Hulu Ciliwung yang Terabaikan
Menyambangi Telaga Saat di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (11/2), cukup membuat terhenyak. Salah satu telaga yang menjadi hulu Sungai Ciliwung ini areal perairannya menyusut karena sebagian besar tertutupi tanaman liar dan semak belukar.
Di pinggir telaga seluas sekitar 1,5 hektar tersebut, terdapat papan Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang menyatakan telaga tersebut merupakan tanah negara. Terdapat semacam pintu air yang menghubungkan telaga ke sebuah saluran air selebar sekitar satu meter.
Tanaman-tanaman yang memadati telaga itu setinggi satu hingga dua meter. Tampak hamparan tanaman liar itu membentuk daratan di tengah telaga. Begitu memasuki bagian tengah telaga, okupasi tanaman liar makin terlihat jelas. Ibarat rawa yang dikepung hutan perdu.
Tanaman yang sudah menyerupai semak itu dapat disusuri dengan berjalan dengan kondisi kaki terbenam sekitar 50 centimeter. Terdapat lumpur di bagian bawah tanaman tersebut. “Telaga ini terakhir dikeruk enam tahun lalu. Setelah itu, belum pernah ada lagi pengerukan,” kata Dili (80), warga setempat yang sedang mencari rumput di pinggir telaga.
Dili menceritakan, situ tersebut dinamai Telaga Saat karena airnya dangkal. Dalam bahasa Sunda, Saat memiliki arti perairan yang dangkal atau kering. “Air dari telaga ini mengalir ke rumah warga dan dipakai untuk kebutuhan sehari-hari,” tutur Dili,
Minggu siang itu, Komandan Resor Militer 061/Suryakancana Kolonel (Inf) Mohamad Hasan bersama sejumlah anggota TNI angkatan darat lain turut mendatangi Telaga Saat. Mereka melakukan survei kondisi hulu Ciliwung pascabencana longsor yang terjadi di kawasan Puncak, Senin (5/2).
Dili coba menunjukkan kepada para tentara kondisi di tengah telaga yang sudah menyerupai hutan rawa. Terdapat bagian yang terbuka mirip jalan setapak yang sering dilalui manusia. Dili diikuti para tentara kemudian berjalan menuju sisi lain telaga dengan berjalan melewati hamparan rumput dan tanaman liar tersebut.
Hasan menilai, tingkat sedimentasi di telaga tersebut sudah cukup tinggi. “Dapat kita lihat, saya rasa ini areal perairannya tinggal 15-20 persen saja. Sedimentasi cukup parah. Bagian tengah telaganya saja bisa untuk dilewati manusia,” ujar Hasan.
Hasan menilai, jika sedimentasi di Telaga Saat dibiarkan dapat mengganggu suplai air ke Sungai Ciliwung dan dapat berakibat fatal bagi warga Jakarta dan Depok yang tinggal di bagian hilir. Jika telaga dimanfaatkan, maka dapat menampung air sehingga tidak langsung melimpah ke sungai. “Ini kan juga hulu sungai Ciliwung. Jadi sumber penghidupan dan juga resapan air,” kata Hasan.
Setelah melihat kondisi Telaga Saat, Kolonel Hasan menyatakan, tentara akan menggandeng 61 komunitas pencinta alam untuk melakukan rehabilitasi hulu Ciliwung termasuk memperbaiki kondisi Telaga Saat. Mereka akan berupaya melakukan normalisasi telaga secara manual.
Untuk itu, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan BBWSCC dan Pemkab Bogor untuk melaksanakan hal tersebut. “Ya sekarang tinggal usaha kita. Kita mulai sebisa mungkin apa yang bisa kita lakukan supaya sedimentasi tidak bertambah parah,” ucap Hasan.
Tidak hanya Telaga Saat yang diyakini menyuplai air ke Sungai Ciliwung. Tak jauh dari lokasi itu, terdapat Telaga Warna yang terletak di Cagar Alam Telaga Warna dan dikenal sebagai salah satu obyek wisata yang kerap dikerumuni wisatawan saat akhir pekan.
Petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam yang bertugas di Cagar Alam Telaga Warna, Suhendi, menyebutkan, kondisi air Telaga Warna masih cukup baik karena terus dipantau. Volume air Telaga Warna yang memiliki kedalaman 15 meter itu juga hampir tidak ada perubahan baik itu pada musim hujan maupun kemarau.
“Telaga Warna itu alami, terbentuk oleh alam. Kalau Telaga Saat memang sengaja dikeruk buat diperdalam dan dibentuk seperti waduk,” tutur Suhendi.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Jarot Widyoko mengungkapkan, Telaga Saat merupakan salah satu situ yang menjadi hulu Sungai Ciliwung. “Terdapat rumput yang menutupi telaga itu karena dipakai burung untuk bermigrasi. Jadi tidak boleh diapa-apakan oleh warga,” kata Jarot.
Banyak situ hilang
Jarot mengakui, terdapat banyak situ di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, yang tidak diketahui kondisinya dan belum terdata. Sejauh ini dari 203 situ yang menjadi hulu Sungai Ciliwung dan Cisadane, sekitar 20 situ diperkirakan sudah hilang karena alih fungsi lahan.
Akibatnya, saat ini hanya tersisa 183 situ, termasuk Telaga Saat, yang menjadi wewenang BBWSCC. “Dari jumlah itu, kami akan programkan sekitar 18 situ akan dipatok sehingga menjadi aset negara. Selama ini tidak jelas situ-situ itu siapa yang mempunyai dan luasannya banyak yang berkurang,” kata Jarot.
Menurut Jarot, jika 183 situ tersebut dapat ditata dan dioptimalkan maka dapat menjadi resapan air dan mengurangi limpasan air ke sungai Ciliwung dan Cisadane. Langkah awal untuk mengoptimalkan situ tersebut adalah upaya administrasi pendataan. “Jadi hak negara itu jelas,” ucap Jarot.
Kepala Bidang Operasi dan Pemeliharaan BBWSCC Gemala Susanti menambahkan, BBWSCC saat ini sedang mendata ulang situ-situ yang berada di kawasan Puncak, karena selama ini data terkait situ itu belum lengkap. Mereka tidak mengetahui letak persis dari situ-situ yang ada beserta luasan dari situ-situ tersebut.
Untuk pendataan ulang, BWSCC bekerja sama dengan pemerintah daerah serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional. Sejak 2017, BBWSCC mulai bergerak mendata dan mematok ulang situ-situ tersebut karena berpotensi sengketa.
Banyaknya instansi yang memiliki kepentingan untuk mengurus puncak dianggap menjadi kesulitan tersendiri dalam mengelola kawasan tersebut. Bahkan, data sementara yang dimiliki BBWSCC pun tidak sama dengan data Pemerintah Kabupaten Bogor.
Bupati Bogor Nurhayanti mengatakan, terdapat 95 situ yang di kawasan Puncak, Bogor yang menjadi hulu Sungai Ciliwung-Cisadane. “Sebanyak 95 situ ada di middle stream. Kalau di daerah Cibinong Raya ada sekitar 23 situ,” kata Nurhayanti.
Nurhayanti membantah, jika terdapat situ di Kabupaten Bogor yang hilang karena dikeruk. Namun, memang ada situ yang berkurang luasannya karena ada oknum yang terlibat dalam alih fungsi lahan.
“Mungkin kan ada saja yang nyuri-nyuri gitu. Tahu-tahu sudah jadi sertifikat saja, jadi langsing tuh situ. Karena apa? Kewenangan itu tidak ada pada pemerintah daerah. Kewenangan itu punya pusat. Kita mau mengelola situ juga harus ada izin,” tutur Nurhayanti.
Nurhayanti mengakui, situ perlu dilestarikan sebagai area resapan air untuk pengendalian banjir. Namun, sejauh ini kewenangan untuk pengelolaan situ sendiri belum jelas. Apalagi, jika situ itu masuk dalam kawasan lindung semestinya perlu ada pengawasan.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Bogor Yani Hassan mengakui, Telaga Saat menjadi salah satu situ yang menjadi hulu Ciliwung. Selain itu, ada banyak mata air dan telaga yang juga mengalir ke Ciliwung.
Saat ini, Pemkab Bogor juga berencana melakukan pendataan ulang situ di kawasan tersebut. Menurut Yani, perlu ada upaya terpadu untuk merehabilitasi situ-situ di kawasan Puncak antara Pemkab Bogor, Pemprov Jawa Barat, Pemprov DKI Jakarta, serta pemerintah pusat. “Kalau sendirian gempor nanti,” ucap Yani.
Maraknya alih fungsi lahan di kawasan Puncak diduga turut mengubah peruntukan situ-situ alami di hulu sungai yang berfungsi mengendalikan volume air ke bagian hilir. Faktanya, banyak situ alami yang belum terdata padahal memiliki fungsi penting dalam pengendalian banjir.
Berdasarkan analisis Forest Watch Indonesia (FWI) pada rentang waktu 2000–2016, setidaknya 5.700 hektar hutan alam di kawasan Puncak hilang. Kini, yang tersisa hanya 21 persen dari keseluruhan wilayah hulu daerah aliran sungai Ciliwung.
Dari jumlah itu, seluas 335,4 hektar hutan yang beralih fungsi berada di dalam kawasan konservasi. “Jika kawasan Puncak rusak, maka daerah yang berada di hilir sungai juga ikut terdampak,” ungkap Anggi Putra Prayoga, peneliti FWI.
Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi menilai, kawasan Puncak membutuhkan rencana rinci tata ruang untuk memuat pengendalian tata ruang lebih detail, termasuk mengatur sanksi terhadap pelanggaran tata ruang. Maraknya alih fungsi lahan yang saat ini terjadi di Puncak membuat daya dukung lingkungan terlampaui dan memicu bencana lonsor seperti yang terjadi pada Senin (5/2) silam.
Telaga Saat dan banyaknya situ yang hilang di kawasan Puncak merupakan gambaran nyata bahwa pelestarian hulu Ciliwung saat ini masih terabaikan. Alih fungsi lahan yang masif dan hilangnya situ-situ ini membuat bom waktu bencana dapat sewaktu-waktu terjadi. (ILO/JOG/DD16)