Rumah Tapak Diminati, Butuh Dukungan Infrastruktur
Oleh
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah maraknya pembangunan hunian vertikal, rumah tapak tetap menjadi pilihan utama masyarakat sebagai tempat tinggal. Namun, dengan harga properti yang terus meningkat, rumah tapak di pinggir kota menjadi solusi yang dipilih masyarakat. Untuk itu, dukungan infrastruktur dari pemerintah diperlukan untuk memudahkan akses dari rumah ke tempat kerja.
Hasil survei Bank Indonesia menunjukkan, harga hunian untuk semua tipe rumah di wilayah Jakarta dan sekitarnya serta Banten pada triwulan IV-2017 naik 3,41 persen dalam setahun. Kenaikan harga rumah tipe kecil (dengan luas 36 meter persegi dan lebih kecil) hampir 6 persen, sedangkan tipe menengah (di atas 36 meter persegi hingga 70 meter persegi) naik hampir 3 persen.
Director Office Services Colliers International Indonesia, konsultan properti, Bagus Adikusumo mengatakan, pola pikir sebagian besar masyarakat saat ini mengenai hunian adalah lebih pada rumah tapak. ”Orangtua biasanya menanamkan kepada anaknya untuk membeli rumah tapak bukan apartemen. Jadi, hal ini yang kemudian membawa pola pikir memilih membeli rumah tapak,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Senin (5/2).
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Stefanus Sonny (24) yang dijumpai saat berkunjung ke pameran Indonesia Property Expo 2018 di Jakarta Convention Center. Ia sempat berpikir untuk membeli apartemen di tengah kota dengan alasan praktis dan lebih dekat dengan pusat kota.
Namun, setelah mempertimbangakan berbagai hal. Ia akhirnya memutuskan membeli rumah di pinggir kota dengan harga yang tidak jauh berbeda. ”Tinggal di apartemen juga butuh biaya hidup yang mahal, seperti biaya pengelolaan apartemen dan parkir kendaraan. Itu pun saya tidak dapat surat hak milik dan ada jangka waktu pemakaian yang harus diperpanjang setelah 20 tahun,” katanya.
Sonny pun akhirnya membeli rumah di daerah Ciledug, Tangerang, Banten, dengan harga Rp 450 juta. Harga ini, ujarnya, hampir sama dengan pembelian apartemen di pusat kota Jakarta Barat atau Jakarta Timur. Ia akhirnya mengambil cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) kepada bank yang dibayarkannya Rp 3,2 juta setiap bulan selama 20 tahun untuk melunasi rumah tersebut.
Pada publikasi laman rumah123.com, seorang pekerja mampu membeli rumah seharga Rp 300 juta jika memiliki penghasilan minimal Rp 7,5 juta per bulan. Perhitungan itu didasarkan asumsi pembayaran secara kredit 15 tahun dengan bunga 10 persen. Setidaknya Rp 2 juta per bulan harus dikeluarkan untuk membayar cicilan hunian, yang terbilang tidak sedikit bagi kelompok yang baru memasuki dunia kerja.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid menyampaikan, beberapa skema telah dipersiapkan pemerintah untuk mengatasi kebutuhan rumah tapak bagi generasi milenial saat ini.
”Salah satu yang kami persiapkan dengan subsidi pemerintah melalui program FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan),” ujarnya.
Program tersebut adalah program subsidi pemerintah untuk pemilikan rumah bagi karyawan yang berpenghasilan kurang dari Rp 4 juta. Rumah tapak yang disediakan sekitar Rp 300 juta dengan uang muka Rp 5 juta. Bunga yang diberikan tetap, yaitu sekitar 5 persen, dengan biaya angsuran sekitar Rp 700.000 per bulan. ”Salah satu pembangunan dilakukan di daerah Maja (Lebak, Banten),” kata Khalawi.
Pemilik PT Mega Property, salah satu pengembang perumahan dengan proyek perumahan Pamulang City, Oentono, menyampaikan, lokasi menjadi salah satu faktor yang paling banyak menjadi pertimbangan pembeli. Aksesibilitas kendaraan umum juga menjadi faktor lain yang menentukan.
”Proyek kami di Pamulang ini menjadi pilihan yang cukup banyak diminati calon pembeli. Lokasinya tidak jauh dari pusat kota. Selain itu, juga dekat dengan stasiun KRL (kereta rel listrik),” katanya.
Dengan tipe rumah 36 dan luas tanah 60 meter persegi, ia menawarkan dengan harga Rp 595 juta dengan uang muka Rp 29 juta. Untuk cicilan KPR bisa dibayarkan sekitar Rp 3 juta per bulan selama 25 tahun.
Infrastruktur
Bagus mengatakan, pilihan rumah tapak di pinggiran kota besar memang menjadi solusi yang tepat untuk menyiasati harga properti yang semakin meningkat. Namun, bagi generasi milenial, pilihan ini sebaiknya lebih dipertimbangkan lagi.
”Generasi milenial itu biasanya mau instan dan gerak cepat. Padahal, kalau tinggal di daerah penyangga Ibu Kota perlu waktu dan jarak yang cukup jauh. Masalah tenaga yang dibutuhkan juga harus dipikirkan,” ujarnya.
Menurut dia, dukungan infrastruktur yang baik sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. KRL ataupun kereta api ringan (LRT) yang sedang dibangun saat ini menjadi solusi yang tepat dari pemerintah.
Ketika waktu yang ditempuh dari rumah menuju tempat kerja sekitar 1 jam, kata Bagus, masyarakat masih bisa menjalaninya. Armadanya pun tetap perlu diperbanyak melihat jumlah penduduk yang tinggal di daerah penyangga Ibu Kota juga semakin meningkat.
Noel Sahelangi (28), pegawai swasta di Bintaro, Tangerang Selatan, baru saja membeli rumah di daerah Parung Panjang, Bogor. Lokasi ini dipilih karena akses kendaraan umum yang cukup mudah dijangkau.
”Saya hanya perlu naik KRL satu kali dari Stasiun Parung Panjang menuju Stasiun Jurangmangu yang tidak jauh dari kantor saya. Memang cukup melelahkan karena harus berdesak-desakan dengan banyak orang selama satu jam. Namun, saya lebih puas membeli rumah tapak daripada tinggal di apartemen,” katanya.
Meski saat ini banyak masyarakat yang memilih rumah tapak sebagai pilihan hunian, Bagus menilai kondisi ini tidak akan berlangsung lama. Menurut dia, masyarakat, khususnya generasi milenial yang tinggal di Ibu Kota, nantinya akan lebih memilih hunian vertikal di pusat kota.
”Keputusan mencari rumah tapak di pinggir kota biasanya hanya menjadi euforia saat akan membeli, belum ketika menjalankannya dalam waktu lama. Generasi milenial yang mau gerak cepat pasti akan memikirkan masalah waktu dan tenaga yang dikeluarkan saat perjalanan. Akhirnya, rumah vertikal di pusat kota pun tetap menjadi pilihan yang diambil,” katanya. (DD04)