Perluasan Pasal Perzinaan Picu Aksi Persekusi dan Ancam Perkawinan Adat
JAKARTA, KOMPAS — Belum adanya batasan yang jelas dalam perluasan pasal tindak pidana perzinaan dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai dapat memicu tindakan persekusi di masyarakat.
Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat selaku penyusun RKUHP hendaknya tetap menggunakan ketentuan yang telah diatur dalam KUHP selama ini.
”Untuk menghargai pandangan keagamaan, masyarakat adat, menghindari penyalahgunaan dan persekusi, kami bersepakat rumusan pasal perzinaan dalam RKUHP tetap menggunakan ketentuan di KUHP yang telah ada sebelumnya tanpa diperluas,” ujar Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) saat konferensi pers di Jakarta, Jumat (2/2).
Untuk menghargai pandangan keagamaan, masyarakat adat, menghindari penyalahgunaan dan persekusi, kami bersepakat rumusan pasal perzinaan dalam RKUHP tetap menggunakan ketentuan di KUHP yang telah ada sebelumnya tanpa diperluas.
Seperti diwartakan, DPR melalui Panitia Kerja (Panja) di Komisi III tengah merampungkan draf RKUHP. Dalam draf tersebut terdapat beberapa pasal yang memicu perdebatan publik, salah satunya tentang perluasan pasal perzinahan.
Dalam RKUHP Pasal 484 Ayat (1) huruf e, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, maka dapat dipidana paling lama 5 tahun penjara.
Ketentuan tersebut merupakan perluasan karena sebelumnya di dalam KUHP yang dimaksud sebagai tindakan zina ialah persetubuhan seseorang yang telah memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain yang bukan istri atau suaminya.
Sekarang seseorang yang belum memiliki ikatan perkawinan tetapi melakukan persetubuhan dengan orang lain yang telah memiliki ikatan perkawinan juga termasuk tindakan zina.
Menurut Ahmad, frasa ”perkawinan yang sah” dalam pasal tersebut berpotensi mengancam jenis-jenis perkawinan yang tidak tercatat secara hukum, seperti nikah siri, perkawinan adat, dan berbagai perkawinan yang dilangsungkan oleh para penghayat kepercayaan.
Terkait keberadaan para penghayat kepercayaan, Mahkamah Konsititusi pada November 2017 juga telah memutuskan bahwa mereka diakui dan memiliki kedudukan yang setara dengan enam agama yang diakui oleh pemerintah.
Sesuai hukum
Peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Miko Ginting, menilai, perluasan pasal zina tidak sesuai dengan landasan sejarah diaturnya hukum perzinaan dalam KUHP.
Menurut dia, pidana perzinaan yang diatur dalam KUHP bertujuan melindungi simbol perkawinan. Oleh karena itu, pidana zina yang menyasar kepada pihak yang keduanya belum memiliki hubungan perkawinan yang sah merupakan hal yang tidak sesuai dengan hukum.
”Ada perbedaan antara zina dengan persepsi awam yang sudah dicampuradukkan dengan moral dan zina yang dimaksud dalam hukum pidana. Jika berdasarkan hukum pidana, zina itu berkaitan dengan status perkawinan, untuk melindungi perkawinan,” ujar Miko.
”Jangan sampai ada anggapan, menolak perluasan pasal zina dalam RKUHP berarti setuju perzinaan dilegalkan, bukan begitu. Soal zina itu semua sudah ada aturannya dan itu harus berkaitan dengan hubungan perkawinan,” lanjut Miko.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Junimart Girsang, menyampaikan, hingga saat ini RKUHP belum selesai dibahas. Namun, ia mengatakan harus ada persamaan persepsi terlebih dahulu di antara anggota panja terkait definisi zina dalam hukum.
”Harus disepakati apa, sih, zina itu? Zina itu, kan, hubungan suami istri yang dilakukan oleh salah satu orang atau keduanya yang sudah berumah tangga (namun bukan dengan pasangannya). Kalau dia belum berumah tangga dua-duanya, ya, itu bukan zina namanya. Jadi ini harus dibedakan pengertiannya agar dalam persidangan nanti tidak menjadi komoditas,” ujar Junimart.
Rawan persekusi
Ketentuan tentang perluasan delik aduan dari Pasal 484 tentang perzinaan juga dinilai rawan akan tindakan persekusi. Sebelumnya, pelaku zina hanya dapat dilaporkan oleh suami atau istri yang merasa dirugikan. Akan tetapi dalam RKUHP, pihak ketiga dapat melaporkan tindakan tersebut.
Secara lengkap hal tersebut tertuang dalam Pasal 484 Ayat (2) yang menyebutkan, tindak pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan.
”Jika delik aduan tindak pidana zina diluaskan dengan frasa pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan, itu berbahaya. Siapa saja nanti bisa mengadu (ke pihak berwajib). Ini bisa dipersekusi ke mana-mana nantinya,” ujar Ahmad.
Jika delik aduan tindak pidana zina diluaskan dengan frasa pihak ketiga yang tercemar atau berkepentingan, itu berbahaya. Siapa saja nanti bisa mengadu (ke pihak berwajib). Ini bisa dipersekusi ke mana-mana nantinya.
Sementara itu, Junimart menilai, harus ada pembatasan tentang siapa yang berhak melapor dalam delik pidana tersebut. Penerjemahan pihak yang dinilai berkepentingan harus diatur secara jelas dalam RKUHP.
”Harus dibatasi, siapa yang berkepentingan? Ya, yang punya hubungan darah. Jadi jangan setiap orang bisa melapor. Karena nanti, misalnya, atas dasar ketidaksukaan orang bisa asal lapor. Misalnya dia melaporkan ada orang berzina di hotel X, padahal dia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, itu, kan, juga harus dibatasi,” tutur Junimart.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Demokrat Agus Hermanto mengatakan, hingga saat ini draf RKUHP belum bersifat final. Panja RKUHP masih terus membahas berbagai hal, termasuk pasal perzinaan secara serius.
Harus dibatasi, siapa yang berkepentingan? Ya, yang punya hubungan darah. Jadi jangan setiap orang bisa melapor. Karena nanti misalnya atas dasar ketidaksukaan orang bisa asal lapor.
Langkah mundur
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta pemerintah yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dipandang sebagai langkah mundur. Pasal tersebut dapat membatasi hak-hak demokrasi.
Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) versi 10 Januari 2018, aturan mengenai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 262-264. Isi pasal tersebut tidak jauh berbeda dengan Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP yang sudah dibatalkan MK pada 2006 (Kompas, 2/2).
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, pembahasan RKUHP tersebut sebagai langkah mundur. ”Pembatalan oleh MK pada 2006 sudah tepat,” kata Hendardi di Jakarta, Jumat.
Hendardi mengatakan, RKUHP telah melanggar hak-hak demokrasi. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat dibatasi apabila membahayakan. Ia mencontohkan, ketika sebuah demonstrasi diadakan oleh sebuah kelompok, kegiatan tersebut harus dibatasi sehingga tidak mengganggu kelompok lain.
RKUHP telah melanggar hak-hak demokrasi. Kebebasan berekspresi dan berpendapat dapat dibatasi apabila membahayakan.
Pembatasan kebebasan pada seseorang yang sifatnya pribadi juga dapat dilakukan. Sebagai contoh, setiap orang bebas memilih agama, tetapi kebebasan berpendapat di tempat ibadah perlu dibatasi sehingga tidak mengajarkan ujaran kebencian.
Aturan soal penghinaan sudah masuk pada wilayah pribadi sehingga harus dipisahkan dengan jabatan seseorang. Presiden merupakan jabatan seseorang sehingga dapat dikritisi. Apabila tindakan yang dilakukan bersifat menyerang pribadi seseroang, dapat menggunakan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang penghinaan.
Adapun penghinaan di media sosial berupa tulisan, gambar, atau rekaman telah diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik. ”Apabila RKUHP pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta pemerintah disahkan, aturan ini akan dengan mudah digunakan untuk kepentingan politik,” kata Hendardi.
Inkonstitusional
Pembahasan RKUHP dipandang tidak sesuai dengan konstitusi. Pembahasan soal RKUHP tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta pemerintah merupakan bentuk upaya ketidakpatuhan kepada MK yang telah membatalkannya melalui putusan Nomor 013 dan 022/PUU-IV/2006.
Miko Ginting mengatakan, aturan tersebut dibatalkan MK agar demokratisasi di Indonesia dapat terjaga. ”Perlindungan terhadap demokrasi dapat dicapai dengan memberikan ruang secara leluasa untuk menyampaikan pendapat,” kata Miko.
Menurut Miko, pembahasan soal RKUHP menggambarkan seolah-olah pasal tentang penghinaan di KUHP tidak mempunyai perlindungan hukum. Pasal penghinaan menyasar pada permasalahan pribadi. (DD14/DD08)