Ukuran Kapal Cantrang Dimanipulasi
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar kapal cantrang di Kabupaten Tegal dan Kota Tegal, Jawa Tengah, diketahui tidak sesuai dengan ukuran sebenarnya atau marked down. Artinya, banyak kapal cantrang yang ukuran sebenarnya lebih besar dibandingkan ukuran yang didaftarkan.
Hasil verifikasi dan pendataan Satuan Tugas Pengalihan Alat Tangkap Cantrang Kementerian Kelautan dan Perikanan (Satgas Cantrang) di Kabupaten dan Kota Tegal selama 1-3 Februari lalu menunjukkan sebanyak 334 kapal dari total 340 kapal ditemukan marked down. Hasilnya, terdapat total selisih total ukuran kapal sebesar 17.864 gros ton (GT) dari yang didaftarkan dengan kondisi nyata di lapangan.
Sebagai contoh, dalam dokumen didaftarkan 29 GT, tetapi ukuran sebenarnya 163 GT. Artinya, ada selisih 134 GT dari yang didaftarkan dengan ukuran sebenarnya.
Tercatat hanya dua kapal yang sesuai dengan ukuran yang didaftarkan atau tidak marked down, sedangkan empat kapal sisanya belum diukur ulang.
Dari 334 kapal itu terdapat 329 kapal yang awalnya didaftarkan berukuran 20-30 GT. Sisanya empat kapal didaftarkan berukuran 10-20 GT dan satu kapal didaftarkan berukuran 0-10 GT.
Padahal, nyatanya 334 kapal itu seluruhnya berukuran lebih dari 30 GT. Bahkan, sebanyak 89 kapal yang marked down itu berukuran 100-200 GT atau memiliki ukuran 3-6 kali lebih besar dibandingkan yang didaftarkan ke pemerintah.
Selain itu terdapat 186 kapal berukuran 50-100 GT atau lebih besar besar 2-3 kali lebih besar dari yang didaftarkan ke pemerintah. Sebanyak 59 kapal juga ditemukan berukuran 30-50 GT atau dua kali lipat lebih besar dari yang didaftarkan ke pemerintah.
Menunggu pendataan
Dari Lamongan, Jawa Timur, dilaporkan, para nelayan menunggu tim satgas cantrang melakukan pendataan. Mulyono, nelayan Paciran, menyatakan senang kalau ada pendataan ulang. Ia menyebutkan jenis armada tangkap yang ia miliki berukuran 28 GT.
Dengan alat tangkap itu biasanya bisa dibawa pulang 10-12 ton. Sebagian nelayan Lamongan masih menggunakan alat tangkap jenis jaring payang. ”Kami biasanya melaut 10-15 hari saja,” katanya.
Menurut Tasrip, banyak nelayan di Brondong yang tidak paham betul ukuran kapal. ”Selama ini surat yang diterbitkan sepertinya dipukul rata saja dan juga asal-asalan. Kalau dilihat, kira-kira empat kotak berarti masuk sekian GT. Begitu. Jadi kadang aslinya ukuran beda, di suratnya bisa beda,” katanya.
Ia menilai, jenis payang atau cantrang yang digunakan di Lamongan juga tidak sepanjang dan sebesar di daerah Jawa Tengah. Di Lamongan jaring yang digunakan meskipun payang panjangnya ada yang 12 depa (sekitar 17 meter) dan yang terpanjang hanya sekitar 100 meter. ”Harusnya pemerintah tidak memukul rata, perlu dicek satu-satu tiap daerah perkampungan nelayan,” ujarnya.
Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Lamongan 2015, jumlah nelayan di Lamongan mencapai 19.030 orang dengan armada tangkap 3.344 unit dan alat tangkap 3.825 unit. Sekitar 60 persen nelayan Lamongan menggunakan alat tangkap dogol dan payang. Data itu belum diperbarui.
Di Sumatera Utara, program penggantian alat tangkap pukat hela dan pukat tarik untuk kapal di bawah 10 GT masih dalam tahap pendataan. Dari 18 kabupaten/kota yang memiliki pantai di Sumut, baru tujuh yang menyerahkan data.
Hingga kini berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Sumut, baru 1.716 nelayan yang terdata menggunakan pukat hela/pukat tarik, yakni di Kabupaten Labuhan Batu sebanyak 250 nelayan, Langkat (736), Deli Serdang (348), Medan (145), Serdang Bedagai (59), Batubara (147), dan Sibolga (22). Surat edaran sudah disampaikan ke daerah sebanyak tiga kali pada 2016, 2017, dan 2018.
”Kabupaten/kota sulit melaporkan jumlah riil karena status alat tangkap itu yang ilegal. Para nelayan akhirnya mau melaporkan setelah ada informasi pergantian alat tangkap,” kata Kepala Bidang Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara Robert Napitupulu, Kamis (14/2).
Berdasarkan statistik perikanan Sumut tahun 2016 terdapat 11.328 kapal yang menggunakan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik. Kebanyakan adalah kapal kecil di bawah 10 GT. Rencana pergantian itu juga menimbulkan polemik, terutama pada nelayan pukat teri yang ada di Sumatera Utara yang hingga kini belum menemukan alternatif jaring untuk teri, apalagi teri sudah menjadi ikon Medan. ”Kalau ada pengganti jaring untuk pukat teri kami bersedia menggantinya,” kata Sekretaris Asisosiasi Nelayan Pukat Teri Indonesia (Anpati) Sumut Alfian.
Alat tangkap
Dari Cirebon, Desa Ambalu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Ketua Nelayan Ambulu Samsurudin mengatakan, penggantian alat tangkap diberikan kepada nelayan yang bersedia menukarkan alat tangkap tidak ramah lingkungan miliknya, seperti garuk dan arad.
Garuk merupakan alat tangkap yang bagian bawahnya terdapat besi layaknya garpu yang dapat mengaduk dasar lautan. Adapun arad atau yang disebut mini trawl memiliki jaring berbentuk kantong dengan pemberat dan beroperasi di dasar lautan. Keduanya ditarik menggunakan mesin.
Menurut Samsurudin, bantuan alat tangkap pengganti yang tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan berpotensi membuat nelayan kembali ke alat tangkap tidak ramah lingkungan. ”Di beberapa tempat, ada nelayan yang menjual bantuan jaring milenium terus sewa tambak. Saya hanya bisa tepuk dada,” ujarnya.
Di pasaran, jaring milenium minimal seharga Rp 2 juta per paket. Sementara alat tangkap garuk hanya Rp 400.000 sampai Rp 500.000 per unit. Garuk kerap digunakan di pinggir laut, sementara jaring milenium harus ke tengah laut. Padahal, perahu nelayan umumnya di bawah 5 GT.
Samsurudin berharap Kementerian Kelautan dan Perikanan ataupun dinas terkait mengawasi pemanfaatan bantuan alat tangkap pengganti ke nelayan. Namun, di sisi lain ia juga berharap nelayan didampingi agar tetap menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.
Sementara di Kota Cirebon, bantuan jaring milenium 9 helai dinilai tidak ideal. Menurut Sigit Cahyono (54), nelayan Panjunan, jaring milenium yang dibutuhkan minimal 25 helai. ”Hasil tangkapannya hanya 30 persen dari tangkapan kami jika pakai arad,” ujarnya.
Kondisi serupa juga dikeluhkan Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Indramayu Dedi Aryanto. Menurut dia, kapal yang menggunakan jaring milenium harus membayar anak buah kapal (ABK) hanya Rp 50.000 per orang. ”Padahal, jika menggunakan dogol atau arad, setiap ABK bisa dapat Rp 100.000,” ujar Dedi.
Kondisi ini, lanjutnya, membuat nelayan enggan langsung beralih ke alat tangkap yang dinilai pemerintah ramah lingkungan. Apalagi, menurut dia, skema bantuan permodalan oleh perbankan belum diketahui oleh nelayan.
Menurut Samsurudin, meskipun alat tangkap tidak ramah lingkungan, dogol, arad, pukat cincin, dan garuk memberikan hasil yang terbilang banyak, keberlanjutan ekosistem laut terancam. Sebab, alat tangkap tersebut merusak tiram dan kerang ecol yang merupakan tempat tinggal ikan di daerah pinggir laut.
”Dulu, 1980-an sebelum alat tangkap tidak ramah lingkungan digunakan, di pinggir saja kami bisa dapat puluhan kilogram ikan. Sekarang, satu kilogram saja susah,” ujar Samsurudin yang melaut sejak 1983. Sejumlah biota laut, seperti udang dan ikan sembilang, lanjutnya, juga nyaris tidak ditemukan di perairan Losari.
Selain itu, biaya operasional alat tangkap tidak ramah lingkungan lebih besar dibandingkan yang ramah lingkungan. Untuk arad, misalnya, perlu bahan bakar sampai 30 liter bensin setiap hari dengan wilayah tangkapan hanya di pinggir laut. Sementara alat tangkap bubu rajungan memakai 60 liter bensin untuk empat hari dengan jangkauan tangkapan mencapai Tegal, Jateng, atau 12 mil.
Penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan juga dapat mengurangi mutu tangkapan. Sebab, ikan yang ditangkap tidak utuh. Misalnya, kepalanya terpotong akibat ditarik mesin, sementara mata jaringnya kurang dari 1 inci. ”Harganya pun lebih murah. Kalau alat tangkap ramah lingkungan, rajungan yang ditangkap harganya mencapai Rp 70.000 per kg. Kalau alat tidak ramah lingkungan paling Rp 40.000 per kg karena selain kecil, rajungannya juga tidak utuh,” ujarnya.
Bantuan dana
Direktur LPMUKP-BLU KKP Syarif Syahrial mengemukakan, BLU saat ini fokus pembiayaan usaha mikro perikanan. Adapun untuk permodalan alat tangkap, pihaknya sejauh ini hanya fokus ke pembiayaan kapal-kapal kecil berukuran dibawah 30 GT.
”Sebagian besar kapal cantrang berukuran di atas 30 GT. Karena levelnya pengusaha, kami agak kesulitan menyalurkan pinjaman ke kapal cantrang,” ujarnya.
Syarif menambahkan, pihaknya bersedia memfasilitasi dan mendampingi pemilik kapal cantrang untuk akses pinjaman ke perbankan. ”Penggantian alat tangkap cantrang membutuhkan waktu sambil jalan kita dampingi,” katanya.
Sejak awal 2018, pihaknya telah menyalurkan pinjaman ke 29 nelayan di Rembang dengan rata-rata pinjaman Rp 22 juta per nasabah. Hampir seluruhnya merupakan nelayan kecil yang tidak pakai alat cantrang. Pinjaman itu umumnya diperuntukkan untuk modal kerja dan perbaikan kapal.
Tahun 2017, total penyaluran pinjaman oleh LPMUKP-BLU KKP senilai Rp 32,8 miliar dari total dana bergulir sebesar Rp 500 miliar. Alokasi itu meliputi pembiayaan untuk usaha perikanan tangkap, budidaya, dan pemasaran. Adapun besaran pinjaman rata-rata Rp 14 juta per nasabah. (ACI/IKI/WSI/LKT)