Menelisik Perlawanan PTPN V atas Perintah Eksekusi Pengadilan
Dalam dua pekan terakhir, berita panas di Riau, yang mampu mengalahkan isu pilkada, adalah perintah Pengadilan Negeri Bangkinang untuk mengeksekusi lahan PTPN V seluas 2.800 hektar lebih.
Lahan yang sudah ditanami kelapa sawit itu berada di wilayah Kebun Sungai Agung, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar.
Perintah eksekusi berlandaskan putusan Mahkamah Agung pada awal 2015, yang menyebutkan PTPN V telah melakukan penyerobotan kawasan hutan negara yang sudah diberi izin pengelolaan hutan tanaman industri kepada pihak ketiga.
Putusan MA dimaksud sudah berkekuatan hukum tetap sehingga harus dipatuhi dan dilaksanakan.
Peristiwa itu jelas memalukan karena PTPN V adalah perusahaan badan usaha milik negara, yang semestinya mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan sebelum membuat keputusan penting di lapangan.
Apalagi direksi perusahaan BUMN telah digaji oleh negara untuk melakukan tugas sesuai aturan yang berlaku agar usahanya menghasilkan keuntungan yang nantinya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Lembaga yang melayangkan gugatan kepada PTPN V adalah Yayasan Riau Madani (YRM) yang diwakili Ketuanya Surya Dharma pada 2014.
Gugatan itu dimungkinkan oleh ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang memberi hak kepada masyarakat mengkritisi keberadaan hutan negara yang dikelola oleh pihak ketiga.
Tuduhan YRM, PTPN V telah menyeborot lahan hutan produksi yang sudah diberi izin (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) kepada PT Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI), grup Sinar Mas.
Yang digugat YRM sebenarnya bukan hanya PTPN V. PT PSPI selaku perusahaan yang diberi izin negara untuk mengelola hutan tanaman industri di kawasan itu juga turut digugat.
Pihak turut tergugat lain adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Riau, dan Pemerintah Kabupaten Kampar.
Pertanyaannya, mengapa PTPN V kalah di pengadilan?
Bukti-bukti
Ditelisik dari perjalanan sengketa hukum di pengadilan, PTPN V memang berada pada pihak lemah. Bukti-bukti yang diajukan oleh YRM memperjelas bahwa titik koordinat lahan sawit PTPN V memang berada dalam kawasan hutan.
Adapun bukti-bukti yang diajukan PTPN V tidak kuat. Sementara bukti-bukti lain dari pihak turut tergugat, PT PSPI dan KLHK, di persidangan, justru memperkuat gugatan YRM.
Di persidangan, PTPN V, misalnya, mendalihkan bahwa lahan yang digugat YRM bukan berada di Kabupaten Kampar, melainkan di Kabupaten Rokan Hulu.
Namun, saat sidang lapangan, YRM dapat membuktikan adanya 31 titik koordinat batas-batas pertanaman kelapa sawit PTPN V yang seluruhnya berada dalam kawasan HTI PT PSPI, di wilayah Kabupaten Kampar.
Apakah PTPN V tidak memiliki surat-surat kepemilikan? Punya, tetapi kurang kuat secara hukum.
PTPN V memiliki sejarah panjang dalam kepemilikan lahan. Terbukti perusahaan itu mengantongi Surat Rekomendasi Pencadangan Lahan dari Pelaksana Tugas Bupati Kampar yang waktu itu dijabat oleh Gubernur Riau Rusli Zainal.
Surat rekomendasi bertanggal 27 April 2004 tersebut ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI agar melepas lahan itu menjadi kebun PTPN V.
Dalam surat itu, Rusli menyebutkan, lahan yang dicadangkan seluas 3.500 hektar merupakan ”tanah ulayat” Kenagarian Batu Gajah.
Artinya, sebelum meminta rekomendasi Bupati Kampar, PTPN V pasti sudah melakukan pembayaran ganti rugi tanah ulayat itu. Setelah itu, PTPN V baru mampu meyakinkan bupati bahwa tanah itu pantas dicadangkan.
Sebagai Gubernur Riau, Rusli kemudian membuat surat senada pada 30 Agustus 2004 kepada Menteri Kehutanan.
Rusli meyakini, pembukaan lahan kebun di tanah ulayat yang terisolasi dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar.
Namun, proses pelepasan tanah ulayat itu jelas merupakan kealpaan atau ketidakhati-hatian perusahaan.
Kalau saja, PTPN V melakukan pengecekan ulang ke Badan Pertanahan Nasional atau Kementerian KLHK, tentunya status sesungguhnya dari tanah ulayat itu sudah diketahui sejak awal.
Buktinya, surat rekomendasi Gubernur Riau dan Bupati Kampar tidak diterima oleh pemerintah pusat. Menteri Kehutanan Muhammad Prakosa tegas menolak rekomendasi pencadangan lahan untuk perkebunan PTPN V.
Alasan menteri sangat jelas, tanah ulayat itu berada pada kawasan hutan produksi yang sudah dibebani izin pengelolaan kepada pihak ketiga.
Sehingga rencana pencadangan yang direkomendasikan bupati dan gubernur tidak memenuhi persyaratan.
Hanya saja, setelah penolakan dari Menteri Kehutanan, PTPN V tetap saja melakukan penanaman kelapa sawit di atas lahan yang sudah jelas berstatus hutan negara.
Itulah kesalahan kedua PTPN V. Kalau saja, PTPN V mematuhi surat M Prakosa, tentunya persoalan eksekusi sekarang ini tidak terjadi.
Pada 2009, PT PSPI sebagai perusahaan yang mendapat izin mengelola hutan negara pernah melaporkan PTPN V kepada polisi atas tuduhan perambahan hutan. Uniknya, hanya pegawai PTPN V Sihar Lumban Raja yang dijadikan tersangka.
Di PN Bangkinang, Sihar ”dilepaskan” (bebas) dari hukum. Dilepaskan artinya, perbuatan terdakwa dinyatakan terbukti. Namun, hakim berpendapat perbuatan itu bukan tindakan pidana, melainkan perdata. Jaksa kemudian melakukan kasasi, tetapi MA menguatkan putusan PN Bangkinang tadi.
Putusan bebas dari MA ini patut dikritisi. Mengapa PTPN V yang sudah dinyatakan terbukti merambah atau menyerobot hutan negara, tidak dianggap melakukan kejahatan pidana, tetapi hanya perdata? Padahal, UU Kehutanan jelas menyebutkan bahwa perambahan hutan adalah kejahatan pidana.
Penundaan eksekusi
Di luar konteks putusan MA tadi, ketika sedang menjalani persidangan di pengadilan, PTPN V melakukan kesalahan ketiga.
Pada saat kalah di Pengadilan Tinggi Riau, PTPN V terlambat mengajukan memori kasasi sesuai jadwal yang telah diatur perundang-undangan. Keterlambatan itu dianggap MA sebagai bentuk penerimaan PTPN V atas keputusan hakim banding.
Pada awal 2015, MA mengabulkan permohonan YRM. Inti putusan itu adalah PTPN V harus melakukan pengosongan lahan kelapa sawitnya.
Kemudian PTPN V harus melakukan penanaman akasia di bekas areal perambahannya sampai mencapai taraf yang disebut hutan tanaman industri.
Setelah putusan MA berkekuatan hukum tetap, YRM tentunya berhak mengajukan permohonan eksekusi kepada PN Bangkinang. Permohonan sudah diajukan sejak 28 Februari 2015.
Namun, surat permohonan itu diabaikan PN. YRM mengajukan permohonan kembali sebanyak enam kali. Namun, semua permohonan eksekusi itu mentah.
Setelah empat kali berganti kepemimpinan, barulah pada era Ketua PN Bangkinang Lilin Herlina, permohonan YRM yang ketujuh kalinya untuk mengeksekusi lahan PTPN V dituruti pengadilan.
Rencana awal eksekusi semestinya dilakukan pada 28 Januari 2018, tetapi PTPN V melakukan pengerahan massa untuk menghentikan pengosongan lahan.
Rencana eksekusi akhirnya diundur menjadi 31 Januari 2018. Namun, ketika mendekati tanggal pelaksanaan, pengerahan massa kembali terjadi. Eksekusi kedua batal lagi.
Terakhir menjelang rencana eksekusi ketiga pada 8 Februari, PTPN V kembali mengerahkan ribuan orang ke lapangan. Melihat potensi konflik horizontal yang sangat besar, Kepala Polres Kampar Ajun Komisaris Besar Deni Okvianto terpaksa menyurati Ketua PN Bangkinang untuk menunda eksekusi.
Deni mengatakan, apabila eksekusi tetap dilaksanakan, akan dapat menimbulkan kerawanan sosial.
Kepala Polda Riau Inspektur Jenderal Nandang mengatakan, penundaan eksekusi juga disebabkan masih ada pertemuan antara Kapolres Kampar dengan Sekretaris Kementerian BUMN dan Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
”Dalam pertemuan itu, Kementerian LHK mempersilakan eksekusi. Sebaliknya, Kementerian BUMN meminta dicari opsi selain eksekusi. Namun, sesuai keputusan hukum, eksekusi memang harus dilaksanakan, tetapi sekarang ini belum. Masih menunggu pembicaraan antara Kementerian BUMN dan KLHK,” kata Nandang.
Apabila diicermati ucapan Nandang, ternyata ada perbedaan pendapat di pemerintah pusat. Di satu sisi, kementerian LHK sudah menyetujui eksekusi karena sudah ada putusan MA yang bersifat mengikat.
Namun, Kementerian BUMN masih menginginkan solusi lain. Hal itu dapat dimaklumi karena eksekusi dapat merugikan PTPN V sebesar Rp 170 miliar. Namun, sesuai hukum, seperti dikatakan Nandang, tidak ada solusi lain, selain eksekusi.
Di luar rencana eksekusi, PTPN V—diwakili penasihat hukumnya Sadino—lewat rilis yang disebarkan kepada media mengatakan, mematuhi putusan pengadilan. Namun, sayangnya, Sadino masih menyuarakan hal-hal di luar konteks hukum.
Misalnya, Sadino mengatakan, gugatan dari YRM adalah untuk mewakili kepentingan penyokong atau beking. Menurut dia, YRM tidak mungkin mampu membiayai perkara, tanpa dana beking.
”Jika mau fair, eksekusi tidak dapat dilakukan karena masih ada perlawanan di PN Bangkinang dan gugatan perdata di PN Rokan Hulu,” kata Sadino.
Pernyataan itu sebenarnya tidak tepat karena antara putusan MA dan kepentingan beking merupakan dua persoalan yang berbeda. PTPN V tentu bisa mengajukan gugatan atas tuduhan itu, tetapi tidak untuk membatalkan eksekusi.
Tentang gugatan lain di PN Bangkinang dan Rokan Hulu, juga tidak dapat dipakai untuk menunda eksekusi setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Oleh karena, sudah begitu aturan hukumnya.
Peradilan adalah tempat untuk membuktikan, pihak mana yang memiliki landasan hukum yang lebih kuat. Bukan untuk kalah dan menang.
Hakim pengadilan dari tingkat pertama sampai MA adalah pakar-pakar hukum yang bekerja mewakili Tuhan di muka bumi ini.
Sebagai perusahaan pelat merah, sudah sepantasnya PTPN V mematuhi perintah pengadilan. Adalah tindakan memalukan, perusahaan yang mewakili negara justru tidak patuh terhadap putusan hukum.