Lebih Dekat dengan Nasi dan Nagari Kapau
Nasi kapau rajanya kuliner Sumatera Barat. Itu kata sebagian besar orang Minangkabau, lho! Predikat itu sebenarnya tidak berlebihan. Karena kata pepatah, lidah tidak pernah berbohong.
Saking enaknya nasi kapau, para pedagangnya berani mematok harga porsi yang lebih mahal dibandingkan masakan restoran padang umumnya. Namun, harga itu sepadan dengan kenikmatan rasa yang ditawarkan. Karena tidak sembarang orang dapat membuatnya. Hanya maestro kuliner yang mampu meracik dan menyuguhkan nasi kapau bercita rasa tinggi.
Di tangan para seniman peracik bumbu yang sebagian besar kaum perempuan, rasa lauk-pauk yang disajikan di rumah makan nasi kapau memberi tebaran rasa dan tekstur berbeda.
Memang sekilas nasi kapau terlihat sama dengan restoran padang. Misalnya, sama-sama memiliki rendang daging sapi, bermacam jenis gulai, dendeng, dan hidangan lain. Namun, beberapa jenis masakan lain memberikan ciri khas yang membedakan.
Misalnya gulai sayur campuran kol, rebung, dan kacang panjang. Hanya rumah makan nasi kapau yang menyediakan gulai campuran sayur itu. Tidak ada di restoran padang biasa. Hidangan lainnya adalah gulai ikan rayo batalua (ikan air tawar yang berisi telur ikan) dan rendang ayam/itik.
Secara umum rendang padang dan kapau sama-sama berasal dari bahan daging sapi yang diolah menggunakan santan kelapa berbumbu dan dimasak sampai kering. Karena dipanaskan dalam waktu lama, daging rendang terlihat menghitam di bagian luar.
Namun, pada nasi kapau, daging di bagian dalam tidak pernah hangus. Teksturnya juga utuh. Kuah kental yang berubah menjadi dedak (serbuk) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari rendang tidak lengket dan rasanya sangat gurih. Perbedaan tekstur dan rasa itu disebabkan proses pembuatan yang memakan waktu lebih panjang. Rendang kapau pun masih mempertahankan tradisi menggunakan bahan-bahan dan bumbu lokal.
Perbedaan rasa itu tentu tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Namun, begitu makanan masuk ke mulut, lidah pasti akan mengecap sesuatu yang lain dari biasa.
Masakan nasi kapau mengeluarkan aroma wangi. Aroma itu juga sangat khas. Pencinta kuliner sejati akan mampu membedakan masakan nasi kapau di tengah-tengah hidangan nasi padang.
Masakan nasi kapau mengeluarkan aroma wangi. Aroma itu juga sangat khas. Pencinta kuliner sejati akan mampu membedakan masakan nasi kapau di tengah-tengah hidangan nasi padang.
Kalau ditanya di mana dapat mencicipi hidangan nasi kapau sesungguhnya, datanglah ke Bukittinggi, Sumatera Barat. Ada beberapa lokasi yang patut dicoba, misalnya Restoran Uni Cah di Kapeh Panji, Uni Lis di Pasar Atas, atau Uni Er di Los Lambuang, Pasar Bawah Bukittinggi.
Rasa di tiga rumah makan nasi kapau itu hanya ada dua. Enak dan sangat enak.
Namun, membicarakan kelezatan hidangan nasi kapau tentunya kurang lengkap tanpa mengetahui asal muasalnya. Resep nasi kapau berasal dari sebuah desa yang bernama Nagari Kapau di Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam. Jaraknya berkisar 5 kilometer dari Bukittinggi.
Luas nagari itu terbilang kecil. Menurut Wali Nagari Kapau Zulkarnaini, wilayah administrasinya hanya 524 hektar.
Dari areal lahan yang tidak terlalu luas tersebut, hampir setengahnya lahan persawahan. Di beberapa lokasi, pemandangan sawah sangat indah karena berlatar gunung . Para petani bertanam padi lokal, varitas kurek kusuik, yang terbukti paling cocok ditanam disana.
”Padi ini tahan wereng dan tidak memerlukan perlakuan khusus dalam bertanam. Rasanya juga enak,” kata Zulkarnaini.
Masyarakat kapau dan sekitar Bukittinggi sangat bangga dengan padi jenis lokal itu. Bahkan, menurut Rozita Rossie (47), warga Bukittinggi yang sudah bermukim di Pekanbaru belasan tahun, beras kurek kusuik lebih enak daripada beras solok yang lebih terkenal.
”Kalau lagi panen, saya selalu meminta kiriman beras kurek kusuik dari kampung,” kata Rozita.
Nagari Kapau yang memiliki sembilan suku masih mempertahankan adat istiadat yang cukup kental. Harta pusaka, seperti tanah, adalah milik komunitas adat atau keluarga. Tidak ada yang memiliki tanah secara pribadi.
Menurut Zulkarnaini, tidak seorang pun penduduk nagari itu yang memiliki sertifikat kepemilikan tanah. ”Kalau pemerintah mewajibkan sertifikat tanah, di sini warga diwajibkan tidak memiliki sertifikat. Tanah nagari ini tidak boleh dijual kepada orang luar. Tanah hanya dapat dijual kepada anak perempuan dari garis keturunan ibu,” kata Zulkarnaini.
Zulkarnaini mengatakan, penduduk yang bermukim di nagari itu berjumlah 3.800 jiwa. Namun, warga yang merantau berjumlah dua kali lebih banyak. Atau, dua pertiga warga Kapau merupakan perantau.
Sebagian warga Kapau perantau masih berada di sekililing Sumatera Barat, misalnya di Bukittinggi atau Padang. Bagian lainnya berada di Jakarta, Medan, Pekanbaru, sampai ke Makassar.
Ratusan tahun lalu, penduduk asli Kapau berasal dari Nagari Koto Tinggi yang sekarang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Baso, Kabupaten Agam. Namun, uniknya, di Koto Tinggi sendiri tidak memiliki masakan yang sama seperti di Kapau.
Artinya, resep masakan itu tidak diturunkan dari nenek moyang asal Koto Tinggi. Dipercaya, ramuan masakan yang ada sekarang ini murni racikan warganya setelah berada di Kapau.
Ayang, salah seorang penduduk Kapau, mengatakan, hampir semua perempuan di nagari itu mengetahui resep masakan peninggalan nenek moyangnya. Resep itu tidak diturunkan lewat pendidikan formal, tetapi diturunkan oleh keluarga, misalnya dari nenek kepada ibu, lalu dari ibu turun kepada anaknya.
Yang membedakan masakan Kapau dengan hidangan dari daerah lainnya adalah kesungguhan juru masaknya. Praktisi kuliner Kapau selalu memasak dengan hati dan cinta terhadap makanan.
”Hampir semua perempuan di sini dapat memasak nasi kapau. Saya juga bisa. Namun, tentu saja, rasanya berbeda daripada yang dijual di rumah makan,” kata Ayang.
Menurut Ayang, yang membedakan masakan Kapau dengan hidangan dari daerah lainnya adalah kesungguhan juru masaknya. Praktisi kuliner Kapau selalu memasak dengan hati dan cinta terhadap makanan.
”Masakan Kapau selalu menggunakan bumbu-bumbu asli lokal. Yang paling dominan adalah bawang putih dan cabai lokal. Kami jarang sekali menggunakan merica. Selain itu, kami juga masih konsisten memasak dengan menggunakan kayu bakar sampai saat ini,” kata Ayang.
Menurut Uni (kakak) Cah yang bernama asli Nafsah (63), pemilik restoran Nasi Kapau Uni Cah di Kapeh Panji, Bukittinggi, pada zaman dahulu, para pedagang nasi kapau menjajakan makanan dengan cara berkeliling di pasar. Seluruh lauk diletakkan dalam wadah seperti tampah yang disebut pakuteh dan dijunjung di atas kepala.
”Dari cerita nenek saya, dahulu pasar Bukittinggi masih sepi. Tidak banyak orang yang berjualan dan berbelanja. Pedagang nasi kapau berjualan menjajakan makanan berkeliling, menggunakan piring loyang yang terbuat dari seng. Minumnya pakai cangkir yang terbuat dari tempurung kelapa. Air yang disajikan adalah rebusan kawa daun,” kata Uni Cah.
Satu yang tidak berubah, nasi kapau tetaplah menyuguhkan masakan yang membuat ketagihan. Ingat Minangkabau pasti teringat nasi kapau.
Semakin lama, pasar semakin ramai dan pedagang nasi kapau mulai menetap dan berjualan di kaki lima. Perlahan tapi pasti, penjual nasi kapau awal itu bertransformasi menjadi pemilik usaha kuliner kelas menengah sampai besar.
Namun, satu yang tidak berubah, nasi kapau tetaplah menyuguhkan masakan yang membuat ketagihan. Ingat Minangkabau pasti teringat nasi kapau.