Mengais Rezeki di Lahan Rawan Bencana
Sabtu (10/2) sore, gerimis mengguyur kawasan Puncak, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Hawa dingin khas dataran tinggi memeluk tubuh siapa pun yang berada di sana. Cahyana (18), pedagang makanan dan minuman, memandang cemas rintik hujan itu saat menjaga warungnya.
Warung Cahyana berada di pinggir tebing dekat Masjid Atta\' Awun, Desa Tugu Selatan, Cisarua. Terdapat 7-8 warung yang sederet dengan warung Cahyana. Warung-warung itu berdiri menempel di tebing curam dengan sudut kemiringan hingga 45 derajat atau lebih.
Senin (5/2) sekitar pukul 09.00, sebuah warung yang berjarak sekitar 20 meter dari warung Cahyana tertimbun tanah longsor. Seorang penjaga warung, Lilis (45), tewas akibat peristiwa itu.
Beberapa hari berselang, Cahyana tetap nekat membuka warungnya. Alasannya, warung itu menjadi satu-satunya mata pencarian sekaligus tempat tinggalnya.
”Ngeri juga sih setelah ada longsor kemarin. Tetapi, bagaimana lagi? Saya tidak punya pilihan. Kalau mau kembali ke kampung halaman, saya tidak ada pekerjaan di sana,” tutur Cahyana, yang merupakan warga asal Kuningan, Jawa Barat, di warungnya.
Cahyana menceritakan, sebenarnya tanah longsor itu sudah sering terjadi, tetapi intensitasnya kecil sehingga tidak dihiraukan. ”Ketika cuaca cerah, nanti juga tanah longsoran dibersihkan. Tapi, belum pernah ada yang sebesar ini,” kata Cahyana.
- Kawasan Puncak di Ambang Kehancuran
- Bupati Bogor Nurhayanti: Perlu Duduk Bersama untuk Menata Puncak
- Usulan Moratorium Izin Mengemuka
Biasanya, Cahyana membuka warungnya selama 24 jam. Ia bisa sama sekali tidak beristirahat melayani pembeli setiap akhir pekan. Namun, sejak bencana itu terjadi, ia hanya membuka warungnya pukul 07.00-18.00. Ia pun menutup warungnya lebih cepat jika terjadi hujan dan pindah ke warung temannya yang berada di kompleks Masjid Atta’ Awun.
”Wah, kalau sudah hujan, saya tutup warung lebih cepat. Setelah itu, saya pergi ke atas, ke warung teman yang ada di Masjid Atta’ Awun. Di sana tidak mepet tebing,” katanya. Cahyana menyadari telah menyandarkan hidupnya di atas lahan yang rawan bencana.
Terdapat pedagang lain yang masih membuka warungnya selain Cahyana, yaitu Indra (31). Ia juga menjual makanan dan minuman. Indra sebenarnya khawatir jika tiba-tiba terjadi longsor. Namun, ia berkeras untuk tetap bisa berdagang di warung yang menempel tebing curam itu.
”Saya sih pengin tetap bisa berjualan. Tinggal bagaimana kita nanti mengamankan diri saja, yang penting selalu siaga. Soalnya, omzet di sini lumayan, apalagi kalau pas akhir pekan,” kata Indra. Ia mengatakan bisa meraup keuntungan Rp 15 juta setiap pekan dari berjualan di warungnya itu.
Tidak hanya lereng ataupun tebing curam yang diokupasi di kawasan puncak itu. Masyarakat sekitar pun membangun rumah-rumahnya di bantaran Sungai Ciliwung. Pemandangan seperti itu terlihat di sepanjang aliran Sungai Ciliwung yang berada di RW 004 Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.
Rumah-rumah itu berderet-deret di jalanan yang menanjak. Di belakang rumah-rumah itu terdapat sungai yang merupakan aliran dari salah satu hulu Ciliwung dengan lebar 2-3 meter. Salah satunya adalah rumah Nanang, Ketua RW 004, yang sudah menghuni Puncak sejak 1976.
Nanang mengakui, dia mulai membangun rumah di bantaran sungai di Desa Tugu Utara meskipun saat itu warga masih sedikit. Dia tidak khawatir tinggal di bantaran sungai karena debit air masih kecil tidak seperti di bagian hilir di Jakarta. ”Kalau di sini, kan, (aliran) sungainya masih kecil jadi sudah biasa,” ucap Nanang.
Rentan bencana
Padahal, para PKL dan warga yang mendiami lahan yang menempel ke tebing dan bantaran sungai dapat berhadapan dengan bencana alam sewaktu-waktu, seperti bencana longsor yang terjadi Senin (5/2). Kawasan Puncak telah menjelma sebagai daerah yang rawan bencana.
Kawasan Puncak telah menjelma sebagai daerah yang rawan bencana.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rudy Suhendar mengatakan, kawasan puncak berbahaya karena tanahnya terus bergerak. Hal itu disebabkan oleh jenis tanah berupa endapan vulkanik yang bersifat gembur dan tingginya tingkat alih fungsi lahan di kawasan tersebut.
”Tanah dan batuannya itu sudah rentan. Rentan itu artinya memiliki karakteristik mudah longsor. Khususnya untuk daerah perbukitan yang memiliki lereng-lereng terjal,” kata Rudy.
Rudy menjelaskan, tingginya alih fungsi lahan berakibat pada berkurangnya vegetasi. ”Longsor disebabkan oleh air yang berlebih yang masuk ke tanah. Alih fungsi lahan ini mengurangi vegetasi, ada perubahan tutupan lahan. Itu menyebabkan ketidakseimbangan,” kata Rudy.
Alih fungsi lahan itu bisa terjadi dalam berbagai hal. Rudy mencontohkan, sebelumnya kawasan puncak itu stabil dengan vegetasi berbentuk hutan atau tanaman keras yang mampu mengikat tanah dan meresap air.
”Salah satu yang mengakibatkan berkurangnya vegetasi adalah tanaman-tanaman keras yang diubah menjadi tanaman sayur. Hal itu membuat tanah tidak terikat kuat dan mudah longsor,” kata Rudy.
Selain itu, pembangunan vila ataupun bangunan-bangunan lain yang komposisinya dari beton juga memberi ancaman longsor terhadap kawasan Puncak. Hal itu terjadi karena lahan yang seharusnya menjadi kawasan resapan air tertutup tanahnya oleh beton-beton itu.
”Terkait bangunan, ketika curah hujan tinggi, itu menyebabkan terjadinya akumulasi permukaan air di suatu tempat kerena tertutup bangunan. Jika demikian, air yang tidak sempat meresap itu dapat menjadi penyebab longsor,” kata Rudy.
Pembangunan vila ataupun bangunan-bangunan lain yang komposisinya dari beton juga memberi ancaman longsor terhadap kawasan Puncak.
Merujuk riset yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI), kawasan Puncak mengalami kerusakan hutan dan lahan yang parah. Pada 2000-2016, seluas 5.700 hektar hutan alam hilang. Saat ini tinggal tersisa 21 persen hutan alam dari wilayah hulu daerah aliran Sungai (DAS) Ciliwung.
M Muslich, peneliti dari Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak, mengatakan, curah hujan tidak dapat disalahkan dengan terjadinya tanah longsor di kawasan Puncak. ”Sedari dulu, curah hujan di kawasan itu memang sudah tinggi. Penyebab bencana ini adalah berkurangnya daya dukung lingkungan,” kata Muslich.
Muslich menjelaskan, hal yang membuat penyelesaian persoalan tanah longsor di kawasan Puncak itu terasa menyulitkan adalah adanya tumpang tindih fungsi lahan. Pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten Bogor punya cara pandang yang berbeda dalam melihat kawasan itu.
Menurut Muslich, di dalam satu area hutan yang sama biasanya terdapat kawasan hutan produksi, kawasan lindung, dan sisi lainnya merupakan areal penggunaan lain (APL). ”Saya kira, duduk bersama di antara para pemangku kepentingan itu sudah sering. Sekarang tinggal bagaimana aksi nyata apa yang hendak dilakukan untuk merehabilitasi hutan.” Kata Muslich.
Rehabilitasi Puncak
Bupati Bogor Nurhayanti menyatakan, pihaknya sudah memiliki rencana untuk merehabilitasi kawasan Puncak. Hal itu bakal dimulai dengan merelokasi PKL untuk mensterilkan kawasan itu, terutama di sepanjang Jalan Raya Puncak. Lokasi yang disiapkan untuk relokasi menurut rencana di Gunung Mas.
”Relokasi sudah jadi program kami. Itu memang sudah direncanakan. (Awalnya) kami tidak akan membongkar dulu, tetapi akan menyiapkan relokasinya. Namun, belum sempat direlokasi, bencana alam sudah mendahului,” ucap Nurhayanti.
Pascabencana longsor, Pemkab Bogor langsung bergerak untuk membongkar warung-warung PKL Puncak yang berada di daerah rawan demi keselamatan para pedagang itu, khususnya para pedagang yang mendirikan warungnya menempel di tebing ataupun lereng curam. ”Ini, kan, darurat. Artinya, saya harus memberikan perasaan aman dan nyaman kepada para pedagang kami,” kata Nurhayanti.
Sabtu (10/2), sebanyak 16 kios PKL dibongkar di kawasan Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor. Sebanyak 12 kios terdapat di area Gunung Mas, sedangkan empat kios lain berada di area Riung Gunung. Selain demi keselamatan para pedagang, pembongkaran dilakukan untuk mempercepat penanganan jalur puncak mengingat sempat ada badan jalan yang ambrol di Gunung Mas.
Penataan memang diperlukan sepanjang itu untuk mengendalikan fungsi Puncak, mengembalikan fungsi Puncak kepada yang lebih baik
Nurhayanti menambahkan, daerah yang terkena longsor akan segera diperbaiki dan ke depan akan ada terasering di tebing-tebing tersebut. Selain itu, penataan PKL juga dibutuhkan karena Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berencana melebarkan Jalan Raya Puncak dari persimpangan Taman Safari hingga Puncak Pass.
”Penataan memang diperlukan sepanjang itu untuk mengendalikan fungsi Puncak, mengembalikan fungsi Puncak kepada yang lebih baik,” kata Nurhayanti.
Berdasarkan data Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (DPKPP) Kabupaten Bogor, terdapat 1.243 PKL di sepanjang Jalan Raya Puncak, dari persimpangan Gadog, Kecamatan Megamendung, hingga Puncak Pass, Kecamatan Cisarua.
Namun, pada awal 2017 seiring pelebaran Jalan Raya Puncak dari Gadog hingga ke persimpangan Taman Safari Cisarua yang dilakukan Kementerian PUPR, terdapat 539 PKL yang ditertibkan. Dari jumlah itu, 195 PKL membongkar kios sendiri, sedangkan kios 344 PKL dibongkar oleh Satuan Polisi Pamong Praja Bogor.
PKL-PKL itu kadang memasang bendera-bendera partai politik di atas warung mereka. Itu maksudnya apa? Padahal, mereka berada di tempat yang salah.
Iryanto, Kepala Bidang Kawasan Permukiman DPKPP Kabupaten Bogor, mengungkapkan, kios PKL yang ditertibkan di sepanjang Jalan Raya Puncak dipastikan ilegal karena berada di daerah milik jalan. Namun, kesadaran mereka rendah untuk menaati aturan. ”PKL-PKL itu kadang memasang bendera-bendera partai politik di atas warung mereka. Itu maksudnya apa? Padahal, mereka berada di tempat yang salah,” kata Iryanto.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Bogor Yani Hassan mengungkapkan, Pemkab Bogor akan membangun tempat relokasi PKL di kawasan Gunung Mas seluas 1 hektar di lahan yang disediakan PT Perkebunan Nusantara VIII. Lokasi itu dapat menampung 168 PKL dengan memprioritaskan pada PKL yang memiliki KTP Bogor dengan jenis barang dagangan berupa oleh-oleh, cendera mata, makanan, dan minuman.
Penataan PKL di Puncak seperti berpacu dengan waktu. Tempat relokasi perlu segera disediakan untuk menampung para PKL liar tersebut. Pembongkaran tanpa diikuti dengan relokasi akan membuat mereka kehilangan mata pencarian. Namun, jika mereka dibiarkan tetap berada di daerah berbahaya, bencana longsor serupa dapat menimpa PKL lainnya. Risiko bencana dan rezeki seperti dua sisi mata uang bagi mereka. (ILO/DD16)