Bencana longsor di lima titik di kawasan Puncak, Senin (5/2), menunjukkan adanya degradasi lingkungan yang dipicu maraknya alih fungsi lahan. Area resapan air beralih menjadi vila, permukiman, dan bangunan komersial.
Untuk itu, Pemerintah Kabupaten Bogor berencana memberlakukan moratorium izin mendirikan bangunan atau IMB demi menekan laju kepadatan bangunan di Puncak. ”Saya akan usulkan ke Bupati untuk moratorium,” ujar Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Bogor Yani Hassan, Selasa (13/2).
Namun, Yani mengungkapkan, penataan ruang di kawasan Puncak tidak sepenuhnya menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten Bogor. Alhasil, jika Pemkab Bogor menerapkan moratorium, Yani tidak berjanji dapat mengerem sepenuhnya pembangunan vila dan bangunan komersial di Puncak. ”Ya, 70 persen mungkin bisalah, sedangkan 30 persen ada invinsible hand. Namun, Dinas PUPR tetap akan menyampaikan usulan ke Bupati,” ungkap Yani.
Longsor di Puncak pada Senin (5/2) menelan satu korban jiwa, Lilis (45), seorang pedagang kaki lima, di dekat Masjid Atta’awun, Desa Tugu Selatan, Cisarua. Yani mengakui, bencana longsor ini telah menjadi alarm bahaya bagi keseimbangan alam di kawasan Puncak terkait maraknya alih fungsi lahan.
Keluarnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur sebenarnya telah menunjukkan adanya perhatian dari pemerintah pusat terhadap penataan kawasan Puncak. Perpres itu menyebutkan bahwa kawasan Puncak membutuhkan perencanaan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu.
Namun, sejak perpres itu terbit, kawasan Puncak masih tetap semrawut. Itu memperlihatkan adanya macet kendali dalam implementasi rencana tata ruang. Vila dan hunian masih banyak yang dibangun di kawasan lereng curam yang bukan ditujukan untuk bangunan.
Berdasarkan pantauan, vila-vila itu banyak tersebar di Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Salah satunya adalah Vila Gardenia di RT 006 RW 004 Desa Tugu Utara. Vila itu adalah salah satu dari 239 vila yang pernah dibongkar Pemkab Bogor pada akhir 2013 karena tidak mengantongi izin. Setahun berselang setelah pembongkaran, vila itu kembali dibangun.
Ketua RW 006 Desa Tugu Utara Nanang menyebutkan, pemilik vila-vila, yang pernah dibongkar dan dibangun lagi di lereng yang terjal itu, tidak melapor kepada warga ataupun RT/RW setempat. ”Kalaupun melapor, saya tidak berani mengizinkan kecuali sudah ada izin dari Pemkab,” ucap Nanang.
Camat Cisarua Bayu Rahmawanto enggan ditemui untuk diklarifikasi mengenai pembangunan vila liar. Namun, saat dihubungi, Bayu mengatakan, setiap vila yang dibangun di Cisarua tidak harus sepengetahuan dirinya. ”Kan, ada pengawas bangunan di UPT (unit pelaksana teknis) dinas. Coba tanya saja,” ucap Bayu yang menolak ditanya lebih jauh.
Bupati Bogor Nurhayanti juga tidak menampik terkait adanya kemungkinan pemberlakuan moratorium IMB di Puncak. Namun, hal itu masih dikaji Pemkab Bogor. ”Kami sedang kaji itu. Untuk moratorium, memang sudah sangat (mendesak) itu karena pelayanan kami kepada masyarakat harus tetap jalan,” kata Nurhayanti, saat ditemui, Selasa (13/2).
Nurhayanti mengakui, cukup sulit untuk mengembalikan fungsi awal hutan yang pernah menjadi bangunan kembali seperti semula. Hal itu disebabkan perbedaan kewenangan terkait status kawasan. ”Tidak mudah. Ada kewenangan yang berbeda. Pemerintah daerah hanya punya kewenangan dari segi (penerbitan) izin mendirikan bangunan. Menurut saya, kata kuncinya adalah duduk bersama menata kembali puncak,” ucap Nurhayanti.
Yani menambahkan, pihaknya membutuhkan dukungan pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam menegakkan regulasi tata ruang, terutama ketika membongkar vila-vila ilegal. ”Yang kami rasakan dukungan dari Pemprov Jabar dan pemerintah pusat ini kurang. Yang paling gampang adalah mereka mau mendukung kami jika ada masalah jadi kami pede (percaya diri),” kata Yani.
Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi menilai, pembangunan di kawasan Puncak tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang seharusnya. Kawasan Puncak sudah mengalami situasi di mana aktivitas permukiman, komersial, dan wisata sudah menjangkau area yang seharusnya tidak boleh dimanfaatkan sehingga lebih rentan terhadap bencana. ”Curah hujan dari dulu sebenarnya sama saja, tetapi saat ini kondisi Puncak lebih rentan sehingga mudah longsor dan banjir,” kata Ernan. (ILO/DD16)