Ada yang salah dalam sistem hukum terhadap kasus narkoba di Indonesia. Bukannya jera, para tahanan dan narapidana justru mengendalikan peredaran narkoba setelah dijebloskan ke penjara. Lebih ironis, penanganan kasus narkoba menjadi lahan basah oknum aparat untuk memperkaya diri.
Data Kementerian Hukum dan HAM menunjukkan, sampai Januari 2018, jumlah tahanan dan narapidana adalah 234.902 orang. Dari jumlah tersebut, 82.025 adalah tahanan dan narapidana kasus narkoba. Perinciannya, 55.420 orang masuk kategori bandar atau pengedar, dan 26.605 orang masuk kategori pengguna. Jumlah pengedar yang lebih banyak daripada pembeli adalah anomali.
Staf Menteri Hukum dan HAM Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi Haru Tamtomo dalam seminar yang digelar Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI), Selasa (13/2) di gedung BNN, Cawang, Jakarta, mengungkapkan, hampir sepertiga isi lapas adalah bandar dan pengguna narkoba.
”Mengirim semua yang terlibat dalam kasus narkoba ke penjara sama saja mengumpulkan pembeli dan penjual (narkoba). Fokusnya mau membina, atau membinasakan. Masyarakat memandang semua kasus narkoba harus dihukum, padahal tidak semua harus dihukum,” ujarnya.
Dalam seminar tersebut dipaparkan, proses penegakan hukum dalam kasus narkoba malah menguntungkan oknum aparat karena menjadi lahan pungli.
PKNI melakukan studi tentang dampak perang terhadap narkoba di Indonesia tahun 2016. PKNI mewawancarai pengguna narkoba ataupun keluarganya di Medan, Mataram, dan Jakarta. Mereka mengakui maraknya pungli di balik upaya pemberantasan narkoba.
Koordinator Nasional PKNI Edo Agustian membenarkan hasil studi tahun 2016 tersebut. ”Mengenai jumlah (uang) setiap rutan, lapas, dan kasus berbeda. Namun, praktiknya masih ada (sampai sekarang),” kata Edo.
Penelitian tersebut menyebutkan, ada sembilan jenis biaya yang harus ditanggung pengguna ataupun keluarga pengguna. Biaya itu antara lain biaya penyelesaian kasus di tempat atau suap sebesar Rp 5 juta sampai Rp 100 juta sesuai besarnya barang bukti, kemampuan ekonomi, dan wilayah tangkapan. Bahkan, ada biaya kunjungan selama ditahan (Rp 300.000-Rp 2 juta).
Ada lagi biaya penyelesaian kasus yang besarnya Rp 50 juta-Rp 500 juta bergantung pada besarnya barang bukti dan kemampuan ekonomi. Diselesaikan berarti bisa dibebaskan, pasal diringankan, dan biaya asesmen.
Biaya asesmen dan rehabilitasi juga ditanggung pengguna dan keluarganya yang besarnya bisa mencapai puluhan juta. Ketika perkara sudah dilimpahkan kepada kejaksaan dan pengadilan, juga ada pungli yang jumlahnya mencapai puluhan juta untuk meringankan hukuman. Bahkan ketika yang bersangkutan sudah di dalam penjara pun, ada pungli untuk perawatan dan mempercepat pembebasan bersyarat.
Choky Ramadhan, Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI (Mappi FHUI) berpendapat, menghukum pengedar ataupun pengguna narkoba dengan hukuman seberat apa pun tidak signifikan menurunkan angka peredaran narkoba. Hukuman hanya membuat masyarakat merasa lega, aman, dan tenang.
”Menghukum pengguna narkoba secara filosofi adalah salah total. Apanya yang dihukum? Apa karena statusnya pencandu, padahal pencandu harus dibantu, bukan dipenjara,” katanya.
Menurut Choky, penjara tidak menyiapkan para narapidana narkoba kembali ke tengah masyarakat. Penjara hanya berhasil untuk sementara, tapi selepas dari penjara ada kecenderungan mengulangi perbuatannya.
Namun, Choky sependapat apabila hukuman berat ditujukan kepada bandar dan produsen narkoba. Hukuman untuk para bandar akan lebih tepat jika dijerat dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sehingga seluruh asetnya bisa disita. Saat ini sangat jarang kasus narkoba yang menggunakan Undang-Undang TPPU.
Choky menyoroti Pasal 111 dan 112 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk menjerat para pengguna narkoba. Pasal itu sangat lentur yang menyebabkan penjara penuh narapidana yang divonis sebagai pengedar narkoba, padahal barang bukti sangat sedikit.
”Pasal itu menyebut barang siapa memiliki, menyimpan, menguasai bisa dianggap sebagai pengedar. Orang yang punya selinting (ganja) atau lima butir (obat berbahaya) kalau tertangkap bisa kena pasal itu. Makanya, jumlah pengedar lebih banyak di penjara. Tidak masuk akal, penjual lebih banyak dari pembeli,” katanya.