnya pemerintah serius menata Puncak tanpa mengabaikan peran masyarakat setempat yang lebih dulu terdampak dengan segala perubahan di Puncak. (ILO/DD16)