Generasi Milenial, Tinggalkanlah Romantisisme Rumah Tapak!
Yuliana (24) berencana membeli rumah tapak. Generasi milenial ini bermimpi bisa berinteraksi dengan tetangga, arisan bersama ibu rumah tangga lain, dan menanam tumbuhan di depan rumah. Mimpi itu dirasanya tidak bisa diwujudkan di hunian vertikal.
”Kalau apartemen lebih individual penghuninya. Sudah prinsip tidak mau apartemen. Lebih condong ke rumah tapak, mungkin karena bawaan pernah tinggal di desa,” ucap Yuliana, Sabtu (3/2), saat diwawancarai.
Romantisisme suasana itu membuat Yuliana menjatuhkan pilihan untuk membeli rumah tapak. Setelah setahun mencari, dia memutuskan akan membeli rumah di sekitar Ciledug, Tangerang, Banten. Rumah itu cukup jauh dari tempat kerjanya yang berada di pusat kota Jakarta.
Harga rumah di Jakarta tidak terjangkau. Dengan gajinya sebesar Rp 7 juta, harga rumah yang realistis untuk dicicil adalah sekitar Rp 500 juta.
Yuliana mengatakan, harga rumah di Jakarta tidak terjangkau. Dengan gajinya sebesar Rp 7 juta, harga rumah yang realistis untuk dicicil adalah sekitar Rp 500 juta.
Meskipun sudah mencari rumah di pinggiran, gaji Yuliana masih belum memenuhi syarat kredit pemilikan rumah (KPR). Cicilan KPR 3,6 juta melebihi 30 persen dari gajinya. Padahal, minimal cicilan per bulan tidak boleh melewati 30 persen gaji. Untuk memenuhi syarat itu, perlu gaji sebesar Rp 12 juta.
Untuk itu, Yuliana berencana memenuhi syarat itu dengan menggabungkan penghasilan pasangannya. Rencana itu sudah dipikirkannya. Adapun, dia belum menikah dengan pacarnya saat ini.
Pengorbanan
Banyak yang dikorbankan Yuliana untuk menebus romantisisme rumah tapak. Salah satunya, dia harus memeras biaya hidup. Sejak bekerja dua tahun lalu, dia hanya memakai Rp 2 juta gajinya, antara lain Rp 1 juta untuk kos dan Rp 1 juta sisanya untuk makan dan gaya hidup.
Bahkan, Yuliana harus memasak setiap hari untuk makan. Hanya pada akhir pekan, dia membeli makanan jadi.
Arus kas Yuliana sangat timpang apabila dibandingkan dengan generasi milenial. Berdasarkan data Oneshildt Financial Planner, 53 persen gaji milenial dihabiskan untuk biaya dan gaya hidup. Sementara, Yuliana hanya menggunakan 14 persen. Sisa 39 persen itu direlakan untuk menyicil rumah.
Selain biaya hidup, dia harus melewati puluhan kilometer untuk pergi kerja. ”Dari rumah itu, ada halte transjakarta sekitar 2 kilometer. Nanti ke halte itu naik motor. Motornya dititip di sekitar halte. Habis itu, naik transjakarta ke tempat kerja,” ucapnya.
Mencoba realistis
Berbeda dengan Yuliana, pegawai negeri sipil, Kurniawan (24) tidak berpikir membeli rumah dalam waktu dekat. Dia lebih ingin menikmati penghasilannya untuk membawa keluarga melancong.
Menurut Kurniawan, harga rumah di Jakarta dan sekitarnya tidak realistis untuk pegawai baru sepertinya. Dia lebih memilih sewa kos sementara ini. ”Harga rumah di Jakarta mahal. Kalau nabung dengan gaji sekarang, bisa tidak makan,” katanya.
Harga rumah di Jakarta mahal. Kalau nabung dengan gaji sekarang, bisa tidak makan.
Gaji Kurniawan sekitar Rp 5 juta per bulan, mewakili penghasilan generasi milenial di Jakarta. Data dari konsultan properti, Savills Indonesia, menyebutkan, sekitar 46 persen generasi milenial di Jakarta berpenghasilan di bawah Rp 4 juta per bulan. Sementara 34 persen berpenghasilan Rp 4 juta-Rp 7 juta per bulan, 14 persen berpenghasilan Rp 7 juta-Rp 12 juta per bulan, dan hanya 6 persen di atas Rp 12 juta per bulan.
Sementara itu, Denny (23), pegawai pemasaran media massa, mengatakan, lebih memilih tinggal di apartemen. Dia ingin sedekat mungkin dengan tempat kerja yang berada di Jakarta. Rumah di pusat kota tidak realistis dibeli dengan penghasilan Denny yang di bawah Rp 5 juta per bulan.
”Kalau rumah pasti dapatnya di pinggiran. Tidak perlu rumah dulu kalau duit masih pas-pasan,” ucapnya.
Menurut Denny, dengan pendapatan saat ini, dia harus membeli rumah di pinggiran kota.
Hal itu membuat mobilitasnya berkurang. Apalagi, dia lebih suka menggunakan kendaraan pribadi.
”Kalau beli rumah di luar Jakarta, bakal tidak tahan macetnya. Pukul 21.00 saja masih macet,” ucapnya.
Untuk itu, Denny lebih memilih membeli atau menyewa apartemen di pusat kota dengan harga yang lebih masuk akal. Hal itu demi kepraktisan dan produktivitas dalam bekerja. ”Yang penting enak ke mana pun dan akses mudah,” ucapnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda mengatakan, harga terendah untuk apartemen di Jakarta sekitar Rp 17 juta per meter. Satu unit studio seluas 20 meter persegi masih bisa didapatkan dengan harga Rp 340 juta.
Sementara, menurut Ali, harga rumah laik di Jakarta mencapai Rp 800 juta-Rp 1 miliar. ”Memang ada yang sekitar Rp 500 juta. Tetapi itu juga masih di pinggiran, rumahnya juga kecil dan berada di dalam gang sempit. Tidak laiklah,” ucapnya.
Perubahan perilaku
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata mengatakan, generasi milenial telah mengalami perubahan perilaku. Era digitalisasi yang hadir membuat generasi milenial cenderung mengutamakan kecepatan dan mobilitas.
Oleh karena itu, kata Soelaeman, kepemilikan rumah bisa jadi beban untuk generasi milenial. Salah satunya, generasi yang terkenal suka melancong ini harus merawat dan membersihkan rumahnya.
”Misalnya tiba-tiba mereka ke Bali, atau ke luar negeri, siapa nanti yang harus bersihin rumah? Kita harus pikir lagi, kepemilikan aset menguntungkan atau merugikan untuk mereka,” ucap Soelaeman.
Belum lagi, permasalahan ketersediaan rumah yang jauh dari perkotaan. Hal itu mengurangi mobilitas dan produktivitas generasi milenial.
Menurut Soelaeman, hunian vertikal adalah pilihan terbaik untuk generasi milenial, baik membeli ataupun menyewa. Hunian vertikal memungkinkan mobilitas mereka tetap tinggi.
Selain itu, ketersediaan apartemen di perkotaan cukup tinggi. Data Colliers Indonesia, tahun 2018, akan ada 34.043 unit apartemen yang selesai dibangun di Jakarta.
Peran pemerintah
Soelaman menambahkan, peran pemerintah diperlukan untuk memberi subsidi hunian pada generasi milenial. Subsidi hunian ditujukan untuk menampung generasi milenial berpenghasilan di bawah Rp 7 juta yang berdaya beli lemah.
Hal senada diucapkan pengamat perumahan Institut Teknologi Bandung (ITB), Mohammad Jehansyah Siregar. Menurut dia, Indonesia perlu mencontoh Singapura dan Jepang yang sudah menyubsidi masyarkat kelas bawah dan menengah untuk menyewa hunian vertikal.
”Kehidupan perkotaan di negara maju sudah mengadptasi itu. Mereka jadi lebih fleksibel dengan hunian vertikal yang tersedia di pusat perkotaan. Ini pun bisa jadi jawaban untuk membantu generasi yang baru mulai bekerja dan berpendapatan minim,” kata Jehansyah.
Sebelumnya, pada (30/1), Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid mengatakan, generasi milenial tidak perlu takut tidak punya hunian. Skema rumah susun sederhana milik (rusunami) dan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bersubsidi telah disiapkan.
Tahun 2018 akan dibangun 365 menara rusunawa dan rusunami di seluruh Indonesia. Rusun ini diklaim sama dengan kualitas apartemen swasta, bertipe 36 dengan fasilitas mebel lengkap di dalamnya.
Rusunawa ditujukan pada masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 7 juta. Biaya sewanya Rp 500.000 per bulan. Sementara itu, Rusunami ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan di atas Rp 7 juta. Rusunami dijual dengan harga Rp 150 juta.
Menurut Khawali, tahun 2018 akan dibangun 365 menara rusunawa dan rusunami di seluruh Indonesia. Rusun ini diklaim sama dengan kualitas apartemen swasta, bertipe 36 dengan fasilitas mebel lengkap di dalamnya.
Lupakan romantisisme
Meskipun apartemen lebih murah dan dekat perkotaan, rumah tapak masih dipilih sebagai hunian idaman. Menurut Director Colliers International Indonesia Bagus Adikusumo, rumah tapak masih menjadi pilihan. Namun, hunian vertikal memang tidak bisa dihindarkan karena masalah harga dan jarak.
Untuk itu, generasi harus mulai meninggalkan romantisisme rumah tapak karena jumlah penduduk di perkotaan akan semakin meningkat, sementara ketersediaan lahan minim. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2014, sekitar 52 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Jumlah itu akan mencapai 68 persen pada 2025.
Generasi harus mulai meninggalkan romantisisme rumah tapak.
Penetrasi penduduk perkotaan akan membuat lahan berkurang dan rumah tapak semakin mahal. Generasi milenial perlu melihat hunian vertikal sebagai opsi terbaik untuk masa depan. Apalagi, pemerintah sudah merencanakan pembangunan rusunawa dan rusunami di semua daerah.
Tentunya, keputusan itu kembali kepada generasi milenial. Apabila ingin menikmati romantisisme rumah tapak, ada pengorbanan lebih yang harus dibayar. Bagaimana generasi milenial, masih terjebak romantisisme rumah tapak atau mau mencoba realistis menatap masa depan? (DD06)