Apakah Media Digital Membunuh Media Konvensional?
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan dunia digital menggerus hal-hal konvensional dan mengubah cara hidup manusia, termasuk dalam mencari informasi. Lantas, apakah perkembangan media digital justru akan membunuh media konvensional, seperti media cetak dan televisi?
Executive Director Media Business Nielsen Indonesia Hellen Katherina berkeyakinan, kehadiran media digital saat ini sejatinya tidak membunuh media konvensional yang telah ada sebelumnya.
”Tidak ada satu media di dunia ini yang hadir untuk membunuh media lainnya,” ujar Hellen pada paparan bertajuk ”Digital Consumer Trends and On-Target Audience Accuracy on Digital Ads” di kantor Nielsen Indonesia, Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (14/2).
Hellen berpendapat, kedatangan media digital itu sebetulnya hanya menambah jenis media di ekosistem industri media yang sudah lebih dulu dihuni media konvensional, seperti media cetak (koran, majalah, tabloid) dan elektronik (radio dan televisi).
”Ketika televisi ditemukan, banyak yang akan menyatakan radio akan punah. Toh, nyatanya sampai hari ini radio tetap ada dan bertahan, kan?” ujar Hellen.
Berdasarkan riset Nielsen sepanjang 2017 yang dirilis Rabu (14/2), media konvensional seperti televisi masih menempati posisi teratas sebagai jenis media yang paling sering dikonsumsi per hari dari berbagai generasi, mulai dari baby boomers sampai generasi Z.
Dari seluruh responden baby boomers (audiens berusia 50-64 tahun), 95 persen menonton televisi dalam sehari. Adapun radio didengarkan 32 persen, internet diakses hanya 9 persen, media cetak 7 persen, dan televisi berbayar 4 persen.
Televisi juga menjadi jenis media di posisi teratas yang dipilih generasi X (35-49 tahun) dengan 97 persen. Serupa dengan generasi baby boomers, radio juga menjadi jenis media terbanyak kedua yang dikonsumsi generasi X, yakni 37 persen. Adapun di belakang televisi dan radio ada internet 33 persen, media cetak 11 persen, dan televisi berbayar 10 persen.
Hal berbeda ditemukan di generasi milenial/generasi Y (20-34 tahun). Meski televisi masih menduduki peringkat pertama yang dikonsumsi, yakni 96 persen, peringkat kedua jenis media yang dikonsumsi adalah internet dengan 58 persen. Adapun radio hanya didengarkan 35 persen responden, televisi berbayar sebanyak 9 persen, dan media cetak 9 persen.
Serupa dengan generasi milenial, generasi Z (10-19 tahun) juga menempatkan televisi di posisi pertama dengan 97 persen dan internet di peringkat kedua. Sementara itu, media lainnya seperti radio didengarkan 33 persen, televisi berbayar sebanyak 7 persen, dan media cetak 4 persen.
Merujuk pada hasil riset ini, lanjut Hellen, dapat disimpulkan bahwa media konvensional (diwakili televisi) masih di posisi teratas sebagai jenis yang paling banyak dikonsumsi. Media digital (portal berita daring) nyatanya belum jadi media terbanyak yang dikonsumsi audiens oleh semua generasi.
”Meski tingkat kesukaannya tinggi di generasi Y dan generasi Z, media digital bahkan belum menjadi media teratas di dua generasi yang lebih familiar dengan digitalisasi teknologi,” ujar Hellen.
Media konvensional seperti televisi, radio, koran, dan majalah/tabloid tetap bertahan di tengah derasnya penetrasi media digital/internet. Hal ini tecermin dari masih tingginya frekuensi konsumsi audiens terhadap media-media konvensional tersebut.
Berdasarkan riset Nielsen, pada kuartal IV-2014, rata-rata warga Indonesia dapat menyaksikan televisi selama 4 jam 56 menit. Tiga tahun kemudian atau pada kuartal IV-2017, durasi menyaksikan televisi itu tidak berubah banyak, yakni 4 jam 51 menit.
Hal serupa terjadi pada frekuensi konsumsi audiens terhadap koran. Pada kuartal IV-2014, rata-rata warga Indonesia membaca koran selama 31 menit. Tiga tahun kemudian jumlah itu tidak berubah.
Senada dengan televisi dan koran, lama mendengarkan radio rata-rata warga Indonesia pun masih bertahan di 2 jam 11 menit, hanya turun sedikit dibandingkan tiga tahun lalu yang selama 2 jam 28 menit.
”Pembaca koran itu memiliki hobi membaca, sedangkan pendengar radio itu juga hobi mendengarkan musik. Audiens dengan hobi itu akan selalu ada, maka saya juga berkeyakinan, media konvensional tidak akan punah,” tutur Hellen.
Riset Nielsen ini dilakukan pada Januari-Oktober 2017 dengan dua metode survei, yakni dengan metode Consumer Media View dan Digital Ad Rating.
Consumer Media View adalah metode lama yang digunakan Nielsen sejak 1976 dengan mewawancarai secara tatap muka lebih kurang 17.000 responden di 11 kota besar di Indonesia yang apabila ditotal seluruh penduduknya mencapai 53,3 juta orang. Adapun data yang diambil beragam, seperti data demografi, penggunaan media, psikografis, kebiasaan berbelanja, dan 200 kategori pertanyaan data lainnya.
Sementara Digital Ad Rating adalah metode pencarian data di dunia digital untuk melihat besarnya paparan informasi di media digital terhadap audiens. Nielsen bekerja sama dengan Facebook untuk melihat kecenderungan menggunakan media digital dan mencocokkan sampel dengan kebiasaan mereka di dunia nyata.
Memperluas jangkauan
Hellen mengatakan, alih-alih membunuh media konvensional, kedatangan media digital justru memperluas jangkauan audiens perusahaan media. Dengan kehadiran media digital, perusahaan media bisa menjangkau audiens yang lebih muda. Hal ini adalah sesuatu yang tidak berhasil dijalankan media konvensional.
Mengambil contoh dari harian Kompas dengan Kompas.com misalnya. Keberadaan Kompas.com lebih menjangkau audiens di usia lebih muda dibandingkan koran Kompas.
Berdasarkan riset Nielsen, porsi terbesar pembaca koran Kompas adalah audiens berusia di atas 35 tahun dengan 58 persen dari total pembaca. Sisanya sebanyak 42 persen adalah audiens di bawah 35 tahun.
Sementara itu, porsi terbesar pembaca Kompas.com adalah audiens berusia 35 tahun ke bawah, sebanyak 73 persen. Sisanya 27 persen dibaca oleh audiens berusia 35 tahun ke atas.
Hal serupa terjadi di Emtek Group yang memiliki media konvensional TV seperti Indosiar dan SCTV serta media digital seperti bola.com dan bintang.com.
”Kesimpulannya, media digital itu justru memperluas jangkauan perusahaan media kepada segmen audiens yang berusia lebih muda,” lanjut Hellen.
Kredibilitas
Terlepas dari perhitungan matematis soal jumlah audiens yang dipaparkan riset Nielsen, terdapat kondisi riil sosial di masyarakat yang tidak bisa diukur dengan hasil riset bisnis semata. Dengan berkembangnya teknologi, semakin mudah pula arus informasi tersebar dan menimbulkan tsunami informasi bahkan hoaks dan berita palsu begitu mudah menyebar ke mana-mana. Hal ini justru menjadi peluang dan kesempatan media konvensional bisa meraih simpati publik.
Direktur Indonesia New Media Watch Agus Sudibyo mengatakan, semakin derasnya arus hoaks di media sosial justru menunjukkan masyarakat masih butuh pers yang profesional dan beretika. Mempertahankan eksistensi pers atau media massa konvensional di sini menjadi strategis dalam konteks demokratisasi dan perwujudan ruang publik yang beradab.
”Semakin derasnya arus hoaks di medsos justru menunjukkan bahwa masyarakat masih butuh pers yang profesional dan beretika. Hoaks mesti dilawan dengan informasi yang benar, proporsional, dan bertanggung jawab,” ujar Agus.
Dengan kondisi sosial seperti itu saat ini dan kerinduan akan munculnya media yang memberikan informasi secara akurat dan kredibel, sedikit menepis ramalan kiamat media cetak seperti yang ditulis profesor emeritus jurnalistik University of North Carolina, Philip Meyer, dalam buku The Vanishing Newspaper (2006).
Meski demikian, apabila media konvensional tidak berbenah, bukan tidak mungkin ramalan Meyer bisa jadi kenyataan.
Hellen mengatakan, tutupnya beberapa media cetak, baik dalam maupun luar negeri, tidak serta-merta karena munculnya media digital. Banyak faktor yang turut memengaruhi lama hidup sebuah media.
”Misalkan ada media cetak di Indonesia dengan lisensi waralaba dunia. Bisa saja harga lisensinya bertambah mahal karena melemahnya kurs rupiah dibanding dollar,” ucap Hellen.
”Pada akhirnya, manajemen media konvensional harus terus senantiasa melihat kondisi dunia serta harus terus berinovasi,” lanjut Hellen.