Bulan Super Darah Biru yang Mendekatkan Masyarakat pada Astronomi
Oleh
·4 menit baca
Meskipun jam telah menunjukkan pukul 20.30, sekitar 100 siswa-siswi berseragam biru tua masih duduk di dermaga pinggir pantai. Tatapan mereka mengarah pada Rukman Nugraha, peneliti muda bidang astronomi dan astrofisika dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. Dari sosok Rukman, siswa-siswi itu mendapatkan penjelasan tentang bulan super darah biru yang tengah mencapai puncaknya pada saat itu.
Siswa-siswi itu berasal dari Sekolah Rakyat Ancol. Mereka sedang mengikuti pengamatan bulan super darah biru di area Dermaga Hati, Beach Pool Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, Rabu (31/1). Ada dua teleskop yang disediakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk acara itu.
Sebelumnya, Rukman memaparkan, fenomena bulan super darah biru ini merupakan fenomena gerhana bulan total yang terjadi ketika bulan berada dalam jarak terdekat dengan bumi. Pada fenomena ini, matahari, bumi, dan bulan seolah-olah terdapat pada satu garis lurus. Istilah bulan biru berarti ada dua purnama yang terjadi dalam satu bulan.
Sementara istilah super berasal dari bulan yang terlihat seolah-olah lebih besar karena berada pada jarak terdekat dengan bumi atau disebut juga perigee. Karena perigee itu pula, warna bulan terlihat pekat seolah-olah seperti darah.
Kata darah itu disematkan karena bulan akan terlihat berwarna merah pada gerhana bulan total perigee ini. ”Cahaya dari matahari akan membaur saat melewati atmosfer bumi sehingga bulan memantulkan warna merah,” ujar Rukman saat dihubungi, Rabu (31/1).
Oleh sebab itu, warna bulan yang tampak saat fenomena ini dapat menjadi indikator kondisi atmosfer bumi. Skala yang digunakan bernama danjon. Ada lima tingkat warna. Semakin terang bulan teramati menandakan semakin sedikit partikel polusi pada atmosfer.
Fenomena bulan super darah biru pernah terjadi di Indonesia pada 30 Desember 1963 dan 30 Desember 1982. ”Terakhir kali terjadi itu sekitar 36 tahun yang lalu. Diprediksi, fenomena ini akan terjadi lagi pada 31 Januari 2037,” ujar Rukman.
Berbeda dengan Indonesia, fenomena ini dapat diamati 152 tahun lalu di Amerika Serikat. Rukman mengatakan, pada tahun-tahun berikutnya bulan super darah biru terjadi ketika siang hari di AS sehingga tidak bisa teramati.
Cerita astronomi
Setelah acara pengamatan itu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, bulan super darah biru merupakan momen yang dapat mengintegrasikan astronomi dengan keilmuan lainnya. ”Kami sudah mengomunikasikan kepada Kemeterian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi untuk mendongkrak penelitian di berbagai macam keilmuan saat fenomena ini terjadi,” katanya, Rabu.
Dalam konteks mengembangkan keilmuan, peneliti-peneliti BMKG telah memasang sensor-sensor khusus sebagai bahan kajian fenomena alam ini. Ada kajian tentang anomali gravitasi bumi, kemagnetan bumi, dan seisme bumi.
Anggota Komisi V DPR, Yoseph Umar Hadi, mengapresiasi pengamatan bulan super darah biru yang diadakan oleh BMKG dan Taman Impian Jaya Ancol. ”Data-data dan informasi kebumian yang telah direkam oleh BMKG ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat,” ucapnya.
Data-data dan informasi kebumian yang telah direkam oleh BMKG ini perlu disosialisasikan kepada masyarakat.
Pengamatan bulan super darah biru ini juga sesuai dengan konsep PT Pembangunan Jaya Ancol. ”Kami ingin mengemas fenomena ini dalam kerangka edutainment. Ada sisi pendidikannya dan sisi hiburannya,” ujar Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol C Paul Tehusijarana.
Tercatat, pengunjung Taman Impian Jaya Ancol pada Rabu (31/1) mencapai 22.000 orang, padahal pada hari yang sama minggu lalu, jumlah pengunjung sekitar 6.000 orang.
Sejumlah pengunjung menikmati pengamatan fenomena ini. Mereka puas dan menemukan perbedaan bulan yang diamati melalui teleskop.
Siti Intan (16) datang ke Ancol untuk mengamati bulan super darah biru karena mendapatkan tugas dari gurunya. Berbeda dengan Ayi (25) dan Gadis (25) yang datang karena penasaran pada fenomena ini. ”Saya sampai memimpikan bulan tersebut,” ucap Gadis.
Fenomena alam ini juga menjadi momen untuk mengenalkan astronomi kepada masyarakat. Dihubungi secara terpisah, Ketua Himpunan Mahasiswa Astronomi Institut Teknologi Bandung Muhammad Rezky memaparkan, sebagian besar peristiwa astronomi itu jarang terjadi tetapi dapat diprediksi sehingga dapat menarik masyarakat untuk menyaksikan.
Karena dapat diprediksi, ada persiapan khusus untuk memanfaatkan momen fenomena astronomi. ”Kami ingin membangun interaksi langsung antara masyarakat dan sains, khususnya astronomi. Kami dapat menceritakan kepada masyarakat, relevansi antara astronomi dan kehidupan,” kata Rezky.
Menurut dia, fenomena-fenomena astronomi memberikan momen-momen yang bahagia meskipun menyibukkan. Momen ini tidak hanya memberikan kesempatan untuk menjelaskan fenomena astronomi, tetapi juga keilmuan astronomi kepada masyarakat.
Pasang surut air laut
Pada saat fenomena bulan super darah biru terjadi, Dwikorita mengatakan, muka air laut Jakarta naik sekitar 50 sentimeter (cm) pada pukul 21.30. ”Kami belum mengecek tempat-tempat lainnya. Prediksinya, air laut naik hingga 140 cm,” katanya.
Sebelumnya, peneliti Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional A Gunawan Admiranto mengatakan, pasang-surut laut berbeda-beda di masing-masing pantai. Selain gaya tarik-menarik, faktor cuaca lokal juga berpengaruh.
Rukman memaparkan, pasang-surut air laut ini terjadi karena interaksi gaya tarik-menarik antara matahari, bumi, dan bulan. ”Ada yang seketika terjadi pasang-surut, ada yang memiliki jeda waktu dengan fenomena alam ini. Tidak dapat digeneralisasi,” ucapnya. (DD09)