Mgr Suharyo: Toleransi Saja Tidak Cukup, Perlu Saling Memahami dan Menghargai
Oleh
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyikapi peristiwa intoleransi yang terjadi saat ini, Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo menyampaikan, sikap toleran saja tidak cukup. Masyarakat perlu lebih memperkuat semangat saling memahami dan menghargai satu sama lain.
Mgr Suharyo, saat ditemui di Jakarta, Senin (12/2), mengatakan, bangsa Indonesia perlu berpikir lebih jauh dari sekadar toleransi. Perlu adanya rasa saling mengerti dan memahami bahwa bangsa Indonesia memang berbeda. Toleransi, menurut dia, masih membawa unsur keterpaksaan dalam menerima orang lain.
”Bangsa Indonesia sebaiknya bergerak lebih jauh dari toleransi, yaitu saling memahami dan menghargai. Toleran itu adalah batas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia,” katanya.
Bangsa Indonesia sebaiknya bergerak lebih jauh dari toleransi, yaitu saling memahami dan menghargai. Toleran itu adalah batas minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia.
Berkaca pada sejarah Indonesia, peristiwa Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, dan Proklamasi seharusnya dapat menjadi pedoman dalam keberagaman Indonesia. Mgr Suharyo mengatakan, masyarakat perlu merawat ingatan bersama, yaitu pedoman satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.
Untuk sampai pada semangat saling memahami dan mengerti, Mgr Suharyo menilai masyarakat diajak agar bisa meyakini beberapa hal. Pertama, masyarakat dapat memahami bahwa kebenaran itu bersifat lebih luas dari kebenaran yang diyakininya. Kebenaran diri merupakan sebagian kecil dari kebenaran yang ada.
Kedua, masyarakat juga dituntut lebih dewasa dan menghilangkan emosi diri saat melihat suatu masalah. Saat emosi, pikiran menjadi tidak jernih untuk memahami dan menghargai orang lain.
Ketiga, kata Mgr Suharyo, masyarakat sebaiknya dalam meyakini suatu hal tidak membawa unsur kepentingan politik, ekonomi, dan sosial, terutama agama. Menurut dia, beberapa unsur ini yang sering membawa persoalan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
”Pemahaman ideologi Pancasila juga perlu lebih dikuatkan. Ideologi ini bersifat konsep sehingga harus diterjemahkan menjadi gagasan. Kemudian, dari gagasan itu dilakukan gerakan yang berulang sehingga menjadi sebuah kebiasaan yang dapat mengubah masyarakat menjadi lebih baik,” katanya.
Tidak menambah kegaduhan
Terkait penyerangan di Gereja Katolik Santa Lidwina, Bedog, Kabupaten Sleman, Minggu (11/2) kemarin, Mgr Suharyo menilai peristiwa ini sebaiknya dilihat sebagai tindakan kriminal. Masyarakat perlu menunggu hasil penyelidikan dari kepolisian.
”Masyarakat jangan terbawa arus, jangan langsung menyimpulkan latar belakang masalah ini. Tunggu kejelasan dari polisi. Kalau terbawa arus, kita malah jadi tambah gaduh,” katanya.
Ia menekankan, peristiwa ini bisa menjadi pembelajaran bahwa keamanan warga negara harus lebih ditegakkan, terutama terkait hak warga negara untuk merasa aman.
Masyarakat pun diharapkan tidak mudah terprovokasi akan hal ini. Masalah ini sebaiknya tidak membawa unsur agama. ”Agama itu paling mudah membakar emosi. Padahal, emosi itu bisa dengan mudah menutupi obyektivitas orang untuk saling menghargai dan memahami. Sebaiknya jangan ikut-ikutan terbawa arus dan menambah kegaduhan,” katanya. (DD04)