Bandara Yogyakarta Baru Ditargetkan Beroperasi April 2019
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Agenda pembangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta Baru tidak bisa berubah. Sejumlah hal dilakukan, mulai dari membangun pusat layanan informasi hingga kembali mencairkan sisa uang ganti rugi pembebasan lahan demi mengejar target operasional bandara pada April 2019.
Direktur Utama PT Angkasa Pura I Faik Fahmi mengatakan, akan mengedepankan aspek komunikasi kepada seluruh pihak yang terkait dengan pembangunan bandara. Sejumlah hambatan dalam pembangunan bandara dia nilai muncul akibat kendala komunikasi.
”Kami sudah operasikan layanan help desk (pusat layanan informasi) sebagai tempat berdialog sekaligus sarana bagi warga dalam menyampaikan masukannya secara intensif,” kata Faik di kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (8/2).
Sebelumnya, pengosongan lahan bandar udara di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, kerap diwarnai keributan. Gesekan sempat beberapa kali terjadi antara aparat dengan sejumlah warga dan aktivis penolak pembangunan bandara.
Kehadiran pusat layanan informasi adalah bagian dari upaya PT Angkasa Pura dalam meluruskan segala informasi terkait pembangunan bandara yang selama ini dianggap simpang siur, mulai dari proses konsinyasi pembayaran ganti rugi lahan hingga lapangan pekerjaan.
”Pada dasarnya kami terus berkomunikasi juga dengan pemerintah agar warga yang dulunya petani bisa tetap bertani, yang pedagang mau berdagang. Pemerintah daerah sedang berupaya memberikan alternatif ditempat lain,” ujarnya.
PT Angkasa Pura I juga kembali mencairkan dana ganti rugi pembebasan lahan bandara dengan nilai akumulasi mencapai Rp 22 miliar. Uang tersebut diberikan kepada pemilik 31 bidang lahan milik warga Desa Glagah, Kecamatan Temon, yang sebelumnya menolak pembangunan bandara.
Lebih dari 20 warga mendapatkan nilai ganti rugi secara beragam, mulai dari Rp 200 juta hingga Rp 2 miliar.
Dihubungi terpisah, Kepala Desa Glagah Agus Purnomo mengatakan, lebih dari 20 warga mendapatkan nilai ganti rugi secara beragam, mulai dari Rp 200 juta hingga Rp 2 miliar. Namun saat ini, masih terdapat puluhan warga lainnya yang masih bersikukuh menolak meninggalkan lahan mereka.
”Untuk warga yang masih menolak pembangunan bandara, ganti rugi aset bangunan dan tanaman sudah tidak dilakukan karena mereka menolak. Namun untuk ganti rugi lahan, mereka sudah dilakukan lewat skema konsinyasi,” ujarnya.
Di Desa Glagah, lanjut Purnomo, terdapat sekitar 17 rumah di dalam wilayah cakupan izin penetapan lokasi (IPL) pembangunan bandara yang masih dihuni. Dari jumlah tersebut, sebanyak 6 rumah sudah menjalani putusan penetapan konsinyasi ganti rugi, sedangkan 11 rumah baru terdaftar untuk menjalani proses sidang konsinyasi di Pengadilan Negeri Wates.
Desain budaya
Desain bandara internasional baru di Kabupaten Kulon Progo dipastikan akan tetap mengedepankan unsur kearifan lokal. Direktur Utama PT Angkasa Pura I Faik Fahmi memastikan unsur budaya dan tradisi Yogyakarta akan menjadi bagian dari desain interior bandara.
”Dengan desain yang mengedepankan kearifan lokal, kami berharap bandara dapat menjadi ikon serta ciri khas bagi Daerah Istimewa Yogyakarta,” ujarnya.
Dengan desain yang mengedepankan kearifan lokal, kami berharap bandara dapat menjadi ikon serta ciri khas bagi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, pihaknya terus melakukan komunikasi secara intensif kepada PT Angkasa Pura I untuk memasukkan unsur kearifan lokal pada desain bandara. Dia berharap nantinya bandara dapat memberikan pesan filosofi melalui desain bangunan.
”Harapannya nanti desain dengan unsur kearifan lokal tidak sekadar menghiasi dan mengisi ruang yang ada. Seharusnya desain bisa menjadi roh di setiap ruang bandara sekaligus menjadi sarana edukasi terkait sejarah dan tradisi Yogyakarta,” ujar Sultan.