Jalur Khusus Sepeda Motor di Thamrin-Sudirman Belum Ditaati
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberlakuan izin melintas bagi kendaraan roda dua di jalan protokol Thamrin-Sudirman, Jakarta Pusat, belum sepenuhnya dipahami oleh pengendara sepeda motor. Banyak pengendara belum mengikuti aturan untuk tetap berada di lajur paling kiri selama melintasi Jalan Thamrin-Sudirman.
Edo (26), pengendara ojek daring di Jakarta, Senin (5/2), menyatakan telah mengetahui adanya peraturan baru yang mengizinkan pengendara sepeda motor melintasi jalur protokol Sudirman-Thamrin dengan catatan harus tetap berada di lajur kiri. Namun, ia mengaku tetap melintasi dengan posisi cenderung ke lajur tengah karena tidak melihat pembatas lajur yang samar di beberapa titik.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Doni (20). Pengendara ojek daring ini mengaku sengaja mengambil lajur agak ke tengah untuk memotong kendaraan yang akan berbelok ke kiri, ke arah Jalan Kebon Sirih. Namun, hal itu dilihat oleh polisi lalu lintas dan diarahkan menepi untuk ditilang.
Doni mengaku belum mengetahui aturan melintas di lajur kiri. ”Lain kali, kalau mau sosialisasi jangan hanya dari media massa, tetapi juga di media sosial. Lagi pula, batas lajurnya tidak begitu jelas. Jadi saya bingung batasnya seperti apa,” ujarnya.
Komandan Tim 1 Chakra Police Response (CPR) Komisaris Made Kamarawan menjelaskan, mulai Senin (5/2), peraturan wajib lajur kiri bagi pengendara sepeda motor diberlakukan demi ketertiban. Ia berujar, sepeda motor yang kedapatan melintasi Thamrin-Sudirman tidak di lajur kiri langsung ditilang.
Hingga pukul 11.00, tim yang dipimpin Made telah menilang 116 pengendara sepeda motor yang tidak melintas di lajur kiri. ”Jumlah itu dari tim saya yang berjaga di perempatan Sarinah. Banyak pengendara motor memberi alasan tidak tahu, padahal petugas telah memasang papan peringatan,” ucapnya.
Made menjelaskan, penertiban dilakukan di tiga lokasi yang tersebar di dua persimpangan yang membelah jalur protokol, yaitu persimpangan Sarinah dan persimpangan Wisma Mandiri. Ketiga tim melakukan penertiban secara acak di kedua jalur tersebut.
Menurut Made, penertiban ini akan rutin dilakukan pada jam-jam tertentu. Tim Made beranggotakan tujuh polisi laki-laki dan empat polisi wanita (polwan). ”Setiap tim berjaga pada tiga shift, yaitu pukul 07.00-09.00, 11.00-13.00, dan 16.00-18.00. Di luar jadwal tersebut, polisi tetap menjaga,” paparnya.
Disiplin pengendara
Made menjelaskan, arus di Sudirman-Thamrin semakin padat sejak sepeda motor diizinkan melintasi Jalan Thamrin-Sudirman. Kepadatan kendaraan di jalan protokol ini pada jam sibuk semakin lama terurai. Jam sibuk di sini artinya adalah saat di mana kendaraan menjadi padat di waktu sebelum masuk waktu kerja, yaitu antara 06.39-10.00, dan sesaat setelah karyawan pulang dari pekerjaan, yaitu 16.00-18.00.
Leona, pengendara mobil yang bekerja di kawasan Thamrin mengaku waktu tempuh yang dibutuhkan menuju kantor menjadi hampir dua kali lipat lebih lama. ”Apalagi pengendara motornya sering menyalip tidak beraturan. Pokoknya kacau,” tuturnya.
Pengamat tata kota Nirwono Joga mengatakan, kesadaran pengguna jalan menjadi kunci dalam ketertiban. ”Budaya berlalu lintas pengendara di Ibu Kota masih rendah, terutama sepeda motor,” ujarnya.
Nirwono berpendapat, asas keadilan seharusnya sudah mulai ditetapkan bagi pengendara sepeda motor dan mobil. Keadilan ini didapatkan dengan pemberlakuan model ganjil-genap bagi kedua jenis transportasi ini. Dalam model ini, diatur pemberlakuan melintas untuk pelat nomor genap di tanggal genap dan sebaliknya.
Wajah Ibu Kota
Nirwono berharap Gubernur DKI beserta jajarannya memperhatikan Rancangan Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan tahun 2012 hingga 2030. Ia menjelaskan, dalam RTRW telah ditetapkan dengan jelas, jalan protokol Thamrin-Sudirman digunakan sebagai jalan yang ramah pejalan kaki dan angkutan massal.
Aturan ini ditetapkan agar bisa mengurangi tingkat polusi di pusat Ibu Kota. ”Gubernur sebaiknya bisa berpikir cepat dalam menentukan regulasi yang mebatasi kendaraan melintas di pusat kota dan ramah pejalan kaki,” ucapnya.
Nirwono memberikan beberapa saran, seperti penggunaan tarif parkir progresif, semakin ke pusat kota semakin mahal, ataupun pemberlakuan jalan berbayar elektronik yang berlaku untuk semua kendaraan. Untuk pejalan kaki, kata Nirwono, pemerintah bisa menyediakan sepeda sewa di beberapa lokasi sehingga masyarakat bisa melintasi dengan lebih cepat dari pejalan kaki, tetapi tidak perlu mencari kendaraan bermotor.
”Ingat, tahun ini kita mengadakan Asian Games. Akan menjadi hal yang memalukan kalau di perhelatan nanti, kita lebih dikenal sebagai kota yang macet. Tahun ini adalah momentum untuk memperkenalkan Jakarta yang bebas dari macet dan ramah lingkungan,” ujarnya. (DD12)