Industri Ponsel Indonesia Mantapkan Diri Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah produksi ponsel buatan dalam negeri pada 2017 mencapai 60,5 juta unit atau lima kali lipat lebih besar daripada jumlah impor ponsel yang masuk ke Indonesia. Catatan ini makin memantapkan industri ponsel Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri sejak 2015.
Mengutip data Kementerian Perindustrian, jumlah produksi ponsel dalam negeri Indonesia pada 2017 adalah 60,5 juta unit. Produksi ponsel itu dilakukan oleh 34 merek, baik internasional maupun lokal. Merek ponsel dunia yang diproduksi di Indonesia antara lain Samsung dan LG. Adapun 11 merek lokal ponsel Indonesia antara lain SPC, Evercoss, Elevate, Advan, Luna, Andromax, Polytron, Mito, Aldo, Axioo, dan Zyrex.
Sementara itu, impor ponsel pada 2017 sebanyak 11,4 juta unit atau lima kali lipat lebih kecil daripada produksi ponsel dalam negeri. Capaian 2017 itu merupakan tahun ketiga sejak 2015 industri ponsel dalam negeri menjadi tuan rumah di negeri sendiri dengan mengalahkan jumlah impor.
Padahal, tahun 2013, Indonesia masih dibanjiri impor ponsel. Saat itu jumlah impor ponsel di Indonesia mencapai 62 juta unit. Sementara itu, industri ponsel dalam negeri saat itu baru dirintis sehingga kapasitas produksinya baru 105.000 unit saja atau 0,16 persen dari jumlah impor yang masuk saat itu. Saat itu baru ada dua merek lokal yang memproduksi ponsel di dalam negeri, yakni Polytron dan Evercross.
Tahun 2014, kondisi pasar yang dibanjiri impor belum banyak berubah. Saat itu impor ponsel turun menjadi 52 juta unit dan kapasitas produksi ponsel 5,7 juta unit. Meski ada peningkatan produksi karena mulai bertambahnya pabrikan yang mulai memproduksi ponsel di Indonesia, kapasitas produksi ponsel dalam negeri hanya 11 persen dari jumlah impor.
Titik balik produksi industri ponsel di Indonesia terjadi pada 2015. Saat itu jumlah produksi mencapai 50 juta unit melonjak hampir 10 kali lipat dibandingkan produksi 2014.
Pada tahun itu pula untuk pertama kali, industri ponsel dalam negeri menjadi tuan rumah di negeri sendiri dengan mengalahkan impor yang saat itu ”hanya” 37 juta unit atau 74 persen dari total produksi dalam negeri. Saat itu terdapat 23 merek, baik lokal maupun internasional, yang sudah memproduksi ponsel di Indonesia.
Kapasitas produksi ponsel Indonesia mencapai puncaknya pada 2016 dengan 68 juta unit. Adapun impornya turun setengah pada 2015 menjadi 18,5 juta unit.
Peran regulasi
Wakil Ketua Asosiasi Industri Perangkat Telematika Indonesia (AIPTI) Lee Kang Hyun mengatakan, meroketnya kapasitas produksi ponsel dalam negeri pada 2015 itu tidak lepas karena kejelian pemerintah melihat tren industri ponsel ke depan.
”Saat itu, pemerintah melihat bahwa tren ponsel yang diminati ke depan adalah ponsel dengan spesifikasi 4G LTE. Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah membuat regulasi yang menyebabkan produsen ponsel global mau berinvestasi dan membuat pabriknya di Indonesia,” ujar Lee.
Peraturan menteri satu per satu dikeluarkan, seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet serta Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 69 Tahun 2014 tentang Ketentuan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Industri Elektronik dan Telematika.
Dengan dikeluarkannya regulasi itu, pelaku industri itu pun mulai menanamkan modalnya. Pada April 2015, menurut data Kemenperin, baru ada delapan industri telepon seluler yang merupakan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Mereka adalah PT Hartono Istana Teknologi (Polytron) di Kudus (Jawa Tengah), PT Aries Indo Global (Evercoss) di Semarang (Jateng), PT Arga Mas Lestari (Advan) di Semarang, dan PT Tera Data Indonusa (Axioo) di Jakarta. Empat perusahaan PMDN lainnya berada di Tangerang, yakni PT Maju Express Indonesia (Mito), PT Sinar Bintang Nusantara (Gosco), PT Supertone (SPC), dan PT Zhou International (Asiafone).
Adapun yang merupakan penanaman modal asing adalah PT Samsung Indonesia (Samsung) di Cikarang, PT Indonesia Oppo Electronics (Oppo) di Tangerang, dan PT Haier Electrical Appliances Indonesia (Haier) di Cikarang. Selain itu, ada dua pemilik merek, yakni PT Huawei Tech Investment (Huawei) dengan produksi di PT Panggung Electric Citra Buana dan PT Smartfren Telecom (Smartfren) (Kompas, 14 April 2015).
Gebrakan pun dilakukan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara per 7 Juli 2015 dengan mengeluarkan Peraturan Menkominfo Nomor 27 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi Berbasis Standar Teknologi LTE. Salah satu substansi pentingnya adalah kewajiban produsen memenuhi TKDN ponsel 4G long term evolution (LTE) minimal 30 persen mulai 1 Januari 2017. Dia menilai peraturan tersebut sudah sejalan dengan komersialisasi layanan telekomunikasi berstandar 4G LTE.
Langkah-langkah itu nyatanya manjur. Kapasitas produksi ponsel dalam negeri pun melonjak dan mengalahkan impor seperti saat ini.
Basis produksi
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah yakin Indonesia mampu menjadi basis produksi bagi pengembangan industri perangkat telekomunikasi kelas dunia. Terlebih lagi dengan didukung potensi pasar dalam negeri yang sangat besar dan sejumlah produsen komponen lokal yang cukup kompetitif.
Pemerintah pun bertekad menggenjot keberlanjutan industri telematika di dalam negeri, salah satunya melalui penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet.
”Dengan bertumbuhnya industri-industri perakit dan pembuat komponen, sekitar 30 perusahaan ponsel dan tablet telah memenuhi TKDN 30 persen,” katanya. Untuk itu, Kemenperin terus meningkatkan daya saing produk lokal agar mampu berkompetisi dengan barang-barang impor.
Menperin juga menyampaikan, pihaknya tengah berupaya mencegah dan mengurangi peredaran ponsel yang masuk ke Indonesia secara ilegal sehingga melindungi industri dan konsumen dalam negeri. Kemenperin sedang mengembangkan device identification, registration, and blocking system (DIRBS) untuk mendeteksi produk ponsel melalui verifikasi international mobile equipment identity (IMEI).
”Pada April nanti, data IMEI ini sudah terkonsolidasi. Kami telah bekerja sama dengan Qualcomm dan Global System for Mobile Communications Association (GSMA),” ujarnya. Setelah DIRBS terpasang, Kemenperin akan bersinergi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Perdagangan untuk menyiapkan peraturan-peraturan yang dibutuhkan dalam rangka mengontrol peredaran ponsel ilegal tersebut.
Selanjutnya, guna lebih mendongkrak kinerja sektor ini, faktor terpenting lainnya adalah pengembangan kompetensi sumber daya manusia (SDM). ”Kami berharap para pelaku industri ponsel di dalam negeri berpartisipasi dalam program pendidikan vokasi melalui kemitraan dengan sekolah menengah kejuruan yang ada di sekitar lokasi industri untuk memudahkan penyerapan dan peningkatan kapasistas SDM yang dibutuhkan perusahaan,” kata Airlangga.
Menanggapi keinginan itu, Lee mengatakan, pelaku industri ponsel dalam negeri pun ingin juga mengembangkan pasarnya untuk mulai ekspor ke luar negeri.