JAKARTA, KOMPAS — Program Keluarga Berencana dinilai bisa gagal apabila Pasal 481 dan Pasal 483 dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana disahkan. Kedua pasal tersebut dinilai akan mempersulit pengendalian angka kelahiran di Indonesia.
Pasal 481 menyatakan, ”Setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, atau secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.”
Adapun Pasal 483 menyatakan, ”Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 481 dan Pasal 482 jika perbuatan tersebut dilakukan petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan Keluarga Berencana dan pencegahan penyakit menular.”
Dalam diskusi bertema ”Ancaman KUHP untuk Program Keluarga Berencana”, yang digelar Aliansi Nasional Reformasi KUHP di Jakarta, Minggu (4/2), Ramona Sari dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) mengatakan, ”Kedua pasal tersebut akan mengakibatkan penurunan jumlah pengguna KB sehingga angka kehamilan yang tidak diinginkan akan banyak muncul.” Menurut Ramona, hubungan seksual tidak dapat dihentikan sehingga butuh alat untuk mencegah kehamilan.
Pasal 483 menyatakan, yang boleh memberikan informasi untuk memperoleh alat kontrasepsi hanya petugas berwenang sehingga akan terjadi kriminalisasi pada kader dan tenaga medis, lembaga masyarakat, serta masyarakat umum. ”Sosialisasi KB tidak dapat hanya dilakukan oleh dokter, tetapi juga dibutuhkan bantuan dari berbagai pihak,” kata Ramona.
Dalam diskusi yang sama juga hadir sebagai pembicara adalah peneliti Institute for Criminal Justice Reform Ajeng Gandini Kamilah, dosen Institut Agama Islam Negeri Cirebon Abdul Muiz Ghazali, dan Manajer Program Yayasan Cipta Cara Padu Dini Haryati.
Semua pembicara menilai rumusan kedua pasal tersebut bertentangan dengan program Keluarga Berencana (KB). Situasi tersebut akan berpengaruh pada penurunan angka kematian ibu yang diusung pemerintah.
Stagnan
Selama satu dekade terakhir, keberhasilan pelayanan KB di Indonesia cenderung stagnan. Berdasarkan hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka fertilitas total (total fertility rate/TFR) sebesar 2,6. Angka tersebut sama dengan angka TFR pada SDKI 2007 dan 2002.
Menurut Dini, situasi stagnan tersebut terjadi karena keterbatasan jumlah petugas dalam menyosialisasikan program KB. Berdasarkan data SDKI tahun 2012, jumlah petugas kesehatan dan KB, khususnya petugas lapangan Keluarga Berencana (PLKB), dari 33.000 orang pada tahun 1990 menjadi 22.000 orang pada 2007.
Dini mengatakan, masyarakat Indonesia juga enggan membicarakan pentingnya KB. Oleh karena itu, dibutuhkan peran aktif dari berbagai elemen masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, pemuka adat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), ataupun masyarakat yang disebut dengan kader kesehatan atau promotor kesehatan desa (prokes).
Kader kesehatan bekerja secara sukarela dan dipilih masyarakat. Tercatat di Kementerian Kesehatan sampai dengan tahun 2014, terdapat 569.477 kader kesehatan terlatih. Apabila kedua pasal tersebut berlaku, kader tersebut berpotensi dipidana.
Bertentangan
Selain itu, Pasal 481 dalam RKHUP juga dipandang tidak sesuai dengan kebutuhan dan cenderung overkriminalisasi. Ajeng mengatakan, ketentuan terkait dengan pencegahan kehamilan sudah ada dalam KUHP saat ini, yaitu Pasal 534.
Bunyi Pasal 534 KUHP adalah, ”Barangsiapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana pencegah kehamilan ataupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan sarana atau pertolongan untuk mencegah kehamilan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menyatakan bahwa sarana atau pertolongan yang demikian itu bisa didapat, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah.”
”Isi dalam Pasal 534 sama dengan Pasal 481 sehingga sebaiknya Pasal 481 dihilangkan,” kata Ajeng.
Ia menjelaskan, ketentuan pada Pasal 481 tidak sesuai dengan komitmen nasional dan global yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No 52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Program Keluarga Berencana Nasional).
Adapun Pasal 483 tidak sesuai dengan filosofis kesehatan Indonesia yang tertuang pada UU No 52/2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga pada Bab X tentang peran serta masyarakat. Pasal ini juga bertentangan dengan UU No 36/2009 tentang kesehatan dan Peraturan Pemerintah No 61/2014 tentang kesehatan reproduksi. Pasal tersebut membatasi hak setiap warga negara mendapatkan informasi dan edukasi terkait masalah kependudukan dan KB. (DD08)