Waspadai Gangguan Keamanan dengan Memecah Belah Umat Beragama
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setara Institute mengecam seluruh kebiadaban yang sarat dengan sentimen keagamaan yang menimpa sejumlah pemimpin agama. Aparat keamanan diminta mewaspadai dan mencegah pola-pola gangguan keamanan yang menyasar tokoh-tokoh agama dan menggunakan sentimen keagamaan untuk memecah belah umat beragama dan menghancurkan kerukunan di tingkat akar rumput.
Aparat harus menerapkan penegakan hukum yang profesional, terbuka, adil dan tidak memihak. Aparat tidak boleh tunduk terhadap kelompok-kelompok intoleran dalam penegakan hukum itu. Setara berkali-kali mengingatkan, lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus serupa di atas akan mengundang kejahatan lain yang lebih besar,” kata Ketua BP Setara Institute Hendardi dalam siaran persnya, Minggu (11/2) siang.
Setara mengingatkan ulang kepada pemerintah, pemuka agama, dan elite ormas-ormas keagamaan bahwa potret riil kerukunan itu terletak di tingkat akar rumput. ”Kerukunan antarumat beragama tidak cukup hanya dibangun secara simbolik-elitis dalam acara-acara pertemuan antaragama. Potret kerukunan yang riil dapat dilihat dalam relasi antarumat di level bawah, bukan di atas meja rapat dan ruang-ruang seremonial antarpemuka agama,” ujar Hendardi.
Kerukunan antarumat beragama tidak cukup hanya dibangun secara simbolik-elitis dalam acara-acara pertemuan antaragama. Potret kerukunan yang riil dapat dilihat dalam relasi antarumat di level bawah, bukan di atas meja rapat dan ruang-ruang seremonial antarpemuka agama.
Pernyataan Setara ini terkait insiden yang menimpa sejumlah tokoh agama pada saat pemerintah menyelenggarakan Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa pada 8-10 Februari 2018 di Jakarta.
Insiden pertama, persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, pada 7 Februari 2018 dan baru viral pada 9-10 Februari lalu. Insiden kedua, serangan terhadap peribadatan di Gereja Santa Lidwina di Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Minggu, 11 Februari, pada pagi hari yang menyebabkan Romo Karl Prier SJ dan sejumlah umat luka berat akibat sabetan senjata tajam.
Sebelumnya juga terjadi dua serangan brutal terhadap tokoh agama, yaitu ulama, tokoh NU, dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka Bandung, KH Umar Basri pada 27 Januari 2018, dan ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persis HR Prawoto yang dianiaya orang tak dikenal pada Kamis (1/2) hingga nyawanya tak dapat diselamatkan dan meninggal.
Perlu langkah konkret
Menurut Hendardi, Setara Institute mengapresiasi inisiatif pemerintah dan para pemuka agama untuk duduk bersama membangun kesepahaman tentang etika lintas umat demi kerukunan bangsa dan umat beragama.
”Namun, hal itu tentu tidak cukup. Pemerintah, pemuka agama, dan elite organisasi keagamaan harus melakukan tindakan konkret untuk menghentikan persekusi terhadap identitas keagamaan yang berbeda, khususnya atas mereka yang minor, umat agama yang sedikit,” katanya.
Pemerintah, pemuka agama, dan elite ormas keagamaan sesuai otoritas masing-masing hendaknya mencegah dan menghentikan provokasi di ruang-ruang syiar agama yang membangkitkan perasaan tidak aman (insecured), kebencian (hatred), dan kemarahan (anger) yang dapat memicu tindakan main hukum sendiri (vigilante) dan penggunaan kekerasan (violence) seperti yang terjadi di Sleman, Tangerang, Bandung, dan juga Bantul dalam dua minggu terakhir.
Kepada para politisi, Setara mengingatkan agar seluruh proses kompetisi politik pada tahun elektoral berkaitan dengan pilkada dan pilpres mendatang hendaknya dijauhkan dari penggunaan segala cara yang memolitisasi sentimen primordial, khususnya agama, untuk kepentingan jangka pendek pemilihan. Kerukunan antarelemen bangsa dan ikatan kebangsaan di antara mereka terlalu luhur untuk dirusak demi dipertukarkan dengan jabatan politik jangka pendek apa pun. (*/KSP)