Kepemimpinan yang Kuat Dibutuhkan untuk Cegah Intoleransi
Oleh
Dwi Bayu Radius
·3 menit baca
LEBAK, KOMPAS - Untuk mencegah berulangnya kasus penyerangan di Gereja Santa Lidwina, Daerah Istimewa Yogyakarta, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat. Aparat keamanan, kepala daerah, hingga pemuka agama harus bersikap tegas untuk mencegah teror itu terulang.
Profesor tamu Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Peter BR Carey seusai Pembukaan Museum Multatuli di Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (11/2), mengatakan, kuat tidaknya kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap kekerasan yang berlangsung saat ini.
“Saya beri contoh, pada tahun 1998, Solo (Jawa Tengah) porak poranda karena serangan terhadap warga Tionghoa. Tapi, Yogyakarta aman,” ucapnya. Menurut Carey, Yogyakarta saat itu tetap tenang karena Sultan Hamengku Buwono X berpidato di depan warga.
“Saat itu, Sultan bilang, ‘kita orang Yogyakarta punya harga diri. Punya cara untuk bertindak kepada sesama manusia. Kebiadaban tak boleh dibiarkan’,” ucap Carey. Kepemimpinan yang baik juga dibutuhkan di masjid, gereja, vihara, dan kelenteng.
“Mereka yang punya hak berbicara kepada publik harus menyampaikan pesan dengan benar. Jika menyampaikan pesan yang salah, mereka menghancurkan negara,” katanya. Semua tingkatan masyarakat membutuhkan kepemimpinan yang kuat mulai pemerintah daerah, sekolah, rukun warga, hingga rukun tetangga.
Carey mengatakan, di sekolah, guru harus tahu nilai yang mereka tanamkan kepada muridnya. Ketegasan juga dibutuhkan untuk mencegah kekerasan terulang. “Masyarakat membutuhkan orang yang punya keberanian moral. Polisi harus menindak para pengacau,” ujarnya.
“Penyerangan yang terjadi di Yogyakarta tidak dapat diterima. Itu bukan bagian dari Pancasila. Pelaku harus ditindak tegas,” ujarnya.
Menurut Carey, sentimen terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah modal politik yang dapat menimbulkan kekacauan. “Di Yugoslavia, kondisi itu terjadi ketika masa (Presiden) Slobodan Milosevic. Bagaikan menabur pupuk yang menghancurkan negara,” ujarnya.
Periset Museum Multatuli Bonnie Triyana mengatakan, penyerangan yang terjadi di Gereja Santa Lidwina tak mungkin terjadi seketika. “Kita harus mendalami lebih jauh, salah satunya mengenai paham radikalisme. Penyerangan itu dicetuskan karena intoleransi yang radikal,” katanya.
Bonnie yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Historia itu mengatakan, teror tak hanya terjadi belakangan ini. Pada tahun 1985 misalnya Candi Borobudur dibom. “Tapi, jumlahnya memang terus meningkat dan terekspos semakin luas sehingga kita tertarik dengan peristiwa itu,” ucapnya.
Penyerangan juga dipicu adanya kelompok yang membenarkan tindakan itu. Potensi teror tersebut dapat ditekan dengan edukasi bahwa penyerangan yang mengatasnamakan keyakinan tak dapat dibenarkan. Semakin banyak kalangan yang melegitimasi, tindakan itu akan semakin marak.
“Persoalannya bukan bentuk tindakan dan jumlahnya. Tapi, sejauh mana kalangan yang membenarkan itu semakin banyak,” ujarnya. Kekerasan yang mengatasnamakan agama dan Tuhan tidak bisa dibenarkan. Pencegahan harus dilakukan dengan pendidikan. Pola pikir mereka yang membenarkan teror harus diubah.
“Bangsa Indonesia bukan terdiri dari satu agama. Bukan atas pertimbangan statistik, mana golongan yang paling besar,” ujarnya. Indonesia dapat berdiri karena semua kelompok bekerja sama untuk mewujudkan negara yang adil. Pengakuan setiap individu dilakukan karena kualitasnya.
“Kalau itu diajarkan kepada setiap orang, seharusnya teror di Yogyakarta tak terjadi. Pecegahan teror dapat dlakukan dengan pendidikan,” katanya.