Monumen Pers Nasional, Saksi Bisu Perjuangan Wartawan
Kedatangan siswa-siswi kelas IV dan V Sekolah Dasar Negeri Bromantakan 56 Solo memecahkan kesunyian gedung Monumen Pers Nasional di Solo, Jawa Tengah, Jumat (9/2) pagi. Mereka begitu antusias melihat koleksi benda-benda pers bersejarah.
Mereka berpindah-pindah mengamati koleksi satu ke koleksi lainnya seraya saling berbicara di antara mereka. Sejumlah siswa membuka-buka buku panduan pengunjung untuk mengetahui sejarah benda-benda yang mereka lihat.
”Baru kali ini masuk. Isinya (Monumen Pers Nasional) ternyata bagus seperti museum,” ujar Dion Putra (11), siswa kelas V SDN Bromantakan 56 Solo. Sekolah yang berjarak tak sampai 1 kilometer dari Monumen Pers Nasional hari itu mengadakan kegiatan luar kelas.
Dion mengaku tertarik melihat diorama perkembangan pers Indonesia serta melihat mesin-mesin tik kuno.
Seumur hidupnya, ia mengaku belum pernah melihat mesin tik seperti itu. Mengetik dengan layar sentuh digital lebih familiar baginya.
”Ternyata dulu untuk nulis di koran pakai mesin itu,” ujarnya.
Rahmad Karyadi, guru SDN Bromantakan 56 Solo, mengatakan, kunjungan 70 siswa kelas IV dan V ini dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional (HPN).
Bertepatan dengan momentum itu, sekolah ingin mengenalkan seputar dunia pers kepada siswa-siswi.
”Anak-anak diajak ke Monumen Pers Nasional untuk mengenalkan sejarah kewartawanan, sejarah media massa, dan alat-alat pers yang dipakai para wartawan,” katanya.
Rahmad mengatakan, meskipun masih duduk di bangku kelas IV dan IV, siswa-siswi sudah tahu tentang surat kabar atau koran. Akan tetapi, mereka belum tahu berbagai hal di balik penulisan berita di koran, sejarah lahirnya HPN, atau sejarah terbitnya koran di Indonesia.
”Kami merasa perlu mengenalkan dunia pers itu kepada anak-anak supaya menambah wawasan mereka, apalagi Monumen Pers Nasional dekat lokasinya,” ujarnya.
Gedung Monumen Pers Nasional terletak persis di pojok perempatan Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro. Gedung ini sebelumnya bernama gedung Sasana Soeka atau Societeit Mangkunegaran.
Kami merasa perlu mengenalkan dunia pers kepada anak-anak supaya menambah wawasan mereka.
Dulu orang Solo menyebut kawasan seputar gedung Sasana Soeka dengan kata ”Ngesus”. Belakangan nama itu sudah tidak populer seiring waktu berganti nama menjadi Monumen Pers Nasional.
Semula Sasana Soeka didirikan Mangkunegara VII, pemimpin Kadipaten Mangkunegaran, pada 21 Desember 1918. Awalnya, Sasana Soeka dipakai sebagai gedung pertemuan bagi para kerabat Mangkunegara. Letak gedung ini memang tidak jauh dari Istana Mangkunegaran, kurang dari 1 kilometer jaraknya.
Gedung yang dirancang arsitek asal Semarang, Mas Abukasan Atmodirono, ini cukup mencolok karena wujud bangunan bergaya seperti candi.
Kontras dengan bangunan di sekitarnya, gedung juga bercat seperti batu candi. Tulisan Monumen Pers Nasional berwarna emas terpasang di bagian atas.
Setelah hampir 28 tahun gedung dibangun, seperti tertuang dalam buku panduan Monumen Pers Nasional, di gedung Sasana Soeka digelar konferensi wartawan seluruh Jawa pada 9 Februari 1946. Ini menjadi cikal-bakal berdirinya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia.
Persis empat windu setelah pertemuan itu, Presiden Soeharto meresmikan Sasana Soeka menjadi Monumen Pers Nasional.
Koleksi monumen pers didominasi bukti terbit media, dari zaman Belanda sampai saat ini.
”Monumen Pers Nasional banyak dikunjungi pelajar SD, SMP, SMA, dan mahasiswa yang ingin mengenal dan belajar berbagai hal tentang pers nasional,” ujar Kepala Seksi Pelayanan Informasi Monumen Pers Nasional Andi Prabowo, Jumat.
Andi mengatakan, jumlah pengunjung Monumen Pers Nasional setiap tahun lebih kurang 15.000-20.000 orang. Sebagian besar pengunjung adalah kalangan pelajar dan mahasiswa, baik yang datang sendiri-sendiri maupun berombongan, dari sejumlah daerah.
Mereka umumnya melihat koleksi benda bersejarah, mengunjungi perpustakaan, dan membaca koleksi surat kabar di ruang dokumentasi. ”Koleksi monumen pers didominasi bukti terbit media, dari zaman Belanda sampai saat ini,” katanya.
Koleksi surat kabar kuno yang dipamerkan antara lain ada yang berbahasa Belanda Bataviaasch Nieuwsblad, De Locomotief, Dagblad Voor Zuid-Sumatra. Selain itu, koran berbahasa Indonesia antara lain Kebangoenan dan majalah Soeloeh Ra’jat Indonesia.
”Ada ratusan koleksi surat kabar dan majalah kuno. Agar awet, kami melakukan digitalisasi. Pengunjung dapat melihat koleksi itu dalam wujud digital,” katanya.
Tak hanya produk surat kabar lama, Monumen Pers Nasional juga mengoleksi surat kabar terbitan baru dari sejumlah daerah. Selain itu, tersimpan juga peralatan kerja para wartawan dan tokoh-tokoh perintis pers nasional.
Monumen Pers Nasional juga mengoleksi surat kabar terbitan baru dari sejumlah daerah.
Salah satunya, mesin tik milik Bakrie Soeriaatmadja. Bakrie adalah pemimpin redaksi surat kabar berbahasa Sunda, Sipatahoenan.
Bakrie kerap menulis persidangan Soekarno di pengadilan kolonial Bandung. Karena kekritisannya, menulis penangkapan Soekarno, Belanda sempat menjebloskannya ke penjara.
Patung Bakrie dari dada sampai kepala menghiasai aula Monumen Pers Nasional bersama 10 tokoh perintis pers lain, yakni Soetopo Wonobojo (pemimpin harian Boedi Oetomo), RM Bintarti, Abdul Rivai, GSSJ Ratulangie, RM Tirto Adhi Soerjo, Danudirdja Setiabudi (EFE Douwes Dekker) yang mengawali karier jurnalistik sebagai reporter Batavia Nieuwsblad, Djamaludin Adinegoro, RM Soedarjo Tjokrosisworo, dan Raden Aria taher Tjindarbumi.
Sementara itu, di ruang pamer koleksi di sisi selatan aula, dipamerkan foto-foto dan tanda jasa Mochtar Lubis. Di situ dijelaskan, sebelum memimpin redaksi harian Indonesia Raya, Mochtar Lubis lebih dulu bergabung dengan kantor berita Antara.
Sebelum di kantor berita Antara, Mochtar Lubis pernah bekerja sebagai anggota tim yang memonitor siaran radio sekutu di luar negeri pada masa pendudukan Jepang.
Di pojok ruangan, baju wartawan perang senior TVRI, Hendro Subroto, yang dipamerkan di sebuah kotak kaca cukup menyita perhatian.
Hendro kerap meliput konflik bersenjata, di antaranya penumpasan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar di Sulawei Tenggara.
Namun, ia tidak melulu meliput konflik. Ia juga pernah meliput operasi kemanusiaan di Irian Barat tahun 1979. Ia menderita luka-luka saat meliput pertempuran di Timor-Timur.
Di dalam ruang pamer lain tersimpan perangkat kerja wartawan harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin. Udin meninggal tahun 1996 karena dianiaya orang tidak dikenal.
Koleksi surat kabar lawas dan berbagai peralatan kerja pers menjadi saksi bisu perjuangan wartawan.
Koleksi surat kabar lawas dan berbagai peralatan kerja pers menjadi saksi bisu perjuangan wartawan.
Melalui foto, tulisan, dan berita telivisi mereka menyampaikan fakta kepada publik sekaligus mengabadikan sejarah bangsa Indonesia dari masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, hingga pascakemerdekaan.
Andi mengatakan, melalui karya-karya jurnalistik, pelajar, dan mahasiswa, masyarakat dapat melihat sejarah dari sudut pandang yang berbeda.
”Media merekam peristiwa bersejarah. Dari situ, kita bisa belajar sejarah dari media. Dari media, kita akan melihat sejarah dari sudut pandang yang berbeda,” katanya.