Bupati Jombang Menambah Daftar Panjang Kepala Daerah di Jatim yang Ditangkap KPK
JAKARTA, KOMPAS - Jumlah kepala daerah di Provinsi Jawa Timur yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi melalui operasi tangkap tangan bertambah. Dari data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang semester I 2017, Jawa Timur menempati posisi ketiga kasus korupsi terbanyak dengan jumlah 23 perkara. Kompetensi kepala-kepala daerah di Jawa Timur mulai dari pemilihan hingga pengelolaan daerah perlu ditinjau.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, ada 313 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi sepanjang 2004-2017. Kasus korupsi terbaru di Jawa Timur melibatkan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko dan Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Jombang Inna Silestyowati. Uang yang dikorupsi berasal dari dana yang diperuntukkan bagi fasilitas kesehatan masyarakat tingkat pertama atau pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas).
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief memaparkan, sejak Juni 2017, 34 Puskesmas di Jombang ditarik 7 persen. Diduga, 7 persen itu terdiri dari 1 persen untuk Kepala Dinas Kesehatan Jombang, 1 persen untuk Paguyuban Puskesmas se-Jombang, dan 5 persen untuk Bupati Jombang. Saat ini totalnya mencapai Rp 434 juta.
Pada Desember 2017, Inna sudah menyerahkan Rp 200 juta kepada Nyono supaya dia ditetapkan sebagai Kepala Dinas Kesehatan Jombang. Kemudian, pada Februari 2018, Inna memberikan Rp 75 juta
lagi kepada Nyono.
Dana Rp 75 juta yang diberikan Inna berasal dari pungutan terhadap izin operasi suatu rumah sakit swasta. Nyono menggunakan Rp 50 juta dari uang itu untuk belanja kampanye Pilkada 2018.
Saya mohon maaf kepada masyarakat Jombang. Saya pikir uang itu bersumber dari sumbangan teman-teman saya untuk kampanye
Saat keluar gedung setelah pemeriksaan, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko menyatakan rasa bersalahnya dalam menggunakan dana kampanye dari sumber pungutan liar. "Saya mohon maaf kepada masyarakat Jombang. Saya pikir uang itu bersumber dari sumbangan teman-teman saya untuk kampanye," katanya, Minggu (4/2).
Menyadari dirinya harus menjalani proses hukum, Nyono menyatakan kesediaannya untuk melepas jabatannya di DPD Golkar Jawa Timur. Dia juga bersedia mundur sebagai Bupati Jombang.
Satu jam kemudian, tepatnya pukul 20.00 WIB, Inna keluar dari Gedung KPK. Akan tetapi, dia tidak memberikan komentar pada wartawan.
Pada kasus petahana yang akan mencalonkan diri, KPK sudah memberi peringatan. "Petahana yang mencalonkan diri kembali di Pilkada berisiko tinggi menerima gratifikasi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Nyono dibawa ke gedung KPK pada Sabtu (3/2) malam setelah operasi tangkap tangan (OTT). Nyono menambah daftar panjang kepala daerah di Jawa Timur yang ditangkap maupun dijadikan tersangka korupsi oleh KPK.
Sebelum Nyono, tercatat sejumlah kepala daerah di Jatim sudah lebih dulu jadi tersangka di KPK baik setelah ditangkap maupun pengembangan kasus dari hasil OTT, yakni Bupati Nganjuk Taufiqurrahman (nonaktif), Bupati Pamekasan (nonaktif) Achmad Syafi\'i Yasin, mantan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko, Wali Kota Mojokerto Mas\'ud Yunus, Wali Kota Madiun (nonaktif) Bambang Irianto, dan mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin.
Jika dikelompokkan, ada dua tipe korupsi yang dilakukan di tingkat daerah. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng memaparkan, jika daerah itu tergolong maju, sektor pendapatan seperti pajak, retribusi, dan perizinan proyek akan lebih banyak karea aset daerah dan sumber daya alamnya tinggi. Sebaliknya, jika daerah itu masih berkembang, sektor korupsi terdapat pada pengeluaran, seperti belanja bantuan sosial dan pengadaan barang/jasa. "Kalau saya amati, Jawa Timur ini lebih banyak yang korupsi di sektor pengeluaran," ucapnya.
Kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah ini merampas hak-hak masyarakat. Robert mengatakan, dana itu seharusnya dapat mengoptimalkan pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan serta pembangunan infrastruktur di daerah.
Menurut Robert, ada tiga titik yang menjadi celah korupsi dalam proses yang dilalui kepala daerah. Dimulai dari hulunya yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada), pada proses pemerintahannya yang lewah pengawasan, serta di hilir ada proses hukum yang belum membuat jera.
Pada saat Pilkada, adanya biaya pencalonan dan politik mahar membuat kepala daerah terpilih seolah memiliki beban utang pada pihak-pihak yang menyukseskannya. "Pintu gerbang korupsi itu ada di Pilkada karena adanya ongkos politik yang berat," ujar Robert saat dihubungi, Minggu (4/2).
Pada saat menjabat, kondisi beban utang politik itu dihadapkan dengan uang dan kekuasaan besar yang diberikan kepada kepala daerah. Robert mengatakan, ini menjadi celah korupsi.
Pengawasan keberjalanan pemerintahan dinilai Robert masih lemah karena inspektorat berada di bawah kepala daerah. "Seharusnya, inspektorat dikeluarkan dari struktur pemerintahan daerah dan menjadi lembaga tersendiri supaya bisa melaksanakan fungsi pengawasan," tuturnya.
Alur keuangan, perencanaan, dan anggaran daerah juga belum transparan. Robert menilai, tidak adanya transparansi ini menggerus demokrasi yang berupa kontrol pemerintah dari masyarakat. Dia mengusulkan, transparansi dapat diwujudkan dengan adanya situs dalam jaringan sehingga masyarakat bisa mengaksesnya.
Di hilir, Robert mengatakan, penegakan hukum masih lemah. "Vonis yang dijatuhkan tergolong ringan, bahkan ada yang 26 bulan. Ini tidak dapat menciptakan efek jera," ujarnya.
Dari segi sumber daya manusia, Hendri mengatakan, sejumlah kepala daerah belum berkompeten dalam mengelola daerah sehingga akuntabilitas dan transparansi minimal. "Kepala-kepala daerah di Jawa Timur seharus meniru Bu Risma dalam mengelola Surabaya. Ada e-governement serta mutasi dan promosi jabatannya jelas," tuturnya.
Evaluasi demokrasi
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi menilai, proses demokrasi di Indonesia perlu dievaluasi. Dalam hal proses pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, nyatanya masih menghasilkan para kepala daerah yang cenderung korup.
“Pilkadanya tidak salah, karena di situlah partisipasi politik masyarakat bisa berkembang dan kita semua bisa mengkiritik. Akan tetapi, proses di mana masyarakat ingin menjadi calon kepala daerah harus ada mahar politik itu yang menjadi masalah,” kata Veri.
Menurut Veri, biaya politik yang tinggi dalam proses demokrasi bukan saja terjadi dalam hal operasional, melainkan proses kandidasi yang mahal. Dampaknya tentu akan cenderung negatif, yaitu lahir para pemimpin yang hanya memikirkan materi.
“Jadi sekali lagi pilkadanya tidak bermasalah, mahar politik, dan hal negatif lain lah yang bermasalah. Masalah ini bisa diselesaikan khususnya oleh para aktor pilkada, seperti partai politik dan peserta pilkada itu sendiri,” kata Veri.
Utamakan pencegahan
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem Teuku Taufiqulhadi mengatakan, tidak ada masalah dalam proses demokrasi yang ada di Indonesia sejauh ini. Banyaknya praktik korupsi yang dilakukan oleh banyak pejabat daerah menurut Taufiq terjadi karena pengaruh budaya korupsi yang telah terjadi sejak era kepemimpinan Presiden ke-II RI Soeharto.
“Budaya korupsi itu telah terjadi jauh sebelum adanya pemerintahan demokratis seperti saat ini. Kalau menyalahkan proses demokrasi, apakah kita mau kembali ke zaman kediktatoran lagi?,” tutur Taufiq.
Taufiq menilai, banyaknya kepala daerah yang tertangkap oleh KPK akhir-akhir ini menandakan sistem hukum di Indonesia belum baik dalam menangkal korupsi. Menurutnya, sistem penegakan hukum di Indonesia semestinya lebih memprioritaskan pencegahan korupsi, dibandingkan penangkapan para koruptor.
“Kita memang tidak ada keinginan untuk memberantas korupsi. Kalau ada keinginan untuk memberantas korupsi, bukan penangkapan yang kita perbanyak, tetapi pencegahannya yang harus kita lakukan secara sistematis,” ujar Taufiq. (DD09/DD14)