Belanja Daring Jadi Kegiatan Rekreasional Kaum Ibu
JAKARTA, KOMPAS — Belanja daring dapat menjadi sebuah kegiatan rekreasional bagi ibu di Indonesia. Kegiatan tersebut dapat memberikan dampak positif karena menjadi seorang ibu rentan dengan stres akibat kelelahan fisik, emosi, dan mental.
Dalam survei yang dilakukan secara daring oleh TheAsianparent pada Desember 2017, 1.093 ibu berusia 20-40 tahun membeli barang melalui platform e-dagang agar lebih hemat waktu dan tenaga. Mereka tidak perlu mampir ke toko dan memilih-milih barang.
Survei dilakukan di beberapa kota besar, di antaranya Jakarta, Surabaya, dan Medan, kepada keluarga yang memiliki pendapatan di atas Rp 3 juta per bulan. Kegiatan berbelanja rata-rata mulai dilakukan pada pukul 19.00 ke atas.
Nadya Pramesrani, psikolog dari Rumah Dandelion, menyatakan, tren belanja secara daring menjadi sebuah kewajaran dalam era digital saat ini. Namun, survei tersebut juga menunjukkan, belanja daring adalah cara ibu untuk memiliki waktu santai sejenak.
”Kegiatan tersebut membantu mereka tetap sehat secara mental dan dapat memberikan lingkungan positif bagi orang di sekitarnya,” ujarnya, dalam konferensi pers berjudul Indonesian Moms & Online Shoppingoleh TheAsianparentdi Jakarta, Rabu (14/2).
TheAsianparent adalah situs yang memuat konten dan meneliti tentang pengasuhan anak yang dijalankan oleh Tickled Media Singapura.
Ia melanjutkan, ibu telah sibuk mengurus rumah tangga seharian. Mereka memiliki waktu yang sedikit untuk bersenang-senang. Belanja secara daring memberikan waktu kepada ibu untuk memiliki waktu luang sendiri.
Belanja secara daring memberikan waktu kepada ibu untuk memiliki waktu luang sendiri.
Mereka akan merasa senang ketika mencari barang secara cepat dan puas saat menemukan barang bagus dengan harga murah.
Kesehatan mental seorang ibu memengaruhi kualitas hubungannya dengan keluarga. Nadya menilai, hubungan semakin baik ketika barang yang dibeli memberi manfaat besar bagi hubungan dengan penerima, seperti anak.
Menurut Nadya, menjadi seorang ibu adalah peran yang membuatnya peduli dengan orang lain. Peran tersebut masuk dalam kategori pekerjaan yang memberi pelayanan jasa kepada sesama manusia, seperti dokter, psikolog, dan konselor.
Dalam buku The Resilient Practitioner: Burnout and Compassion Fatigue Prevention and Self-care strategies for the Helping Professions yang ditulis Thomas M Skovholt dan Michelle Trotter-Mathison tahun 2016, pekerjaan dalam bidang jasa membuat pelaku rentan dengan stres akibat ketegangan di antara konteks memberi dan menerima bagi orang lain dan diri sendiri.
Pelaku kelelahan jika terus memberi pelayanan kepada orang lain. Namun, di saat yang bersamaan merasa bersalah ketika menolak.
Menjadi seorang ibu berbeda dengan pekerja kantoran karena tidak memiliki waktu istirahat dan waktu kerja.
”Ibu adalah kaum yang masuk dalam kategori itu dan memiliki risiko besar mengalami burnout,” kata Nadya. Burnout adalah sebuah kondisi di mana seseorang mengalami kelelahan luar biasa dalam segi fisik, mental, dan emosi.
Menjadi seorang ibu berbeda dengan pekerja kantoran karena tidak memiliki waktu istirahat dan waktu kerja.
Country Manager TheAsianparent Indonesia Pangestu Hadi Kurniadi mengatakan, survei juga menemukan, 98 persen koresponden mengatakan mereka adalah pengambil keputusan utama dalam anggaran belanja rumah tangga. Ibu-ibu Indonesia 78 persen membeli baju anak dan 61 persen membeli produk bayi atau anak.
Mereka kebanyakan berbelanja melalui platform e-dagang, seperti Shopee 73 persen, Tokopedia 54 persen, dan Lazada 51 persen. Instagram menjadi media sosial favorit mereka berbelanja, yaitu 50 persen.
Hati-hati
Nadya menambahkan, ibu harus berhati-hati agar tidak terjerumus dalam pola hidup hedonisme. Apalagi, hasil survei menunjukkan, mereka gemar berbelanja daring akibat faktor kemudahan dalam bertransaksi. Sebanyak 41 persen responden membayar transaksi melalui telepon seluler.
Survei juga menemukan, ibu-ibu berbelanja daring lebih dari 2-3 kali per bulan. Sebanyak 6 dari 10 ibu menghabiskan rata-rata Rp 100.000-Rp 300.000.
Dengan minimal pendapatan Rp 3 juta dan biaya belanja tertinggi Rp 300.000, hal ini berarti mereka dapat menghabiskan 10 persen penghasilan untuk belanja daring.
Kaum ibu harus mampu mengontrol karena merupakan manajer keuangan rumah tangga.
”Mereka harus mampu mengontrol karena merupakan manajer keuangan rumah tangga. Apalagi, platform e-dagang menargetkan perempuan sebagai target pasar utama,” kata Nadya.
Sebanyak 94 persen responden membeli setelah melihat rekomendasi daring dan 28 persen membeli setelah melihat ulasan situs parenting. Dampak negatif berbelanja adalah penyesalan ketika kegiatan dilakukan secara impulsif. Hal tersebut akan berdampak buruk terhadap kesehatan mental mereka.
Menurut Nadya, mereka dapat membiasakan diri untuk belanja dalam jumlah yang kecil untuk mencegah terjerumus dalam pola hidup hedonisme. Sekali seorang ibu merasa ragu ketika berbelanja, hal tersebut adalah peringatan alam bawah sadar bahwa kegiatan tersebut telah melebihi batas kewajaran.
Seorang ibu, katanya, dapat memiliki cara lain dalam menjaga kesehatan mental. Sebagai manusia, mereka tetap harus berinteraksi secara sosial dengan orang lain. Interaksi secara langsung memberi manfaat positif yang lebih baik daripada melalui gawai. (DD13)