Menyaksikan Kesenian Buncisan di Kroya
Kendang mulai ditabuh Marjo Suprapto (70). Suaranya menyentak memberi aba-aba dan kemudian disahut bunyi angklung yang dibawa lima penari laki-laki. Tembang ”Sekar Gadung” dan ”Ricik-ricik” mengawali pentas kesenian buncisan di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Kroya, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu (17/2) siang.
Setelah warga sekitar semakin banyak berkumpul di halaman balai desa, para penari yang semuanya berusia di atas 40 tahun itu pun mulai berjalan beriringan menari ke tengah halaman. Wajahnya dihiasi garis coretan hitam dan merah.
Para penari berpakaian hitam, bercelana pendek menutupi lutut, menggendong busur panah, dan kepalanya berhiaskan caping berbulu ayam. Beberapa penari pembawa angklung mengenakan kacamata hitam. Semuanya beralas kaki bagaikan sandal prajurit masa kerajaan.
Selain kelima penari pembawa angklung itu, ada pula seorang penari membawa kecrek atau alat musik yang terdiri atas lempengan-lempengan besi yang dililitkan di perut dan harus dipukul untuk membunyikannya. ”Crek-crek,” begitu bunyinya.
Mereka semua menari berputar mengelilingi dua boneka besar yang disebut gandaruwo. Boneka ini tingginya sekitar 2 meter dan agak mirip dengan ondel-ondel dari Betawi. Boneka ini terdiri dari boneka laki-laki dengan wajah merah tua dan berkumis serta boneka perempuan dengan wajah putih, bersanggul, dan mengenakan kebaya warna pink.
Semua penari bergerak mengikuti irama tabuhan kendang dan alunan angklung. Gerakannya tampak tidak beraturan satu dengan yang lain. Sesekali mereka mengangkat salah satu kakinya, kemudian mendoyongkan tubuh ke belakang sambil kepalanya mendongak ke langit. Semakin cepat iramanya, gerakannya pun semakin lincah dan tangkas.
Setelah menari sekitar 30 menit, satu per satu penari mulai kehilangan kesadaran. Mereka mengalami kerasukan indhang. Tatapannya kosong. Keringat mengucur deras dan jari-jemarinya menggenggam kencang sehingga otot-ototnya tegang.
Saat itu, Pemimpin Grup Buncisan Sida Wungu Karyadi Naya (65) mendekat ke penari dan mengoleskan minyak wangi ke angklung serta menuangkannya ke dalam mulut penari. Penari yang kerasukan pun langsung menyambut dengan mencecap dan meneguk minyak wangi dalam botol kecil itu. Para penonton, tua-muda, dewasa-anak-anak berdecak kagum menyaksikan adegan itu.
Para penari masih bergerak mengikuti irama tabuhan hingga sekitar setengah jam. Kemudian, musik perlahan mengalun pelan dan Karyadi berserta dua asistennya mulai menyadarkan para penari yang tadi kesurupan. Selanjutnya. para penari duduk lemas sambil beristirahat sesaat.
”Buncisan ini artinya menyamar. Dulu saat ada penjajah datang, warga masuk ke hutan dan menyamar untuk dapat mengalahkan musuh. Di hutan karena tidak ada makanan, mereka membuat senjata dari bambu, yaitu panah, untuk berburu celeng dan binatang hutan,” kata Karyadi.
Istirahat selesai, kemudian meja panjang yang di atasnya tertata aneka sesaji mulai dipindahkan dari bawah tenda ke tepian lapangan pementasan buncisan. Di atas meja antara lain terdapat bunga mawar dan kantil, gula batu, rokok, ayam panggang, minyak wangi, dan pisang.
Babak kedua pementasan pun dimulai dengan tabuhan kendang lagi. Gerakan tari yang memutari dua boneka gandaruwo kembali dipentaskan. Tabuhan semakin kencang dan kini para penari pun kembali kerasukan.
Tidak cukup diberi minyak wangi, kali ini para penari langsung menghampiri meja sesaji. Mereka tidak menunjuk dengan jari, tapi mereka menggunakan gerakan mulut untuk memilih sesaji yang diinginkan. Ada yang minta air bunga dicampur gula batu. Ada yang memilih memakan bunga. Ada yang meminta rokok. Ada juga yang meminta pisang, tidak dimakan tetapi dipatah-patahkan lalu dilempar-lemparkan.
Pada puncak kesurupan, ada penari yang sampai tersungkur kejang-kejang di depan kendang yang ditabuh Marjo. Ada pula penari yang kejang hingga tubuhnya diangkat oleh tiga asisten Karyadi untuk dapat disembuhkan. Penonton pun kian terpukau sekaligus sedikit ngeri dengan tingkah aneh para penari yang kesurupan tersebut.
Hampir punah
Menurut Karyadi, grup buncisan tersebut sudah ada sejak tahun 1965. Semakin hari, kesenian ini terancam punah karena sudah sedikit peminatnya. ”Dulu setiap kali ada hajatan, seperti nikahan dan sunatan, orang selalu menanggap buncisan. Sekarang banyak hiburan lain dan orang lebih memilih hiburan dangdut,” ujarnya. Biaya untuk menanggap kesenian ini mencapai Rp 3 juta.
Selain itu, kata Karyadi, dirinya kesulitan meregenarasi penari. ”Anak-anak muda yang dilatih kesenian ini setelah dewasa pergi meninggalkan desa untuk merantau. Jadi, para penarinya rata-rata sekarang sudah berusia di atas 40 tahun,” katanya.
Darto (50), salah satu penari, misalnya, sehari-hari bekerja sebagai petani. Dia turut bergabung dengan grup kesenian buncisan untuk mengisi waktu luang dan bersosialisasi dengan sesamanya.
Camat Kroya Muhammad Najib menyampaikan, kesenian ini digelar dalam rangka pelestarian kebudayaan dan mengenalkannya kepada generasi muda. Kesenian ini juga untuk mengawali rangkaian gelar budaya prosesi Bobok Bumbung, yaitu prosesi membawa bambu yang berisi uang untuk pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. ”Kegiatan seperti ini sudah memasuki tahun keempat dan kali ini dikemas dalam bentuk gelar budaya karena desa ini adalah desa pelestari adat,” kata Najib.
Versi lain
Jika di Kroya buncisan dimaknai sebagai penyamaran, di Desa Tenggeran, Kecamatan Somagede, Kabupaten Banyumas, kesenian ini memiliki makna dan versi lain. Pada Mei 2017, kelompok buncisan Margo Utama Desa Tenggeran berkesempatan tampil di Purwokerto untuk membuka rangkaian Pekan Komunikasi Sosial Nasional 2017.
Seperti diberitakan Kompas.id pada 23 Mei 2017 ”Kesenian Daerah Meriahkan Pembukaan Pekan Komsos Nasional” saat itu, terdapat 9 penari yang masing-masing membawa angklung dan gong bumbung atau gong dari bambu yang ditiup. Sambil diiringi lagu-lagu banyumasan, seperti ”Eling-eling” dan ”Kulu-kulu”, para penari yang semuanya laki-laki itu menari membentuk lingkaran sambil mengenakan makuta bulu atau ikat kepala berhiaskan bulu ayam jantan.
Ketua Grup Buncisan Margo Utama Desa Tenggeran Sarwono Reksa Budaya menyampaikan, tari tersebut merupakan bentuk dari wujud syukur atas menangnya Raden Prayitno atas Patih Braja Gelap untuk memperebutkan pusaka Wahyu Bekong (atau kendi) Mas dan Payung Tunggul Naga yang dicuri dari Padepokan Tengger.
Raden Prayitno berhasil mengalahkan Patih Braja Gelap dengan menggunakan keris kecil atau disebut cis. ”Buncis singkatan dari buntuning lelakon dan cis. Artinya, sudah kepepet tidak ada senjata lain dan hanya menggunakan cis atau keris kecil,” kata Sarwono.
Setelah kemenangan itu, kata Sarwono, keris kecil itu di bagian gagangnya (tangkai) menjelma menjadi manusia-manusia berbulu, sedangkan di bagian keris yang tajam menjelma sebagai ular naga. ”Manusia-manusia berbulu itu dilambangkan para penari buncisan. Mereka bersyukur atas kemenangan yang diraih Raden Prayitno. Adapun makuta bulu melambangkan kegagahan seorang laki-laki,” katanya.
Menurut Sarwono, Raden Prayitno dan Patih Braja Gelap berkelahi untuk memperebutkan dua pusaka itu karena pusaka-pusaka tersebut merupakan persyaratan untuk meminang Dewi Turkanti, anak dari Adipati Kalisalak. Raden Prayitno yang datang melamar ternyata bersamaan dengan Patih Braja Gelap utusan Prabu Pulebahas dari Nusakambangan yang juga datang untuk melamar. ”Tarian ini dulu untuk memohon datangnya hujan. Saat ini tarian ini dipakai untuk acara pariwisata dan hajatan,” kata Sarwono yang juga mengaku kesulitan mencari generasi muda penerus seni tradisi ini.