Jangan Tergiur Optimisme Ekonomi Asia Pasifik
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia tidak boleh tergiur optimisme prospek perkembangan ekonomi Asia Pasifik tahun 2018.
Pelaksanaan masyarakat ekonomi negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) dan peningkatan kaum menengah perkotaan yang dipercaya meningkatkan perekonomian Asia Pasifik belum menguntungkan Indonesia.
Dalam survei perusahaan jasa audit, Grant Thornton, 58 persen dari 2.500 pebisnis optimistis pada perkembangan ekonomi di Asia Pasifik dalam setahun ke depan. Persentase keyakinan itu adalah yang tertinggi sejak 2010.
Bahkan, optimisme pebisnis pada perkembangan ekonomi di Indonesia mencapai 100 persen, meningkat dari tahun 2016 sebesar 88 persen. Optimisme itu jauh di atas China, sebesar 78 persen.
Head of Tax Grant Thornton Indonesia Tommy David mengatakan, optimisme pebisnis Asia Pasifik itu didasarkan pada aspek perkembangan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Indonesia punya populasi yang besar. MEA bagus untuk menarik pasar investor ke Indonesia.
”Indonesia punya populasi yang besar. MEA bagus untuk menarik pasar investor ke Indonesia. Misalnya lewat masuknya perusahaan asing,” ucapnya, pada acara rilis survei Grant Thornton, Kamis (1/2), di Restoran Tjikini Lima, Jakarta.
Meski begitu, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai MEA selama ini menjadi masalah untuk Indonesia.
”Setelah MEA, basis produksi kita malah menurun. Harus hati-hati, keuntungan pasar Indonesia bisa berbalik jadi merugikan,” ucapnya.
Pasar Indonesia yang sangat luas mampu memancing penetrasi produk dari luar. Namun, kekuatan pasar itu malah berbalik mematikan produksi dalam negeri.
Menurut Enny, pasar Indonesia yang sangat luas mampu memancing penetrasi produk dari luar. Namun, kekuatan pasar itu malah berbalik mematikan produksi dalam negeri.
Enny mencontohkan, Korea Selatan dengan produk industri yang besar, seperti Samsung, memproduksi barangnya sekitar 70 persen di Vietnam. Setelah diproduksi, barang dimasukkan ke Indonesia.
”Kita malah jadi serbuan produk negara impor ketika berhadapan dengan pasar bebas ASEAN,” katanya.
Hal itu pun merugikan Indonesia. Dari sisi produk dalam negeri akan terkena dampak kehadiran produk yang dibuat di Vietnam. Di sisi lain, Indonesia tidak merasakan manfaat dengan adanya perusahaan manufaktur yang menampung tenaga kerja.
Untuk itu, ucap Enny, pemerintah jangan terbuai optimisme peningkatan ekonomi di kawasan Asia Pasifik. MEA harus diatasi dengan memaksa produk asing membuat perusahaan manufaktur di Indonesia.
Pertumbuhan kelas menengah
Selain pengaruh MEA, pebisnis juga menilai pertumbuhan kelas menengah mampu meningkatkan perekonomian Asia Pasifik.
Berdasarkan data OECD Observer, pada 2030, Asia akan mendominasi populasi kelas menengah dunia dengan 66 persen. Jumlah itu diikuti dengan dominasi konsumsi sebesar 59 persen terhadap dunia.
Menurut Tommy, peningkatan kelas menengah yang konsisten akan menunjang pertumbuhan ekonomi. Hal itu membuat produk industri dapat terserap dengan mudah.
Pernyataan Tommy didasari dengan kemampuan belanja kelas menengah yang cukup kuat. ”Kalau kelas menengah bertambah terus, pasti produk apa saja yang ada akan diserap,” katanya.
Tommy pun optimistis pertumbuhan ekonomi cepat terjadi karena penetrasi kelas menengah di Indonesia.
Pertumbuhan kelas menengah di Indonesia tidak bisa dilihat hanya dari jumlah. Hal yang perlu diperhatikan adalah kualitas mereka.
Dalam data Kementerian Koordinator Perekonomian, jumlah masyarakat berpenghasilan menengah ke atas akan bertambah dari 45 juta orang pada 2010 menjadi 85 juta jiwa pada 2020.
Menurut Enny, pertumbuhan kelas menengah tidak bisa dilihat hanya dari jumlah. Dalam kuantitas, Indonesia pasti yang terbesar di antara negara Asia Tenggara lainnya.
”Bahkan kalau semua negara ASEAN digabung saja, masih lebih banyak kelas menengah Indonesia,” katanya.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah kualitas kelas menengah. Enny mengatakan, ada penurunan daya beli pada kelompok 40 persen masyarakat yang berpenghasilan terendah.
Kelas menengah berada di rentang penghasilan 5.000-20.000 dollar Amerika Serikat per tahun.
Sementara Indonesia didominasi masyarakat berpenghasilan 5.000-7.000 dollar AS per tahun. Dalam rupiah Rp 70 juta-Rp 100 juta per tahun atau Rp 6 juta-8 juta per bulan.
Kelas menengah berada di rentang penghasilan 5.000-20.000 dollar Amerika Serikat per tahun.
Enny mengatakan, masyarakat kelas menegah dengan rentang itu mudah bergeser menjadi kelas bawah. ”Daya beli tipis, rentan masuk ke kategori miskin juga,” ucapnya.
Ucapan Enny terlihat pada rilis Badan Pusat Statistik yang menyebutkan 0,8 dari 3,6 persen inflasi berasal dari tarif listrik. Hal itu menunjukkan kemampuan masyarakat yang masih sangat rendah.
Menurut data Indef, sumbangan beras mencapai 18,8 persen pada garis kemiskinan. Dalam artian, kenaikan harga beras bisa membuat jumlah penduduk miskin bertambah 18,8 persen.
Kenaikan harga minyak
Untuk itu, Enny mengatakan, tidak mudah dalam melihat pertumbuhan kelas menengah yang seiring dengan pertumbuhan daya beli.
Apalagi, saat ini daya beli masyarakat terancam dengan kenaikan harga minyak mentah dunia. Kenaikan ini bisa mengakibatkan kenaikan harga listrik, elpiji, dan bahan bakar minyak di Indonesia.
Saat ini, harga minyak dunia mencapai 70 dollar AS per barel. Harga itu di atas asumsi harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia, sebesar 48 dollar AS per barrel.
Dalam hal ini, pemerintah harus melakukan subsidi untuk menghapus jarak harga minyak. ”Bisa dialihkan dari sektor-sektor lain, infrastruktur juga bisa dikurangi,” kata Enny.
Tidak mudah dalam melihat pertumbuhan kelas menengah yang seiring dengan pertumbuhan daya beli.
Kenaikan harga listrik, elpiji, dan BBM tidak bisa dimungkiri jika tanpa subsidi. Kenaikan harga pun dapat mengganggu daya beli dan menaikkan inflasi. Akibatnya, ketidakstabilan ekonomi terjadi.
Meskipun optimisme terhadap perkembangan ekonomi Indonesia mencapai 100 persen, penilaian terhadap ketidakstabilan ekonomi juga meningkat. Ketidakstabilan ekonomi dinilai meningkat dari 43 persen pada 2016, menjadi 47 persen pada 2017.
Hal itu dipengaruhi oleh kekhawatiran pada minyak dan gas. Dalam survei, kekhawatiran terlihat melonjak, dari 39 persen pada 2016 menjadi 56 persen pada 2017. (DD06)