”Java Kapok” Melupakan Masa Jaya
Melalui Instruksi Nomor 13/1973, Menteri Perdagangan menetapkan pengekspor biji kapuk hanya boleh dilakukan oleh PT Kapok. Para pengusaha yang punya kebun kapuk hanya boleh menjual biji kapuk hasil produksinya sendiri. Realisasi ekspor biji kapuk dilaporkan kepada Cabang Lembaga Kapok setempat, dengan tindasan kepada Lembaga Kapok Pusat.
Berita tentang aturan mengekspor kapuk itu dimuat harian Kompas yang terbit pada 16 Februari 1973 atau 45 tahun lalu.
Mereka yang lahir setelah pertengahan 1980-an mungkin tak lagi mengenal kasur kapuk. Sebagian orang lebih memilih kasur berbahan baku busa atau springbed dibandingkan dengan kasur kapuk. Padahal, pada masa jayanya, sebelum tahun 1980-an, kasur kapuk menjadi pilihan utama sebagai alas tidur yang nyaman.
Sebelum Perang Dunia II, kapuk dari pohon randu di Pulau Jawa sudah dikenal dunia meskipun sistem penanamannya dilakukan para petani dengan biji kapuk atau klentheng.
Berbeda dengan springbed yang harus diganti apabila per dan bantalannya tidak nyaman lagi, kasur kapuk relatif awet, dengan syarat kita rajin menjemurnya secara berkala. Bentuk dan kenyamanan kasur kapuk akan kembali seperti semula setelah dijemur di panas matahari. Kalaupun kain kasurnya harus diganti, kapuk di dalamnya tetap bisa digunakan lagi.
Bahan utama kasur kapuk adalah kapuk yang berasal dari pohon randu kapuk (Ceiba pentandra). Pada masa jayanya, beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi sentra penghasil kapuk yang tak hanya diperlukan untuk kebutuhan di dalam negeri, tetapi juga diekspor.
Begitu menjanjikannya pendapatan dari kapuk, penanaman pohon kapuk randu pun diperluas sampai ke luar Pulau Jawa. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, pada 1973 diadakan gerakan penanaman pohon kapuk randu.
Setiap kabupaten di NTT harus menanam 1 juta pohon pada tahun pertama, dan tahun berikutnya jumlah itu diharapkan bisa meningkat. Di NTT terdapat 12 kapubaten, yang berarti terdapat sekitar 12 juta pohon (Kompas, 24 Juli 1973).
Selain itu, lewat bantuan presiden ataupun pemerintah daerah, bibit kapuk randu diberikan secara gratis kepada warga. Tahun 1973, misalnya, Presiden Soeharto memberi bantuan bibit kapuk randu sebanyak 150.000 pohon untuk warga di Kecamatan Tulis, Kabupaten Batang, Jateng (Kompas, 30 Januari 1973).
Pada tahun yang sama, Presiden juga memberi bantuan senilai Rp 40 juta untuk pengembangan pembibitan kapuk randu yang kemudian dibagikan kepada rakyat di Jateng (Kompas, 25 Agustus 1973). Selain menjanjikan pendapatan, pohon kapuk randu juga bermanfaat untuk penghijauan karena bisa mencegah banjir.
Pohon kapuk randu relatif tak memerlukan perawatan karena tanaman ini tidak memerlukan banyak air dan jarang terkena hama penyakit. Sayangnya, kondisi ekonomi, tata niaga, peremajaan tanaman, dan perubahan gaya hidup masyarakat mengakibatkan kapuk justru semakin terpinggirkan.
Bahkan, pohon kapuk randu pun ditebang, dijadikan bahan untuk pembuatan multiplek, digunakan untuk pembangunan yang menggunakan cor besi ataupun semen, juga sebagai bahan baku pembuatan mebel (Kompas, 14 September 1988 dan 20 Juni 1990).
Apabila kita tidak segera meremajakan dan menanam kembali pohon kapuk randu, dikhawatirkan dalam beberapa tahun ke depan tanaman itu akan lenyap. Padahal, selama ini ribuan orang menggantungkan hidupnya dari kapuk.
Kompas, 18 Desember 2010, menulis, dari 700.000 pohon randu di Kabupaten Pati, sekitar 30 persennya habis ditebang. Alhasil pasokan kapuk berkurang.
Sekadar contoh, di Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, saja ada sekitar 5.000 orang yang menggantungkan hidupnya dari kapuk. Supeno, pemilik pengolahan dan pengepakan kapuk UD Causa Prima, mengatakan, satu tempat usaha pengolahan dan pengepakan kapuk membutuhkan 1.760 ton kapuk per tahun. Meski sudah mendatangkan kapuk dari Kudus, Jepara, Blora, dan Grobogan sekalipun, kebutuhan itu tak bisa terpenuhi.
”Java Kapok”
Sebelum Perang Dunia II, kapuk dari pohon randu di Pulau Jawa sudah dikenal dunia meskipun sistem penanamannya dilakukan para petani dengan biji kapuk atau klentheng. Bahkan, pada waktu itu, Indonesia merupakan produsen kapuk terbesar dunia, dengan produksi terbanyak dari Jateng (Kompas, 21 Agustus 1994).
Oleh karena itulah, secara internasional kapuk randu terkenal dengan sebutan ”Java Kapok”. Kapuk diekspor ke Eropa karena berkualitas bagus, berwarna putih, dan kering.
Ketika itu, ekspor kapuk setiap tahun sekitar 24.800 ton. Ekspor tersebut memenuhi 80-90 persen kebutuhan kapuk dunia. Tahun 1931, misalnya, ekspor kapuk Indonesia sekitar 20.000 ton (Kompas, 24 Juli 1973).
Ketika Jepang masuk Indonesia tahun 1940-an, para petani menebang pohon randunya karena harga kapuk merosot dan tidak menjadi perhatian penguasa. Baru pada awal 1970-an, pohon randu kembali menarik perhatian pemerintah (Kompas, 14 Juli 1973).
Salah satu daerah penghasil kapuk adalah Kabupaten Pati. Selain pohon randu yang ada, pemerintah menambah areal penanaman pohon randu seluas 4.800 hektar. Selain itu, pohon randu juga ditanam di daerah lain, seperti di Kabupaten Magelang, Jateng, dengan 1,5 juta batang randu (Kompas, 14 Januari 1974).
Para transmigran asal Pacitan, Jatim, yang tinggal di Tambarangan, Kalimantan Selatan, sekitar 120 km dari Banjarmasin, juga menanam pohon randu. Selama ini, kebutuhan kapuk di Kalsel didatangkan dari Pulau Jawa dan Madura. Adanya pohon kapuk randu di Kalsel diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kapuk setempat (Kompas, 28 Oktober 1976).
Namun, hasilnya tetap tak bisa menyamai masa sebelum PD II. Beberapa penyebabnya, seperti dicatat Kompas, 24 Juli 1973, adalah bahan baku yang makin berkurang karena tidak dilakukan peremajaan pohon randu dan harga kapuk ekspor yang lebih rendah daripada di dalam negeri. Ini mengakibatkan produsen kapuk berskala kecil mengutamakan pasar dalam negeri dengan kualitas kapuk yang tak harus sebagus kapuk ekspor.
Kemerosotan produksi kapuk itu antara lain terlihat pada tahun 1971-1972. Tahun 1971, produksi kapuk di Jateng tak sampai 1.000 ton, dan turun drastis pada 1972 menjadi kurang dari 500 ton. Selain itu, ekspor kapuk hanya 40 persen dari produksi kapuk, selebihnya untuk pasar dalam negeri.
Sekadar contoh, tahun 1974 harga kapuk di dalam negeri Rp 400 per kilogram (kg), sedangkan harga ekspor hanya Rp 200 per kg. Oleh karena itu, pengusaha kapuk memilih memasarkan barangnya di dalam negeri saja (Kompas, 3 Agustus 1974).
Kondisi hulu
Tahun 1972, luas area tanaman randu di Jateng dan DI Yogyakarta 3.331, 87 ha, dan 2.556,71 ha di antaranya milik negara (Kompas, 18 Januari 1972). Tahun 1971, jumlah pohon randu tercatat 14,9 juta, naik menjadi 19,65 juta pohon pada awal 1975. Ini antara lain karena ada bantuan bibit pohon randu yang dibagikan secara gratis kepada rakyat tahun 1973.
Hasil kapuk pun meningkat, yakni sekitar 15.000 ton (Kompas, 16 Januari 1975). Namun, dibandingkan pada masa kejayaan Java Kapok, produksi kapuk tersebut masih kalah jauh. Meskipun hasilnya belum maksimal, kebijakan pemerintah terhadap budidaya tanaman kapuk rakyat malah berubah.
Tahun 1976, Pemda Jateng mengalihkan tanaman randu menjadi tanaman pangan, seperti ketela, mangga, dan jeruk. Selain untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyat, hal ini dilakukan untuk menghilangkan sistem ijon yang mencengkeram petani kapuk (Kompas, 13 Agustus 1976).
Sistem ijon membuat petani kapuk tak berdaya karena pengijon telah membeli kapuk saat buahnya masih muda dengan sistem borongan, bahkan sampai jangka 10 tahun dengan harga rendah. Sistem ijon juga mengakibatkan mutu kapuk rendah karena pengijon mengharapkan keuntungan secepat dan sebanyak mungkin tanpa mempertimbangkan mutu kapuk.
Kebijakan yang berubah-ubah membuat peremajaan pohon randu tak dilakukan. Di Kabupaten Pati, misalnya, dari sekitar 1,6 juta pohon, 60 persen di antaranya tidak produktif.
Padahal, sejak zaman penjajahan Belanda, daerah Pati terkenal sebagai penghasil kapuk. Predikat itu berangsur-angsur memudar setelah rakyat lebih suka bertanam padi.
Penghasilan dari kapuk yang tak lagi menjanjikan, membuat sebagian pemilik pohon randu memilih menebang pohonnya dan dijual sebagai kayu. Ini antara lain terjadi di Kabupaten Jepara (Kompas, 14 September 1988).
Alhasil, produksi kapuk semakin terpuruk karena pohon randu yang ada ditebang, sementara peremajaan pohon tak kunjung dilakukan. Penebangan pohon randu kemudian merembet ke Kabupaten Pati, juga Kudus (Kompas, 20 Juni 1990).
Di sisi lain, di Pati juga terdapat Kebon Percobaan Kapok Muktihardjo milik Lembaga Penelitian Tanaman Industri di Bogor. Lembaga ini merupakan kelanjutan dari Kapok Centrale pada masa penjajahan Belanda yang didirikan pada 1929 (Kompas, 25 November 1977).
Di sini terdapat lebih dari 150 varietas tanaman kapuk. Tahun 1990 jumlahnya naik menjadi 200 varietas, sedangkan yang ditanam petani secara tradisional ada sekitar 147 jenis kapuk randu (Kompas, 10 November 1990).
Monopoli
Tata niaga kapuk juga mengalami pasang surut. Selain peraturan yang berubah-ubah, tata niaga kapuk juga ruwet. Pada masa awal Orde Baru berkuasa, PT Kapok Indonesia yang semula menjadi satu-satunya pembeli sekaligus penjual kapuk di Indonesia dicabut monopolinya. Pencabutan itu berdasarkan surat keputusan Gubernur Jateng dan berlaku mulai 10 Oktober 1967 (Kompas, 19 Oktober 1967).
Namun, salah satu berita di harian Kompas, 24 Juli 1973, menyebutkan, PT Kapok Indonesia kembali memonopoli ekspor ke seluruh dunia, terutama AS yang setiap tahun memerlukan 12.000 ton kapuk. Adapun biji kapuk diekspor ke Jepang.
Di samping itu, para pengusaha kapuk membentuk organisasi sendiri. Misalnya, 90 perusahaan kapuk di Jatim mendirikan Persatuan Perusahaan Kapok Indonesia (PPKI). Mereka membentuk organisasi sendiri karena PT Kapok Indonesia dirasakan kurang berfungsi.
”PT Kapok Indonesia tidak berdaya menghadapi permintaan hasil panen kapuk dan pemasaran untuk ekspor. Sementara dari pemerintah belum ada langkah-langkah lanjutan mengenai masalah kapuk. Dengan adanya organisasi tersebut diharapkan hasil panen kapuk bisa diselamatkan karena sudah diurus dari jauh-jauh hari,” demikian ditulis Kompas, 14 Mei 1974.
Hal serupa dilakukan para pengusaha kapuk di Jateng, setelah PT Kapok Indonesia yang memegang monopoli ekspor kapuk kembali dilikuidasi (Kompas, 3 Agustus 1974). Namun, kebijakan itu tak segera diikuti dengan peraturan yang jelas tentang tata niaga ekspor kapuk.
Tata niaga yang tak mendukung, ditambah munculnya beberapa jenis barang sintetis pengganti kapuk dan bulu angsa sebagai bahan baku perabotan tidur manusia, memengaruhi keberadaan kapuk. Kondisi itu masih ditambah dengan cuaca buruk, yakni panas yang diselingi hujan selama beberapa bulan, mengakibatkan produksi kapuk turun sampai separuhnya (Kompas, 22 September 1992).
Berbalik impor
Tak hanya ekspor kapuk yang menurun, Indonesia justru menjadi negara pengimpor kapuk. Kompas, 25 Maret 1978, mengutip Soekardi Djacaria, Ketua PPKI, mencatat, sejak 1975 Indonesia mengimpor kapuk dari Thailand sekitar 300 ton per tahun. Produksi kapuk dalam negeri 10.000 ton tak bisa memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.
Ketika produksi kapuk Indonesia terus menurun, Thailand menggantikan posisi Indonesia sebagai eksportir kapuk dunia. Meski tak sebagus mutu Java Kapok, Thailand bisa mengekspor kapuk sebanyak 15.000 ton-20.000 ton per tahun. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya mampu mengekspor sekitar 100 ton kapuk dari PT Perkebunan XVIII (Kompas, 24 November 1980).
Indonesia yang mempunyai sejarah panjang sebagai produsen dan pengekspor kapuk dunia harus merelakan ”gelarnya” beralih ke Thailand yang bisa dikatakan sebagai pemain baru perkapukan dunia meskipun di tingkat hulu sudah diupayakan agar petani tetap merawat pohon randu. Ini antara lain dengan mendirikan koperasi unit desa (KUD) Kapok Randu Jateng untuk menjaga harga kapuk agar mampu bersaing (Kompas, 17 September 1981).
Namun langkah itu pun tak menolong, petani kapuk tetap menebang pohon randu demi mendapatkan penghasilan. Kompas, 20 Juni 1990, menulis, harga 1 kg kapuk gelondong semula Rp 30 naik menjadi Rp 160. Akan tetapi, harga satu pohon randu minimal Rp 10.000. Dari satu pohon randu dihasilkan sekitar 7 kg kapuk yang nilai uangnya tak sampai Rp 2.000 (Kompas, 21 September 1990).
Tahun 1990, produksi kapuk nasional sekitar 300.000 ton per tahun, habis untuk memenuhi keperluan dalam negeri. Sementara penebangan pohon randu terus terjadi setidaknya sampai tahun 2008 (Kompas, 26 Agustus 2008) di Jepara, Pati, Kudus, dan 12 kabupaten penghasil kapuk lainnya. Setiap hari tak kurang dari 20 truk hilir mudik mengangkut kayu dari pohon randu (Kompas, 10 November 1990).
Sumber penghasilan
Pohon kapuk randu mudah ditanam dan tidak mengganggu kesuburan tanah. Bahkan, tanaman ini bisa menjadi pelindung terhadap angin dan panas. Pohon randu pun menjadi sumber penghasilan rakyat pada musim kemarau karena semua bagian buah kapuk bisa dijual.
Selain kapuk, kulitnya menjadi bahan caustic soda atau untuk bahan bakar. Biji kapuk bisa diperas dan menghasilkan minyak (Kompas, 25 November 1977). Pabrik-pabrik kapuk yang antara lain menghasilkan kasur, bantal, guling, ataupun kapuk dengan beragam gradasi mutu pun menyerap ribuan tenaga kerja (Kompas, 29 September 1979).
Meski suram, sebagian petani kapuk tetap mempertahankan pohon kapuk randu miliknya. Beberapa petani dan pengusaha kapuk odolan mampu bertahan, salah satunya Raban, warga Desa Karaban, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati (Kompas, 21 Agustus 1994).
Dia memiliki empat mesin pemroses kapuk yang dirakit sendiri dan mempekerjakan tak kurang dari 100 orang di tempat usahanya. Raban mencari bahan baku antara lain dari Kupang, Lampung, Madura, Madiun, dan Blitar. Sementara pemasarannya antara lain ke Jakarta, Bandung, dan Palembang.
Di sisi lain, Kompas, 21 Agustus 1994, menulis, tumbuhnya pengusaha kapuk odolan seperti di Pati tersebut memengaruhi volume ekspor kapuk Indonesia. Ekspor kapuk tersendat antara lain karena kapuk yang diproduksi PPKI dengan kualitas ekspor dan kapuk odolan jauh berbeda. Kapuk odolan penguraian seratnya menggunakan tangan, kadar airnya tak cukup rendah, dan warnanya keabu-abuan karena diambil dari buah masih muda.
Sementara serat kapuk untuk ekspor berwarna putih bersih dan elastisitasnya tinggi. Serat kapuk ini bisa menahan masuk-keluarnya hawa panas atau dingin, mempunyai daya apung di air, mampu meredam suara, tidak disukai kutu, dan steril dari kuman (Kompas, 2 Januari 1995).
Usaha untuk mengembalikan kejayaan Java Kapok sesungguhnya sudah dilakukan pemerintah dan pihak swasta. Akan tetapi, kontinuitas, kesungguhan, kemauan bekerja sama, kejujuran, dan kerja keras belum sepenuhnya terwujud. Masing-masing pihak bisa dikatakan berjalan sendiri-sendiri.
Sekadar contoh, di Thailand, urusan kapuk langsung ditangani 3 departemen, yakni pertanian untuk penyediaan bibit unggul dan penyuluhan, perindustrian bertugas membina industri kapuk, serta perdagangan yang memantau kualitas kapuk dan memperluas pasar ekspor.
Pasar kapuk dunia masih terbuka. Meskipun menjadi pemain utama ekspor kapuk, Thailand meminta kiriman 2.000 ton dari Indonesia. Selain itu, China, AS, Eropa Barat, dan Jepang juga meminta kapuk dari Indonesia. Sayang, semua permintaan itu tak bisa dipenuhi karena produksi kapuk di Tanah Air terus merosot (Kompas, 2 Januari 1995).
Tahun 1996, Jateng yang menjadi sentra produksi kapuk hanya mencapai 7.000-8.000 ton per tahun (Kompas, 4 Oktober 1997) meskipun luas area tanaman kapuk randu sudah bertambah. Di Kabupaten Pati, misalnya, pada 1989 luas area tanaman kapuk randu 20.239 ha yang ditanami 3.035.850 pohon. Namun, tak semua pohon randu itu produktif.
Tahun 2004, luas areanya berkurang menjadi 17.870 ha, dan pada 2005 area tanaman randu di Pati tinggal 16.484 ha. Tahun 2006, luas areanya kembali berkurang menjadi 16.330 ha (Kompas, 26 Agustus 2008). Bukan cuma dari hulunya saja kapuk Indonesia tak dibenahi, PPKI pun tak mampu mengangkat kembali pamor Java Kapok.
Sejak tahun 1996, PPKI praktis tidak lagi bisa membantu anggotanya setelah sang ketua Soekardi Djacaria (76) mengundurkan diri karena lanjut usia dan tak ada penggantinya (Kompas, 31 Juli 2002). Soekardi, yang dijuluki ”Bapak Kapuk Indonesia” karena sejak berusia 20 tahun terus-menerus menggeluti kapuk, wafat tahun 2002 dalam usia 82 tahun dan hingga kini Java Kapok tetap merana....