JAKARTA, KOMPAS— Anak penderita kanker perlu mendapatkan perhatian khusus. Selama ini, penanggulangan kanker anak di Indonesia dinilai belum menjadi prioritas. Hal itu terlihat dari minimnya layanan pengobatan, diagnosis, pengobatan, dan sosialisasi secara menyeluruh di pelayanan kesehatan primer.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan, prevalensi kanker pada anak usia 0-14 tahun sebesar 0,5 per 1.000 anak atau 16.291 kasus. Berdasarkan Sistem Registrasi Kanker Anak Departemen Kanker Anak Rumah Sakit Kanker Dharmais, jumlah penderita kanker anak meningkat setiap tahun, pada 2015 sebanyak 156 anak, pada 2016 sebanyak 164 anak, dan pada 2017 tercatat 278 anak.
Berdasarkan Sistem Registrasi Kanker Anak Departemen Kanker Anak Rumah Sakit Kanker Dharmais, jumlah penderita kanker anak meningkat setiap tahun, pada 2015 sebanyak 156 anak, pada 2016 sebanyak 164 anak, dan pada 2017 tercatat 278 anak.
Kepala Staff Medik Fungsional (SMF) Anak yang juga dokter spesialis anak konsultan hematologi dan onkologi Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, Haridini Intan S Mahdi, mengatakan, pengetahuan masyarakat terkait kanker pada anak masih sangat minim. “Sosialisasi masih kurang, bahkan ada yang tidak tahu jika anak bisa menderita kanker,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Rabu (14/2).
Padahal, tambah Haridini, dengan mengenal tanda kanker anak sejak dini, terapi lebih mudah dilakukan dan tingkat keberhasilannya tinggi. Menurutnya, keberhasilan sembuh kanker pada anak bisa mencapai 80 persen. Hal ini disebabkan karena anak tidak mengalami regenerasi seperti orang dewasa.
“Untuk itu, mengenali gejala kanker anak sejak dini sangat penting dilakukan agar kesempatan untuk sembuh semakin bisa dicapai. Masa depan anak masih panjang. Orangtua perlu lebih perhatian,” kata Haridini.
Kurangnya perhatian pada kanker anak juga dapat dilihat dari jumlah dokter spesialis kanker anak di Indonesia. Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi pada 2017 mencatat, jumlah dokter spesialis kanker anak di seluruh wilayah Indonesia hanya ada 79 orang. Jumlah ini dinilai jauh dari jumlah ideal untuk menangani banyaknya anak penderita kanker di Indonesia. "Dari jumlah itu hampir dua per tiganya ada di Jawa," ujar Haridini.
Kegiatan promotif
Secara terpisah, Ketua Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) Ira Soelistyo menyampaikan, kegiatan promotif dari pemerintah terkait kanker anak belum optimal. Penyuluhan hingga ke tingkat puskesmas dan kader Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) harus lebih masif.
“Kegiatan promotif juga tidak boleh berhenti dan harus rutin digalakkan. Tujuannya, pengetahuan soal kanker anak bisa tepat sasaran,” katanya.
Ira menambahkan, kanker pada anak seharusnya diperhatikan secara khusus, tidak bisa disamakan dengan kanker pada dewasa. Anak penderita kanker butuh perawatan spesifik, seperti adanya dukungan nutrisi, pendidikan, psiko-sosial, hingga perawatan pariatif (perawatan ketika penyakit tidak dapat disembuhkan). “Banyak anak dengan kanker kehilangan hak mereka," ujarnya.
Hal itu seperti dikeluhkan oleh Reni Sasmita (42) warga Padang, Sumatera Barat. Anaknya, Tata (9), menderita tumor otak. Tata pertama kali didiagnosis memiliki tumor pada usia 5 bulan. Reni mengatakan, saat berusia 3 tahun, anaknya terpaksa dikeluarkan dari sekolahnya. “Sekolahnya tidak mau menanggung risiko dari penyakit anak saya. Jadi, terpaksa anak saya tidak sekolah,” kata Reni.
Sekolahnya tidak mau menanggung risiko dari penyakit anak saya. Jadi, terpaksa anak saya tidak sekolah
Namun, setelah Reni membawa anaknya berobat ke Jakarta dan tinggal di Rumah Singgah milik YKAKI, anaknya bisa mendapatkan pendidikan khusus sehingga akhirnya tetap bisa melanjutkan sekolah. Ia mengaku, lingkungan sekolah dan tempat tinggalnya belum bisa menerima anak dengan penyakit kanker. Beberapa orang masih menganggap penyakit ini harus dihindari.
Terkait hal itu, Kementerian Kesehatan telah membuat peta panduan (roadmap) untuk penanganan khusus kanker pada anak. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Mohamad Subuh mengatakan, peta panduan ini mulai dilakukan sejak 2016.
“Kami melihat jumlah kasus kanker pada anak semakin meningkat, sehingga roadmap ini harus dibentuk,” katanya.
Kemenkes juga melakukan pelatihan bagi pelatih (TOT) tentang kanker anak. Tim puskesmas atau rumah sakit nanti diwajibkan untuk mengirim dokter umum atau dokter spesialis anak, bidan, serta perawat untuk dilatih. Kegiatan ini dilakukan di 17 provinsi.
Subuh mengatakan jika sebelumnya kanker anak belum menjadi fokus pemerintah. “Diagnosis yang tidak mudah untuk deteksi kanker anak menjadi salah satu alasannya,” ujarnya. Namun, setelah terbentuknya peta panduan ini diharapkan kesadaran masyarakat akan kanker anak semakin meningkat.
Sebelumnya, kanker anak belum menjadi fokus pemerintah. Diagnosis yang tidak mudah untuk deteksi kanker anak menjadi salah satu alasannya.
Gejala
Haridini mengatakan, leukemia atau kanker darah merupakan jenis kanker yang paling banyak dijumpai pada anak. Sekitar 70 persen anak penderita kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais mengalami leukemia.
Gejala leukemia antara lain, pendarahan, rendahnya nilai trombosit, demam, dan pucat. Beberapa gejala ini dinilai hampir sama dengan gejala penyakit pada umumnya. Untuk itu, pemeriksaan laboratorium penting untuk dilakukan.
Beberapa jenis kanker lain yang juga banyak dijumpai pada anak adalah limfoma atau kanker pada kelenjar getah bening, retinoblastoma atau kanker pada retina mata, dan osteosarcoma atau kanker tulang.
“Orangtua harus bisa mengenali gejala kanker pada anak sejak dini. Jangan justru takut memeriksakan anaknya dan malah terdeteksi ketika sudah stadium lanjut. Pengobatan dan perawatan awal bisa meningkatkan keberhasilan anak untuk sembuh,” ujarnya. (DD04)